A.
Latar
Belakang
Sastra
merupakan suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang membicarakan
tentang manusia dan kehidupannya dan bahasa sebagai alat penghantarnya. Semi
(1984) menyatakan bahwa sebagai seni kreatif yang menggunakan manusia dan
segala macam kehidupannya maka ia tidak saja merupakan suatu media untuk
menyampaikan ide, teori atau sistem berfikir manusia.
Dari
pendapat tersebut jelas bahwa sebagai karya seni kreatif sastra harus dapat
melahirkan suatu daya kreasi yang indah dan berusaha menyalurkan kebutuhan akan
keindahan manusia. Selain itu sastra harus mampu pula menjadi sarana
penyampaian ide-ide yang dirasakan dan dipikirkan oleh sastrawan tentang
manusia.
Pada
dasarnya, karya sastra mengungkapkan banyak permasalahan kehidupan atau
peristiwa yang terjadi, baik yang menggembirakan atau yang menyedihkan yang
diungkapkan melalui bahasa yang bersifat konotatif. Pengarang sebagai
pengungkap permasalahan kehidupan bermaksud menyampaikan sesuatu kepada pembaca
atau penikmat karyanya.
Suharianto
(1982) mengatakan bahwa karya sastra tidak dapat dipisahkan dari kehidupan,
karena karya sastra merupakan hasil pengamatan sastrawan terhadap kehidupan
sekitar.
Hal
senada juga diungkapkan Aminudin (1987) yang menyatakan bahwa karya sastra
merupakan bagian dari kehidupan manusia, sebab malalui karya sastra seseorang
dapat mengungkapkan perasaannya baik secara lisan atau tulis. Menurutnya, ada
beberapa manfaat yang dapat diperoleh dalam menganalisis karya sastra yaitu: 1)
Memperoleh informasi yang berhubungan dengan nilai-nilai kehidupan. 2)
Meningkatkan nilai kehidupan dan memperluas pandangan atau wawasan manusia. 3)
Menjernihkan komplikasi batin. 4) Merekam dan memaparkan unsur-unsur
sosiokultural serta mengembangkan sifat kritis dalam mengamati perkembangan
zaman.
Seseorang
yang ingin memahami suatu karya sastra khususnya puisi harus berusaha
mengungkapkan segala sesuatu yang terselubung di dalam karya sastra yang
dibacanya. Pada dasarnya pemberian makna pada sebuah puisi tidaklah mudah. Oleh
karena itu, untuk dapat memahami makna puisi secara menyeluruh, dituntut
kecermatan dari seorang pembacanya. Salah satu pemaknaan yang dapat dilakukan
pembaca yakni dengan pendekatan semiotik.
Pada
dasarnya pendekatan semiotik adalah pendekatan yang berpijak atas asumsi bahwa
puisi adalah tanda-tanda yang mesti diberi makna atau diinterpretasikan. Teeuw
(1984) menyatakan bahwa dalam rangka semiotik analisis struktur tetap penting
dan perlu dilakukan. Menurutnya, analisis struktur sebuah karya sastra tak lain
dan tak bukan sebuah usaha untuk sebaik mungkin mendeskripsikan apa yang
dilakukan dalam proses membaca dan memahami karya sastra. Dengan demikian,
analisis struktur tidak dapat dipisahkan dengan analisis semiotik.
Hal
yang sama juga diungkapkan Junus (dalam Pradopo, 1995) yang menyatakan bahwa
semiotik itu merupakan lanjutan atau perkembangan strukturalisme.
Strukturalisme tidak dapat dipisahkan dengan semiotik. Alasannya, adalah karya
sastra itu merupakan struktur tanda-tanda yang bermakna. Tanpa memperhatikan
sistem tanda, tanda dan maknanya, dan konvensi tanda, struktur karya sastra
tidak dapat dimengerti maknanya secara optimal.
Pada
dasarnya pendekatan struktural-semiotik bertujuan untuk membongkar dan
memaparkan secermat-cermatnya, seteliti, semendetail dan semendalam mungkin
keterkaitan dan keterjalinan semua unsur dan aspek karya sastra yang sama-sama
menghasilkan makna secara menyeluruh. Berdasarkan uraian tersebut dalam makalah
ini akan membahas tentang apresiasi puisi ‘sebuah kamar’ karya Chairil Anwar
dengan pendekatan semiotik.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah, rumusan masalah dalam makalah ini adalah “Bagaimanakah
mengapresiasi puisi “Rasa Dosa” karya Subagio Sastrowardoyo
dengan
pendekatan semiotik”.
C.
Landasan
Teori
1.
Pengertian
Apresiasi
Aminudin
(1987) menyatakan bahwa apresiasi berasal dari bahasa latin yakni “apreciation” yang berarti mengindahkan
atau menghargai. Selanjutnya Sudjiman (1984) mengatakan bahwa apresiasi
merupakan suatu penghargaan terhadap cipta sastra berdasarkan pada pemahaman.
Pendapat
ini diperkuat oleh Micheel dalam Teew (1984) bahwa apresiasi adalah suatu
kegitan untuk menimbang, menilai dan merasakan bahwa karya sastra itu indah dan
menyenangkan.
Dari
beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa apresiasi merupakan suatu
kegiatan untuk menikmati, menghargai dan memahami nilai-nilai kehidupan yang
terdapat dalam masyarakat melalui bahasa sastra yang bersifat konotatif.
2.
Pengertian
Puisi
Puisi
merupakan bentuk karya sastra yang bersifat imajinatif. Artinya bahasa sastra
yang banyak mengandung makna kias atau makna lambang (majas). Waluyo (1987)
menyatakan bahwa puisi merupakan bentuk karya sastra yang mengungkapkan
pikiran, dan perasaan penyair secara imajinatif dan tersusun secara menarik
dengan mengkonsentrasikan struktur fisik dan struktur batin.
Hal
senada juga diungkapkan Pradopo (1995) bahwa puisi adalah suatu bentuk ekspresi
pemikiran yang membangkitkan perasaan dan merangsang pembaca untuk berimajinasi
lewat susunan kata-kata yang dinyatakan secara menarik.
Dari
pendapat para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa puisi adalah bentuk karya
sastra yang berisi tentang pengalaman batin sang penyair melalui bahasa yang
bersifat konotatif sehingga merangsang seseorang untuk berimajinasi.
3.
Pengertian
Pendekatan Struktural
Munculnya
minat pakar sastra untuk meneliti karya sastra sebagai suatu struktur dimulai
sejak Ferdinand de Saussure, seorang sarjana bangsa Swiss. Beliau
memperkenalkan teori struktural dibidang linguistik pada awal abad ke-20
(Atmazaki, 1990). Beliau adalah tokoh linguistik yang mengilhami munculnya
teori struktural dalam berbagai bidang ilmu bahasa, antropologi, sastra, dan
lain-lain. Di Indonesia teori struktural diperkenalkan sejak tahun 1978 pada
penataran kesusasteraan yang diselenggarakan oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa. Teori ini perlu dikembangkan karena memiliki kemampuan besar untuk
menganalisis atau mengkritik karya sastra sehinga dapat diperoleh makna karya
sastra secara maksimal.
Sebuah
karya sastra, baik prosa maupun puisi menurut kaum strukturalisme adalah sebuah
totalitas yang dibangun secara koherensif oleh berbagai unsur (pembangunnya).
Menurut Abrams (dikutip Nurgiyantoro,1995) struktur karya sastra dapat
diartikan sebagai susunan, penegasan, dan gambaran semua bahan dan bagian yang
menjadi komponen yang secara bersamaan membentuk kebulatan yang indah.
Pada
hakikatnya pendekatan struktural senantiasa berusaha melihat interaksi
unsur-unsur atau bagian-bagian yang terkandung di dalamnya. Kecermelangan
sebuah cipta sastra sebenarnya berada dalam kekompakan, kebulatan atau
kepaduan, tidak dalam unsur-unsur yang terpisah-pisah (Sukada, 1985).
Demikian
juga Semi (1984) menyatakan bahwa pendekatan struktural sering disebut juga
dengan pendekatan objektif. Karya sastra mempunyai suatu kebulatan makna yang
merupakan akibat perpaduan isi dengan pemanfaatan bahasa sebagai alatnya.
Dengan kata lain pendekata ini memandang dan menelaah sastra dari segi
intrinsik atau dari dalam karya itu sendiri.
4.
Pengertian
Pendekatan Semiotik
Dari
segi istilah, semiotik berasal dari istilah Yunani kuno “semeion” yang berati tanda atau “sign” dalam bahasa Inggris. Semiotik merupakan ilmu yang mengkaji
hal-hal yang berkaitan dengan komunikasi dan ekspresi. Pendekatan semiotik ini
pada dasarnya merupakan pengembangan pendekatan objektif atau pendekatan
struktural, yaitu penelaahan sastra dengan mempelajari setiap unsur yag ada
didalamnya, tanpa ada yang dianggap tidak penting, serta melihat suatu karya
sastra sebagai suatu yang terikat kepada sistem yang dibentuknya sendiri sehingga
sistem yang ada diluarnya tidak berlaku terhadapnya (Semi, 1984).
Menurut
Riffaterre (dalam Pradopo, 1995) mengatakan bahwa semiotik dapat diartikan
sebagai pertentangan antara meaning
(arti) dan significance (makna);
keduanya memainkan peranan yang sangat penting. Dalam membaca puisi meaning yang diberikan disesuaikan
dengan mimetik yang ada dalam skemata seseorang, antara lain atas dasar
kemampuan membaca puisi. Sementara itu makna, significance lebih ditekankan untuk arti sastranya, sebab puisi dapat
menyatakan pengertian-pengertian dan hal-hal secara tidak langsung, menyatakan
sesuatu hal yang bearti yang lain. Dengan demikian, bahasa puisi dapat
memberikan makna lain daripada bahasa biasa. Hal ini dikarenakan puisi
mempunyai konvensi sendiri disamping konvensi bahasa. Konvensi tersebut sering
disebut dengan konvensi tambahan, yaitu yang ditambahkan pada konvensi bahasa.
Hal
senada juga diungkapkan Pradopo (1995) yang menyatakan bahwa semiotik adalah
ilmu tentang tanda. Tanda mempunyai dua aspek yaitu penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda adalah bentuk
formalnya yang menandai sesuatu yang disebut petanda, sedangkan petanda adalah
sesuatu yang ditandai oleh penanda itu sendiri yaitu artinya.
Selanjutnya,
Sudjiman (1983) dan Nurgiyantoro (1995) juga menyatakan bahwa semiotik adalah
ilmu yang mempelajari penggunaan tanda dan perlambangan. Tanda adalah sesuatu
yang mewakili sesuatu yang lain yang dapat berupa penglaman, pikiran, perasaan,
gagasan dan lain-lain. Jadi, yang dapat
menjadi tanda sebenarnya bukan hanya bahasa saja, melainkan beberapa hal
yang melingkupi kehidupan ini, walau harus diakui bahwa bahasa adalah sistem
tanda yang paling lengkap dan sempurna.
Untuk
dapat mengetahui bagaimana tanda-tanda itu berfungsi, pertama-pertama perlu
ditelaah secara rinci bagaimana para linguis bekerja berdasarkan pada
teoritikus, para analisis struktural dan para ahli retorika. Pada jenis kata,
pada anak kalimat, dan juga dipakai pengertian metafora dan metonimi. Semua ini
akan memberikan simbolitas teks.
Berdasarkan
pada konsep di atas, semakin memperjelas bahwa semiotik mempelajari segala
sesuatu yang berbentuk simbol, hal-hal yang tidak dapat diterangkan secara
alamiah. Misal, orang menangis mendengarkan lagu yang sedih tidak termasuk kajian
semiotik. Secara ilmiah orang menangis dikarenakan kesedihan yang dialami,
merupakan seuatu yang wajar dan itu sudah biasa terjadi. Hal itu tidak termasuk
kajian semiotik. Tetapi orang menangis karena kebahagian yang dialami itu
merupakan sesuatu yang luar biasa. Peristiwa itu dapat dikaji secara semiotik.
5.
Analisis
Puisi dengan Pendekatan Semiotik
Berdasarkan
kajian teoritis struktural-semiotik, diberikan kajian secara mendalam mengenai
analisis puisi. Analisis struktural menekankan pada adanya fungsi dan hubungan
antarunsur (intrinsik) dalam sebuah karya sastra. Sedangkan semiotik mencoba
mengembalikan secara totalitas makna yang terkandung dalam puisi. Pemahaman
tersebut sebagai berikut:
a)
Unsur-unsur
dalam sajak
Dalam
menentukan pemahaman terhadap unsur-unsur sajak dapat dilakukan proses
pemaknaan lewat pembacaan hermeneutik.
Untuk itu sajak harus dibaca merenik. Artinya bahwa pemaknaan sajak dapat
dilakukan dengan cara mengartikan kata-kata tertentu yang dianggap sulit
kedalam makna yang lebih mudah untuk dimengerti. Untuk mempermudah pada
tingkatan ini perlu pula dilakukan parafrase, artinya suatu usaha untuk
membahasakan kembali bahasa puisi yang sangat singkat kedalam bentuk
prosa.
b)
Konvensi
puisi
Secara
umum konvensi sastra adalah kesepakatan tentang sastra, baik dari segi
penciptaan maupun dari segi pembacaan (Atmazaki, 1990). Dari segi penciptaan
pengarang menciptakan karyanya sesuai dengan konvensi masing-masing jenis
sastra. Dari segi pembacaan, pembaca menentukan sikap yang dituntut oleh konvesi
sastra yang sedang dihadapinya. Diantara konvensi tambahan tersebut ada juga
konvensi tambahan puisi bahwa puisi itu menyatakan pengertian-pengertian dan
hal-hal secara tidak langsung, yaitu menyatakan sesuatu hal dan berarti yang
lain.
Riffaterre
(dalam Pradopo, 1995) ada satu hal yang tetap dalam puisi, puisi itu menyatakan
secara tidak langsung yaitu menyatakan sesuatu hal yang berarti yang lain.
Ketidaklangsungan ucapan ini disebabkan oleh tiga hal, yaitu: penggantian arti
(displacing), penyimpangan arti (distoring), dan penciptaan arti (creating of meaning).
1)
Penggantian
arti
Penggantian
arti terjadi apabila tanda itu menunjukan arti satu dengan yang lain. Satu kata
dapat berhadapan dengan yang lain, hal ini dapat terjadi pada metafora dan metonimi
(Riffaterre dalam Pradopo, 1995). Metafora adalah semacam analogi yang
membandingkan dua hal secara langsung tetapi dalam bentuk singkat (Keraf,
1985).
Metafora
tidak selalu harus menduduki fungsi predikat, tetapi juga menduduki fungsi lain
seperti subjek, objek dan sebagainya. Dengan demikian, metafora dapat berdiri
sendiri sebagai kata. Sedangkan metonimia diturunkan dari kata Yunani meta yang berati menunjukan perubahan
dan anoma yang berarti nama. Dengan
demikian metonimia adalah suatu gaya bahasa yang mempergunakan sebuah hal untuk
menyatakan suatu hal yang lain karena mempunyai pertalian yang sangat dekat
(Keraf, 1985).
Pradopo
(1995) menyatakan bahwa secara umum dalam pembicaraan puisi, bahasa kiasan
seperti perbandingan, personifikasi, sinekdoke, dan metonimi itu biasa disebut
dengan metafora.
2)
Penyimpangan
arti
Menurut
Riffaterre (dalam Pradopo, 1995) penyimpangan arti dapat disebabkan oleh tiga
hal yaitu: ambiguitas, kontradiksi, dan nonsense.
Ambiguitas
disebabkan oleh bahasa sastra itu berarti ganda (polyinterpretable). Dalam puisi kata-kata, frase dan kalimat sering
memiliki arti ganda yang menimbulkan banyak tafsiran atau ambigu.
Kontradiksi
sering terjadi dalam sajak modern dan biasanya bersifat ironi, yaitu salah satu
cara menyampaikan maksud secara berlawanan atau kebalikan. Ironi diturunkan
dari kata ‘eironeia’ yang berarti
penipuan atau pura-pura. Sebagai bahasa kiasan, ironi atau sindiran adalah
suatu acuan yang ingin mengatakan sesuatu dengan makna atau maksud berlainan
dengan apa yang terkandung dalam rangkaian kata-katanya (Keraf, 1985).
Sedangkan
nonsense adalah kata-kata yang secara
linguistik tidak mempunyai arti, sebab hanya berupa rangkaian bunyi dan tidak
terdapat dalam kamus.
3)
Penciptaan
arti
Penciptaan
arti merupakan konvensi kepuitisan yang berupa bentuk visual yang secara
linguistik tidak mempunyai arti, tetapi
menimbulkan makna dalam sajak (karya sastra). Jadi penciptaan arti ini
merupakan organisasi teks diluar linguistik, misal pembaitan, enjambement,
persajakan (rima), tipografi dan lain-lain.
c.
Pembacaan
semiotik
Untuk
dapat memberi makna sajak secara
semiotik, pertama kali dapat dilakukan dengan pembacaan heuristik yang dilanjutkan dengan pembacaan hermeneutik atau retroaktif
(Riffaterre, dalam Pradopo 1995).
1)
Pembacaan
heuristik
Pembacaan
heuristik adalah pembacaan
berdasarkan struktur bahasanya atau secara semiotik adalah berdasarkan semiotik
tingkat pertama, yaitu menurut konvensi bahasa (Indonesia). Pembacaan heuristik menghasilkan pemahaman makna
secara harfiah, makna tersurat, actual
meaning (Nurgiyantoro, 1995).
Pradopo
(1995) juga menyatakan bahwa pembacaan heuristik
adalah pembacaan berdasarkan struktur kebahasaannya. Pembacaan heuristik dilakukan untuk memperjelas
arti bila mana perlu diberi sisipan kata atau sinonim kata-katanya diletakkan
dalam tanda kurung. Begitu juga struktur kalimatnya disesuaikan dengan kalimat
baku (berdasarkan tata bahasa normatif), bila perlu susunan dibalik untuk
memperjelas arti.
2)
Pembacaan
retroaktif/hermeneutik
Teeuw
(dalam Nurgiyantoro, 1995) mengatakan bahwa pembacaan hermeneuitik dilakukan dengan pemahaman keseluruhan berdasarkan
unsur-unsurnya, dan sebaliknya pemahaman unsur-unsur berdasarkan
keseluruhannya.
Pada
prinsipnya hermeneutik selalu
berhubungan dengan bahasa. Pembacaan hermeneutik
mengingatkan pembaca pada hal-hal yang baru, sebagai akibat yang timbul dari
larik-larik puisi. Hal ini dapat dilakukan dengan cara membahasakan kembali,
melakukan revisi, dan membandingkan ulang. Ini semua merupakan suatu cara yang
dapat dilakukan dalam memahami tanda-tanda struktural.
Berdasarkan
konsep pemikiran di atas, untuk pembacaan hermeneuitik
sajak harus dibaca berdasarkan konvesi sastra yang memberikan makna itu
diantara konvensi ketidaklangsungan ucapan
(ekspresi sajak).
6.
Penerapan
Analisis Puisi “Rasa Dosa” Karya
Subagio Sastrowardoyo
dengan Pendekatan Semiotik
Rasa Dosa
muka putih di jendela
mengikut aku dari subuh
semua kekal
nyawa
jejak membekas di lumpur hati
kata
Suara bergema di ruang abadi
tangan
jari gemetar menyaput sajak
mata
kenangan akhir membakar diri
muka
putih di jendela
mengikut aku dari subuh
tanganku lumpuh
(Karya Subagio Sastrowardoyo)
Untuk mengetahui makna puisi “Rasa Dosa” karya Subagio Sastrowardoyo, sebelum pembacaan heuristik dan hermeneutik
maka terlebih dahulu dilakukan analisis gaya bunyi sajak yakni sebagai berikut:
Gaya bunyi sajak
Puisi “Rasa Dosa”
karya Subagio
Sastrowardoyo mempergunakaan asonansi a sehingga sajak menjadi berirama
dan timbulnya rasa introspeksi diri.
Pada bait pertama tampak dipergunakan kombinasi bunyi a dan i. Hal itu dimaksudkan untuk mempertegas arti dalam
mengintrospeksi diri. Pada baris kedua tampak adanya kombinasi bunyi vokal dan
konsosnan yaitu vokal e, i, u, dan konsonan
k, ng, r, dan b tampak dipergunakan bunyi yang berselang –seling sehingga
menimbulkan rasa merdu. Hal ini tampaak pada baris /mengikut aku dari subuh/.
Demikian juga pada bait kedua, kombinasi bunyi bervariasi
bunyi vokal a, dan konsonan l yang berfungsi untuk menegaskan
dan meyakinkan rasa introspeksi diri, seperti dalam sajak /semua kekal/.
Pada bait ketiga kembali terjadi pengulangan bunyi vokal a dan pada baris kedua terdapat
kombinasi bunyi vokal e, a, u dan
konsonan j, m, k, s. Hal ini semakin
menegaskan bahwa peringatan Tuhan semakin terasa dalam diri si aku dan si aku
mulai menyadari adanya dosa dalam dirinya. Pernyataan tersebut dapat dilihat
pada sajak: / nyawa//jejak membekas di lumpur hati/.
Pada bait keempat bunyi-bunyi vokal semakin ditampilkan,
yaitu baris pertama terjadi pengulangan bunyi vokal a dan pada baris kedua vokal tersebut diselingi oleh bunyi
konsonan yaitu a, i, ng, i. Hal
ini semakin memperkuat rasa introspeksi diri dan semakin membuat si pembaca
turut merasa apa yang dialami si aku. Penyataan tersebut terdapat dalam sajak:/
kata//suara bergema di ruang abadi/.
Pada bait kelima terjadi kombinasi bunyi-bunyi vokal a, e, u, dan
bunyi konsonan r, k, s, p, hal
ini menandakan bahwa si aku semakin merasakan bahwa ada sesuatu yang sangat
berat dalam diri si aku, dan ini membuat siaku merasa takut, bimbang,
bersalah dan tidak tahu harus berbuat
apa. Hal ini dapat dilihat dalam sajak: / tangan//jari gemetar menyaput sajak/.
Dalam baris keenam juga terjadi kombinasi antara bunyi-bunyi
vokal a, e, i, dan
bunyi-bunyi konsonan yaitu ng,
kh, m, k, r, hal ini berarti bahwa dalam
diri si aku bukan hanya ketakutan tetapi lebih dari itu. Bunyi-bunyi tersebut
semakin memperkuat makna pada bait sebelumnya yaitu makna ketakutan si aku
kepada Tuhan akibat dari dosa yang telah diperbuatnya. Pernyataan tersebut
dapat dilihat dalam sajak: / mata//kenangan akhir membakar diri/.
pada bait ketujuh terjadi pengulangan yang sama seperti pada
bait pertama, hal ini dimaksudkan untuk semakin meyakinkan bahwa Tuhan selalu
menegur umta-Nya untuk tidak berbuat dosa dan kesalahan.
Selanjutnya pada bait
terakhir terdapat bunyi vokal dan konsonan u,
dan h. Bunyi-bunyi tersebut
akan menimbulkan irama yang merdu dan indah. Dalam sajak tersebut menggambarkan
si aku yang sudah tidak berdaya lagi atau sudah tidak bisa berbuat apa-apa
lagi. Hal ini dapat disimak dalam sajak:/tanganku
lumpuh/.
Gaya
kata
Sajak
yang berjudul “Rasa Dosa” tampak menggunakan pilihan kata yang sangat sesuai
dengan bunyinya. Pernyataan tersebut dapat dilihat melalui penggunaan kombinasi
bunyi vokal a, i, u, dengan bunyi-bunyi konsonan k, t, h, l, misalnya: /muka
putih di jendela/.
Dalam
hal diksi (pilihan kata) yang menonjol adalah pemakaian metafora dan hiperbola.
Hal itu tampak pada baris: “muka putih”
(metafor Tuhan, malaikat), “jendela”
(menunjukan hati), “subuh” (sejak
adanya kehidupan), “nyawa”
(kehidupan), “lumpur hati” (hati yang
penuh dosa, kesalahan), “ruang abadi”
(hati yang paling dalam), “tangan”
(kekuasaan Tuhan), “gemetar” (rasa
takut), “sajak” (mengiaskan suatu
kisah kehidupan manusia), “lumpuh”
(tidak dapat berbuat apa-apa)
Gaya
kalimat
Gaya
kalimat berupa ironi, hiperbola dan metafora.
Ironi
“mengikut aku dari subuh /
jari gemetar menyaput sajak”.
Hiperbola
“Suara
bergema di ruang abadi / kenangan
akhir membakar diri/ jejak membekas
di lumpur hati”.
Metafora
“muka
putih di jendela”.
Pada
puisi tersebut juga terdapat berbagai jenis citraan, yaitu diantaranya:
Citraan
penglihatan:
/ muka putih di jendela//mengikut
aku dari subuh/.
Dari larik puisi tersebut dapat menimbulkan
citraan penglihatan, yang seolah-olah penyair mengajak pembaca untuk dapat
membayangkan betapa besar kekuatan Tuhan terhadap diri manusia.
Citraan
pendengaran
/Suara bergema di ruang abadi/
Pada larik puisi tersebut penyair mengajak pembaca untuk
dapat merasakan betapa dahsyatnya suara Tuhan dalam diri manusia, sehingga
mampu menerobos hati manusia yang paling dalam.
Pembacaan
heuristik
Bait
1
Di jendela (ada si) muka putih (yang selalu) mengikuti aku (mulai)
dari subuh.
Bait
2
Semua (yang dilakukan si muka putih itu bersifat)
kekal (abadi).
Bait
3
Nyawa (si muka putih) terlalu membekas (dan
selalu mengusik) jejak di lumpur hati (hati
si aku yang penuh dosa).
Bait
4
(Per-) kata (-an) (si muka putih dan)
suara (nya selalu) bergema (dan memberikan peringatan) di ruang
abadi (dalam hati si aku)
Bait
5
Tangan (si muka putih) (dan) jari (jemarinya selalu)
gemetar menyaput (menulis) sajak (tentang
kebenaran)
Bait 6
(Tatapan) mata (si muka putih terasa) membakar diri (si aku yang penuh dosa) dan itu (sebagai) kengan akhir.
Bait
7
Di jendela (ada si) muka putih (yang selalu) mengikuti aku (mulai)
dari subuh
Bait
8
Tanganku (si aku yang penuh dosa) terasa lumpuh (tidak dapat berbuat apa-apa)
Pembacaan
retroaktif atau hermeneutik
Bait
1
Di dalam lubuk
hati yan paling dalam, (jendela) si
aku selalu merasakan bahwa di dalam dirinya Tuhan selalu hadir (muka putih) dan selalumemberikan (mengikuti) peringatan terhadap segala
dosa dan kesalah yang telah diperbuatnya. Dan peringatan itu selalu mewarnai
setiap langkah dan pekerjaan yng dilakukan oleh si aku dalam melakukan
aktivitas dalam kehidupan sehari-hari (subuh).
Bait
2
Segala sesuatu
yang diciptakan oleh Tuhan (si muka putih)
bersifat abadi (kekal) dan semuanya
itu selalu ada di hati si aku yang penuh dengan dosa dan kesalahan. Tuhan
memiliki sifat yang kekal yang tidak dimiliki oleh mahluk lain.
Bait
3
Kehadiran Tuhan
kedalam diri si aku (nyawa) terasa
mengusik dan mengingatkan segala sesuatu yang telah diperbuatnya dan semuanya
itu terasa (membekas) dilumpur
hatinya (hatinya yang penuh dengan dosa
dan kesalahan).
Bait
4
Kata-katanya (suara) selalu bergema dan terasa
memberikan suatu peringatan kepada si aku terhadap segala dosa dan kesalahan
yang diperbuatnya dalam kehidupan sehari-hari (di ruang abadi si aku)
Bait
5
Segala sesuatu
yag diperbuat oleh Tuhan selalu melukiskan hal-hal yang berisikan tentang
kebenaran (gemetar menyapu sajak) dan
tidak seorang pun yag berani untuk mentang kebenaran tersebut.
Bait
6
Cahaya Tuhan
dapat membangkitkan (membakar)
kenangan yang tidak dapat terlupakan. Cahaya Tuhan dapat juga menyadarkan si
aku terhadap segala kesalahan dan dosa yang telah dilakukannya.
Bait
7
Di dalam hati
yang paling dalam si aku (jendela)
selalu terasa adanya kehadiran Tuhan (muka
putih). Kehadiran Tuhan selalu mengingatkan (mengikuti) si aku terhadap dosa dan kesalahn yang telah
diperbuatnya dalam kehidupan sehari-hari. Dan itu terjadi sejak si aku di
lahirkan.
Bait
8
Semua peringatan
Tuhan dapat membangkitkan dan menydarkan terhadap segala dosa dan kesalahan si
aku sampai akhir hayatnya (tanganku
lumpuh).
Pada hakikatnya
setiap manusia menyadari bahwa didalam diriya selalu ada rasa dosa dan
kesalahan, kesadaran itu dapat timbul karena adanya kehadiran Tuhan di lubuk
hati yang paling dalam. Semua yang Tuhan lakukan adalah kekal. Semua itu mampu
membangkitkan rasa dosa dan kesalah si aku hingga akhir hidupnya.
Tema
dan Amanat
Tema
Tema
puisi yang berjudul rasa dosa tersebut adalah
setiap manusia mengakui adanya Tuhan (si muka putih), mereka menyadari bahwa Tuhan selalu mengingatkan
kepada manusia akan dosa dan kesalahan yang telah dilakukannya. Setiap saat
Tuhan hadir dalam diri seseorang, dan semua yang dilakukan-Nya adalah kekal.
Amanat
Amanat
yang dapat dipetik dari puisi tersebut adalah:
a. Tuhan
selalu hadir dalam hati seseorang yang mempercayainya.
b. Tuhan
adalah kekal dan abadi
c. Hendaknya
suara Tuhan mampu menembus ke lubuk hati yang paling dalam pada seluruh umat
d. Hendaknya
manusia menyadari akibat dari dosa dan kesalahan yang telah diperbuatnya
e. Hendaknya
setiap saat manusia menyadari bahwa dalam dirinya selalu ada dosa dan
kesalahan, dan perlu melakukan pertobatan atau penyesalan.
D.
Penutup
Berdasarkan
penjabaran diatas dapat disimpulkan bahwa pendekatan semiotik adalah
pengembangan dari pendekatan struktural. Oleh karena itulah, pendekatan
semiotik tidak dapat dipisahkan dengan pendekatan struktural. Alasannya, karya
sastra merupakan struktur tanda-tanda yang bermakna. Tanpa memperhatikan sistem
tanda, tanda dan maknanya, dan konvensi tanda, struktur karya sastra tidak
dapat dimengerti maknanya secara optimal.
Pendekatan
struktural sering disebut juga dengan pendekatan objektif. Dengan kata lain
pendekatan ini memandang dan menelaah sastra dari segi intrinsik atau dari
dalam karya itu sendiri. Sedangkan semiotik adalah ilmu yang mempelajari
penggunaan tanda dan perlambangan. Tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu
yang lain yang dapat berupa pengalaman, pikiran, perasaan, gagasan dan
lain-lain.
Selanjutnya
puisi yang dianalisis dengan pendekatan semiotik dalam makalah ini adalah puisi
“Rasa dosa” karya Subagio Sastrowardoyo yang mengandung makna bahwa setiap
manusia mengakui adanya Tuhan (si muka
putih), mereka menyadari bahwa Tuhan selalu mengingatkan kepada manusia
akan dosa dan kesalahan yang telah dilakukannya. Setiap saat Tuhan hadir dalam
diri seseorang, dan semua yang dilakukan-Nya adalah kekal.
Daftar Pustaka
Aminudin.
(1987). Pengantar apresiasi karya sastra. Malang: Sinar Baru Algensindo.
Atmazaki.
(1990). Ilmu sastra teori dan terapan. Padang: Angkasa Raya.
Keraf,
Gorys. (1985). Diksi dan gaya bahasa. Jakarta: Sinar Harapan.
Nurgiyantoro,
Burhan. (1995). Teori pengkajian puisi.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Pradopo,
Rachmat Djoko. (1995). Beberapa teori
sastra, metode sastra, dan penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Sudjiman,
Panuti.(1983). Kamus istilah sastra.
Jakarta: Gramedia.
Semi,
Atar. (1984). Kritik sastra. Bandung: Angkasa.
Sukada,
Made. (1985). Pembinaan kritik sastra indonesia. Bandung: Angkasa.
Suharianto.
(1982). Pengantar apresiasi puisi. Surakarta: Widya Duta.
Teeuw,
A. (1980). Ilmu sastra umum dan ilmu
sastra malindo. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.
Waluyo,
Herman J. (1987). Teori dan apresiasi puisi. Surakarta: Erlangga.