Rabu, 20 Juli 2016

Pantun Ku

malam-malam makan kacang
sambil nonton seni pertunjukan
manusia hanya bisa merancang
kuasa Tuhan yang menentukan
 
jangan suka makan markisa
markisa itu buah berserat
jangan suka berbuat dosa
agar slamat dunia akhirat

jangan suka makan markisa 

lebik baik makan tomat

jangan suka berbuat dosa

jika ingin hidup selamat 
 
nunggu di halte berjam-jam
padahal saya tidak suka
mata satu ekornya tajam
apakah itu cobalah terka?
Jalan-jalan di pagi hari
Tidak lupa beli semangka
Luar halus dalam berduri
Apakah itu cobalah terka?
 

Kamis, 14 Juli 2016

Apresiasi Puisi “Rasa Dosa” Karya Subagio Sastrowardoyo dengan Pendekatan Semiotik


A.      Latar Belakang
Sastra merupakan suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang membicarakan tentang manusia dan kehidupannya dan bahasa sebagai alat penghantarnya. Semi (1984) menyatakan bahwa sebagai seni kreatif yang menggunakan manusia dan segala macam kehidupannya maka ia tidak saja merupakan suatu media untuk menyampaikan ide, teori atau sistem berfikir manusia.
Dari pendapat tersebut jelas bahwa sebagai karya seni kreatif sastra harus dapat melahirkan suatu daya kreasi yang indah dan berusaha menyalurkan kebutuhan akan keindahan manusia. Selain itu sastra harus mampu pula menjadi sarana penyampaian ide-ide yang dirasakan dan dipikirkan oleh sastrawan tentang manusia. 
Pada dasarnya, karya sastra mengungkapkan banyak permasalahan kehidupan atau peristiwa yang terjadi, baik yang menggembirakan atau yang menyedihkan yang diungkapkan melalui bahasa yang bersifat konotatif. Pengarang sebagai pengungkap permasalahan kehidupan bermaksud menyampaikan sesuatu kepada pembaca atau penikmat karyanya.
Suharianto (1982) mengatakan bahwa karya sastra tidak dapat dipisahkan dari kehidupan, karena karya sastra merupakan hasil pengamatan sastrawan terhadap kehidupan sekitar.
Hal senada juga diungkapkan Aminudin (1987) yang menyatakan bahwa karya sastra merupakan bagian dari kehidupan manusia, sebab malalui karya sastra seseorang dapat mengungkapkan perasaannya baik secara lisan atau tulis. Menurutnya, ada beberapa manfaat yang dapat diperoleh dalam menganalisis karya sastra yaitu: 1) Memperoleh informasi yang berhubungan dengan nilai-nilai kehidupan. 2) Meningkatkan nilai kehidupan dan memperluas pandangan atau wawasan manusia. 3) Menjernihkan komplikasi batin. 4) Merekam dan memaparkan unsur-unsur sosiokultural serta mengembangkan sifat kritis dalam mengamati perkembangan zaman.
Seseorang yang ingin memahami suatu karya sastra khususnya puisi harus berusaha mengungkapkan segala sesuatu yang terselubung di dalam karya sastra yang dibacanya. Pada dasarnya pemberian makna pada sebuah puisi tidaklah mudah. Oleh karena itu, untuk dapat memahami makna puisi secara menyeluruh, dituntut kecermatan dari seorang pembacanya. Salah satu pemaknaan yang dapat dilakukan pembaca yakni dengan pendekatan semiotik.
Pada dasarnya pendekatan semiotik adalah pendekatan yang berpijak atas asumsi bahwa puisi adalah tanda-tanda yang mesti diberi makna atau diinterpretasikan. Teeuw (1984) menyatakan bahwa dalam rangka semiotik analisis struktur tetap penting dan perlu dilakukan. Menurutnya, analisis struktur sebuah karya sastra tak lain dan tak bukan sebuah usaha untuk sebaik mungkin mendeskripsikan apa yang dilakukan dalam proses membaca dan memahami karya sastra. Dengan demikian, analisis struktur tidak dapat dipisahkan dengan analisis semiotik.
Hal yang sama juga diungkapkan Junus (dalam Pradopo, 1995) yang menyatakan bahwa semiotik itu merupakan lanjutan atau perkembangan strukturalisme. Strukturalisme tidak dapat dipisahkan dengan semiotik. Alasannya, adalah karya sastra itu merupakan struktur tanda-tanda yang bermakna. Tanpa memperhatikan sistem tanda, tanda dan maknanya, dan konvensi tanda, struktur karya sastra tidak dapat dimengerti maknanya secara optimal.   
Pada dasarnya pendekatan struktural-semiotik bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat-cermatnya, seteliti, semendetail dan semendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua unsur dan aspek karya sastra yang sama-sama menghasilkan makna secara menyeluruh. Berdasarkan uraian tersebut dalam makalah ini akan membahas tentang apresiasi puisi ‘sebuah kamar’ karya Chairil Anwar dengan pendekatan semiotik.

B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, rumusan masalah dalam makalah ini adalah “Bagaimanakah mengapresiasi puisi “Rasa Dosa” karya Subagio Sastrowardoyo dengan pendekatan semiotik”.

C.      Landasan Teori
1.        Pengertian Apresiasi
Aminudin (1987) menyatakan bahwa apresiasi berasal dari bahasa latin yakni “apreciation” yang berarti mengindahkan atau menghargai. Selanjutnya Sudjiman (1984) mengatakan bahwa apresiasi merupakan suatu penghargaan terhadap cipta sastra berdasarkan pada pemahaman.
Pendapat ini diperkuat oleh Micheel dalam Teew (1984) bahwa apresiasi adalah suatu kegitan untuk menimbang, menilai dan merasakan bahwa karya sastra itu indah dan menyenangkan.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa apresiasi merupakan suatu kegiatan untuk menikmati, menghargai dan memahami nilai-nilai kehidupan yang terdapat dalam masyarakat melalui bahasa sastra yang bersifat konotatif.         
2.        Pengertian Puisi
Puisi merupakan bentuk karya sastra yang bersifat imajinatif. Artinya bahasa sastra yang banyak mengandung makna kias atau makna lambang (majas). Waluyo (1987) menyatakan bahwa puisi merupakan bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran, dan perasaan penyair secara imajinatif dan tersusun secara menarik dengan mengkonsentrasikan struktur fisik dan struktur batin.
Hal senada juga diungkapkan Pradopo (1995) bahwa puisi adalah suatu bentuk ekspresi pemikiran yang membangkitkan perasaan dan merangsang pembaca untuk berimajinasi lewat susunan kata-kata yang dinyatakan secara menarik. 
Dari pendapat para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa puisi adalah bentuk karya sastra yang berisi tentang pengalaman batin sang penyair melalui bahasa yang bersifat konotatif sehingga merangsang seseorang untuk berimajinasi.

3.        Pengertian Pendekatan Struktural
Munculnya minat pakar sastra untuk meneliti karya sastra sebagai suatu struktur dimulai sejak Ferdinand de Saussure, seorang sarjana bangsa Swiss. Beliau memperkenalkan teori struktural dibidang linguistik pada awal abad ke-20 (Atmazaki, 1990). Beliau adalah tokoh linguistik yang mengilhami munculnya teori struktural dalam berbagai bidang ilmu bahasa, antropologi, sastra, dan lain-lain. Di Indonesia teori struktural diperkenalkan sejak tahun 1978 pada penataran kesusasteraan yang diselenggarakan oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Teori ini perlu dikembangkan karena memiliki kemampuan besar untuk menganalisis atau mengkritik karya sastra sehinga dapat diperoleh makna karya sastra secara maksimal.
Sebuah karya sastra, baik prosa maupun puisi menurut kaum strukturalisme adalah sebuah totalitas yang dibangun secara koherensif oleh berbagai unsur (pembangunnya). Menurut Abrams (dikutip Nurgiyantoro,1995) struktur karya sastra dapat diartikan sebagai susunan, penegasan, dan gambaran semua bahan dan bagian yang menjadi komponen yang secara bersamaan membentuk kebulatan yang indah. 
Pada hakikatnya pendekatan struktural senantiasa berusaha melihat interaksi unsur-unsur atau bagian-bagian yang terkandung di dalamnya. Kecermelangan sebuah cipta sastra sebenarnya berada dalam kekompakan, kebulatan atau kepaduan, tidak dalam unsur-unsur yang terpisah-pisah (Sukada, 1985).
Demikian juga Semi (1984) menyatakan bahwa pendekatan struktural sering disebut juga dengan pendekatan objektif. Karya sastra mempunyai suatu kebulatan makna yang merupakan akibat perpaduan isi dengan pemanfaatan bahasa sebagai alatnya. Dengan kata lain pendekata ini memandang dan menelaah sastra dari segi intrinsik atau dari dalam karya itu sendiri. 
4.        Pengertian Pendekatan Semiotik
Dari segi istilah, semiotik berasal dari istilah Yunani kuno “semeion” yang berati tanda atau “sign” dalam bahasa Inggris. Semiotik merupakan ilmu yang mengkaji hal-hal yang berkaitan dengan komunikasi dan ekspresi. Pendekatan semiotik ini pada dasarnya merupakan pengembangan pendekatan objektif atau pendekatan struktural, yaitu penelaahan sastra dengan mempelajari setiap unsur yag ada didalamnya, tanpa ada yang dianggap tidak penting, serta melihat suatu karya sastra sebagai suatu yang terikat kepada sistem yang dibentuknya sendiri sehingga sistem yang ada diluarnya tidak berlaku terhadapnya (Semi, 1984).
Menurut Riffaterre (dalam Pradopo, 1995) mengatakan bahwa semiotik dapat diartikan sebagai pertentangan antara meaning (arti) dan significance (makna); keduanya memainkan peranan yang sangat penting. Dalam membaca puisi meaning yang diberikan disesuaikan dengan mimetik yang ada dalam skemata seseorang, antara lain atas dasar kemampuan membaca puisi. Sementara itu makna, significance lebih ditekankan untuk arti sastranya, sebab puisi dapat menyatakan pengertian-pengertian dan hal-hal secara tidak langsung, menyatakan sesuatu hal yang bearti yang lain. Dengan demikian, bahasa puisi dapat memberikan makna lain daripada bahasa biasa. Hal ini dikarenakan puisi mempunyai konvensi sendiri disamping konvensi bahasa. Konvensi tersebut sering disebut dengan konvensi tambahan, yaitu yang ditambahkan pada konvensi bahasa.
Hal senada juga diungkapkan Pradopo (1995) yang menyatakan bahwa semiotik adalah ilmu tentang tanda. Tanda mempunyai dua aspek yaitu penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda adalah bentuk formalnya yang menandai sesuatu yang disebut petanda, sedangkan petanda adalah sesuatu yang ditandai oleh penanda itu sendiri yaitu artinya.
Selanjutnya, Sudjiman (1983) dan Nurgiyantoro (1995) juga menyatakan bahwa semiotik adalah ilmu yang mempelajari penggunaan tanda dan perlambangan. Tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain yang dapat berupa penglaman, pikiran, perasaan, gagasan dan lain-lain. Jadi, yang dapat  menjadi tanda sebenarnya bukan hanya bahasa saja, melainkan beberapa hal yang melingkupi kehidupan ini, walau harus diakui bahwa bahasa adalah sistem tanda yang paling lengkap dan sempurna.  
Untuk dapat mengetahui bagaimana tanda-tanda itu berfungsi, pertama-pertama perlu ditelaah secara rinci bagaimana para linguis bekerja berdasarkan pada teoritikus, para analisis struktural dan para ahli retorika. Pada jenis kata, pada anak kalimat, dan juga dipakai pengertian metafora dan metonimi. Semua ini akan memberikan simbolitas teks.
Berdasarkan pada konsep di atas, semakin memperjelas bahwa semiotik mempelajari segala sesuatu yang berbentuk simbol, hal-hal yang tidak dapat diterangkan secara alamiah. Misal, orang menangis mendengarkan lagu yang sedih tidak termasuk kajian semiotik. Secara ilmiah orang menangis dikarenakan kesedihan yang dialami, merupakan seuatu yang wajar dan itu sudah biasa terjadi. Hal itu tidak termasuk kajian semiotik. Tetapi orang menangis karena kebahagian yang dialami itu merupakan sesuatu yang luar biasa. Peristiwa itu dapat dikaji secara semiotik.
5.        Analisis Puisi dengan Pendekatan Semiotik
Berdasarkan kajian teoritis struktural-semiotik, diberikan kajian secara mendalam mengenai analisis puisi. Analisis struktural menekankan pada adanya fungsi dan hubungan antarunsur (intrinsik) dalam sebuah karya sastra. Sedangkan semiotik mencoba mengembalikan secara totalitas makna yang terkandung dalam puisi. Pemahaman tersebut sebagai berikut:
a)        Unsur-unsur dalam sajak
Dalam menentukan pemahaman terhadap unsur-unsur sajak dapat dilakukan proses pemaknaan lewat pembacaan hermeneutik. Untuk itu sajak harus dibaca merenik. Artinya bahwa pemaknaan sajak dapat dilakukan dengan cara mengartikan kata-kata tertentu yang dianggap sulit kedalam makna yang lebih mudah untuk dimengerti. Untuk mempermudah pada tingkatan ini perlu pula dilakukan parafrase, artinya suatu usaha untuk membahasakan kembali bahasa puisi yang sangat singkat kedalam bentuk prosa. 
b)        Konvensi puisi
Secara umum konvensi sastra adalah kesepakatan tentang sastra, baik dari segi penciptaan maupun dari segi pembacaan (Atmazaki, 1990). Dari segi penciptaan pengarang menciptakan karyanya sesuai dengan konvensi masing-masing jenis sastra. Dari segi pembacaan, pembaca menentukan sikap yang dituntut oleh konvesi sastra yang sedang dihadapinya. Diantara konvensi tambahan tersebut ada juga konvensi tambahan puisi bahwa puisi itu menyatakan pengertian-pengertian dan hal-hal secara tidak langsung, yaitu menyatakan sesuatu hal dan berarti yang lain.
Riffaterre (dalam Pradopo, 1995) ada satu hal yang tetap dalam puisi, puisi itu menyatakan secara tidak langsung yaitu menyatakan sesuatu hal yang berarti yang lain. Ketidaklangsungan ucapan ini disebabkan oleh tiga hal, yaitu: penggantian arti (displacing), penyimpangan arti (distoring), dan penciptaan arti (creating of meaning).      
1)        Penggantian arti
Penggantian arti terjadi apabila tanda itu menunjukan arti satu dengan yang lain. Satu kata dapat berhadapan dengan yang lain, hal ini dapat terjadi pada metafora dan metonimi (Riffaterre dalam Pradopo, 1995). Metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal secara langsung tetapi dalam bentuk singkat (Keraf, 1985).
Metafora tidak selalu harus menduduki fungsi predikat, tetapi juga menduduki fungsi lain seperti subjek, objek dan sebagainya. Dengan demikian, metafora dapat berdiri sendiri sebagai kata. Sedangkan metonimia diturunkan dari kata Yunani meta yang berati menunjukan perubahan dan anoma yang berarti nama. Dengan demikian metonimia adalah suatu gaya bahasa yang mempergunakan sebuah hal untuk menyatakan suatu hal yang lain karena mempunyai pertalian yang sangat dekat (Keraf, 1985). 
Pradopo (1995) menyatakan bahwa secara umum dalam pembicaraan puisi, bahasa kiasan seperti perbandingan, personifikasi, sinekdoke, dan metonimi itu biasa disebut dengan metafora.
2)        Penyimpangan arti
Menurut Riffaterre (dalam Pradopo, 1995) penyimpangan arti dapat disebabkan oleh tiga hal yaitu: ambiguitas, kontradiksi, dan nonsense.
Ambiguitas disebabkan oleh bahasa sastra itu berarti ganda (polyinterpretable). Dalam puisi kata-kata, frase dan kalimat sering memiliki arti ganda yang menimbulkan banyak tafsiran atau ambigu.
Kontradiksi sering terjadi dalam sajak modern dan biasanya bersifat ironi, yaitu salah satu cara menyampaikan maksud secara berlawanan atau kebalikan. Ironi diturunkan dari kata ‘eironeia’ yang berarti penipuan atau pura-pura. Sebagai bahasa kiasan, ironi atau sindiran adalah suatu acuan yang ingin mengatakan sesuatu dengan makna atau maksud berlainan dengan apa yang terkandung dalam rangkaian kata-katanya (Keraf, 1985). 
Sedangkan nonsense adalah kata-kata yang secara linguistik tidak mempunyai arti, sebab hanya berupa rangkaian bunyi dan tidak terdapat dalam kamus. 
3)        Penciptaan arti
Penciptaan arti merupakan konvensi kepuitisan yang berupa bentuk visual yang secara linguistik tidak mempunyai arti, tetapi  menimbulkan makna dalam sajak (karya sastra). Jadi penciptaan arti ini merupakan organisasi teks diluar linguistik, misal pembaitan, enjambement, persajakan (rima), tipografi dan lain-lain.
c.         Pembacaan semiotik
Untuk dapat memberi makna sajak secara semiotik, pertama kali dapat dilakukan dengan pembacaan heuristik yang dilanjutkan dengan pembacaan hermeneutik atau retroaktif (Riffaterre, dalam Pradopo 1995).    
1)        Pembacaan heuristik
Pembacaan heuristik adalah pembacaan berdasarkan struktur bahasanya atau secara semiotik adalah berdasarkan semiotik tingkat pertama, yaitu menurut konvensi bahasa (Indonesia). Pembacaan heuristik menghasilkan pemahaman makna secara harfiah, makna tersurat, actual meaning (Nurgiyantoro, 1995).  
Pradopo (1995) juga menyatakan bahwa pembacaan heuristik adalah pembacaan berdasarkan struktur kebahasaannya. Pembacaan heuristik dilakukan untuk memperjelas arti bila mana perlu diberi sisipan kata atau sinonim kata-katanya diletakkan dalam tanda kurung. Begitu juga struktur kalimatnya disesuaikan dengan kalimat baku (berdasarkan tata bahasa normatif), bila perlu susunan dibalik untuk memperjelas arti.
2)        Pembacaan retroaktif/hermeneutik 
Teeuw (dalam Nurgiyantoro, 1995) mengatakan bahwa pembacaan hermeneuitik dilakukan dengan pemahaman keseluruhan berdasarkan unsur-unsurnya, dan sebaliknya pemahaman unsur-unsur berdasarkan keseluruhannya.
Pada prinsipnya hermeneutik selalu berhubungan dengan bahasa. Pembacaan hermeneutik mengingatkan pembaca pada hal-hal yang baru, sebagai akibat yang timbul dari larik-larik puisi. Hal ini dapat dilakukan dengan cara membahasakan kembali, melakukan revisi, dan membandingkan ulang. Ini semua merupakan suatu cara yang dapat dilakukan dalam memahami tanda-tanda struktural.
Berdasarkan konsep pemikiran di atas, untuk pembacaan hermeneuitik sajak harus dibaca berdasarkan konvesi sastra yang memberikan makna itu diantara konvensi ketidaklangsungan ucapan  (ekspresi sajak).

6.        Penerapan Analisis Puisi “Rasa Dosa” Karya Subagio Sastrowardoyo dengan Pendekatan Semiotik
           
Rasa Dosa

muka putih di jendela
mengikut aku dari subuh

semua kekal

nyawa
jejak membekas di lumpur hati

kata
Suara bergema di ruang abadi

tangan
jari gemetar menyaput sajak

mata
kenangan akhir membakar diri

muka putih di jendela
mengikut aku dari subuh

tanganku lumpuh
                                    (
Karya Subagio Sastrowardoyo)

Untuk mengetahui makna puisi “Rasa Dosa” karya Subagio Sastrowardoyo, sebelum pembacaan heuristik dan hermeneutik maka terlebih dahulu dilakukan analisis gaya bunyi sajak yakni sebagai berikut:
Gaya bunyi sajak
Puisi “Rasa Dosa” karya Subagio Sastrowardoyo mempergunakaan asonansi a sehingga sajak menjadi berirama dan timbulnya rasa introspeksi diri.
Pada bait pertama tampak dipergunakan kombinasi bunyi a dan i. Hal itu dimaksudkan untuk mempertegas arti dalam mengintrospeksi diri. Pada baris kedua tampak adanya kombinasi bunyi vokal dan konsosnan yaitu vokal e, i, u, dan konsonan k, ng, r, dan b tampak dipergunakan bunyi yang berselang –seling sehingga menimbulkan rasa merdu. Hal ini tampaak pada baris /mengikut aku dari subuh/.
Demikian juga pada bait kedua, kombinasi bunyi bervariasi bunyi vokal a, dan konsonan l yang berfungsi untuk menegaskan dan meyakinkan rasa introspeksi diri, seperti dalam sajak /semua kekal/.
Pada bait ketiga kembali terjadi pengulangan bunyi vokal a dan pada baris kedua terdapat kombinasi bunyi vokal e, a, u dan konsonan j, m, k, s. Hal ini semakin menegaskan bahwa peringatan Tuhan semakin terasa dalam diri si aku dan si aku mulai menyadari adanya dosa dalam dirinya. Pernyataan tersebut dapat dilihat pada sajak: / nyawa//jejak membekas di lumpur hati/.
Pada bait keempat bunyi-bunyi vokal semakin ditampilkan, yaitu baris pertama terjadi pengulangan bunyi vokal a dan pada baris kedua vokal tersebut diselingi oleh bunyi konsonan yaitu a, i, ng, i. Hal ini semakin memperkuat rasa introspeksi diri dan semakin membuat si pembaca turut merasa apa yang dialami si aku. Penyataan tersebut terdapat dalam sajak:/ kata//suara bergema di ruang abadi/.
Pada bait kelima terjadi kombinasi bunyi-bunyi vokal a, e, u, dan bunyi konsonan r, k, s, p, hal ini menandakan bahwa si aku semakin merasakan bahwa ada sesuatu yang sangat berat dalam diri si aku, dan ini membuat siaku merasa takut, bimbang, bersalah  dan tidak tahu harus berbuat apa. Hal ini dapat dilihat dalam sajak: / tangan//jari gemetar menyaput sajak/.
Dalam baris keenam juga terjadi kombinasi antara bunyi-bunyi vokal a, e, i, dan bunyi-bunyi konsonan yaitu ng, kh, m, k, r, hal ini berarti bahwa dalam diri si aku bukan hanya ketakutan tetapi lebih dari itu. Bunyi-bunyi tersebut semakin memperkuat makna pada bait sebelumnya yaitu makna ketakutan si aku kepada Tuhan akibat dari dosa yang telah diperbuatnya. Pernyataan tersebut dapat dilihat dalam sajak: / mata//kenangan akhir membakar diri/. 
pada bait ketujuh terjadi pengulangan yang sama seperti pada bait pertama, hal ini dimaksudkan untuk semakin meyakinkan bahwa Tuhan selalu menegur umta-Nya untuk tidak berbuat dosa dan kesalahan. 
 Selanjutnya pada bait terakhir terdapat bunyi vokal dan konsonan u, dan h. Bunyi-bunyi tersebut akan menimbulkan irama yang merdu dan indah. Dalam sajak tersebut menggambarkan si aku yang sudah tidak berdaya lagi atau sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Hal ini dapat disimak dalam sajak:/tanganku lumpuh/.  

Gaya kata 
Sajak yang berjudul “Rasa Dosa” tampak menggunakan pilihan kata yang sangat sesuai dengan bunyinya. Pernyataan tersebut dapat dilihat melalui penggunaan kombinasi bunyi vokal a, i, u, dengan bunyi-bunyi konsonan k, t, h, l, misalnya: /muka putih di jendela/.
Dalam hal diksi (pilihan kata) yang menonjol adalah pemakaian metafora dan hiperbola. Hal itu tampak pada baris: “muka putih” (metafor Tuhan, malaikat), “jendela” (menunjukan hati), “subuh” (sejak adanya kehidupan), “nyawa” (kehidupan), “lumpur hati” (hati yang penuh dosa, kesalahan), “ruang abadi” (hati yang paling dalam), “tangan” (kekuasaan Tuhan), “gemetar” (rasa takut), “sajak” (mengiaskan suatu kisah kehidupan manusia), “lumpuh” (tidak dapat berbuat apa-apa)

Gaya kalimat
Gaya kalimat berupa ironi, hiperbola dan metafora.
Ironi
mengikut aku dari subuh / jari gemetar menyaput sajak”.


Hiperbola
Suara bergema di ruang abadi / kenangan akhir membakar diri/ jejak membekas di lumpur hati”.
Metafora
“muka putih di jendela”.

Pada puisi tersebut juga terdapat berbagai jenis citraan, yaitu diantaranya:
Citraan penglihatan:
/ muka putih di jendela//mengikut aku dari subuh/.
 Dari larik puisi tersebut dapat menimbulkan citraan penglihatan, yang seolah-olah penyair mengajak pembaca untuk dapat membayangkan betapa besar kekuatan Tuhan terhadap diri manusia.
Citraan pendengaran
/Suara bergema di ruang abadi/
Pada larik puisi tersebut penyair mengajak pembaca untuk dapat merasakan betapa dahsyatnya suara Tuhan dalam diri manusia, sehingga mampu menerobos hati manusia yang paling dalam.  

Pembacaan heuristik
Bait 1
Di jendela (ada si) muka putih (yang selalu) mengikuti aku (mulai) dari subuh.
Bait 2
Semua (yang dilakukan si muka putih itu bersifat) kekal (abadi).
Bait 3
Nyawa (si muka putih) terlalu membekas (dan selalu mengusik) jejak di lumpur hati (hati si aku yang penuh dosa).
Bait 4
(Per-) kata (-an) (si muka putih dan) suara (nya selalu) bergema (dan memberikan peringatan) di ruang abadi (dalam hati si aku) 


Bait 5
Tangan (si muka putih) (dan) jari (jemarinya selalu) gemetar menyaput (menulis) sajak    (tentang kebenaran)
 Bait 6
(Tatapan) mata (si muka putih terasa) membakar diri (si aku yang penuh dosa) dan itu (sebagai) kengan akhir. 
Bait 7
Di jendela (ada si) muka putih (yang selalu) mengikuti aku (mulai) dari subuh
Bait 8
Tanganku (si aku yang penuh dosa) terasa lumpuh (tidak dapat berbuat apa-apa) 

Pembacaan retroaktif atau hermeneutik
Bait 1
Di dalam lubuk hati yan paling dalam, (jendela) si aku selalu merasakan bahwa di dalam dirinya Tuhan selalu hadir (muka putih) dan selalumemberikan (mengikuti) peringatan terhadap segala dosa dan kesalah yang telah diperbuatnya. Dan peringatan itu selalu mewarnai setiap langkah dan pekerjaan yng dilakukan oleh si aku dalam melakukan aktivitas dalam kehidupan sehari-hari  (subuh).  
Bait 2
Segala sesuatu yang diciptakan oleh Tuhan (si muka putih) bersifat abadi (kekal) dan semuanya itu selalu ada di hati si aku yang penuh dengan dosa dan kesalahan. Tuhan memiliki sifat yang kekal yang tidak dimiliki oleh mahluk lain.
Bait 3
Kehadiran Tuhan kedalam diri si aku (nyawa) terasa mengusik dan mengingatkan segala sesuatu yang telah diperbuatnya dan semuanya itu terasa (membekas) dilumpur hatinya (hatinya yang penuh dengan dosa dan kesalahan).
Bait 4
Kata-katanya (suara) selalu bergema dan terasa memberikan suatu peringatan kepada si aku terhadap segala dosa dan kesalahan yang diperbuatnya dalam kehidupan sehari-hari (di ruang abadi si aku)

Bait 5
Segala sesuatu yag diperbuat oleh Tuhan selalu melukiskan hal-hal yang berisikan tentang kebenaran (gemetar menyapu sajak) dan tidak seorang pun yag berani untuk mentang kebenaran tersebut.
Bait 6
Cahaya Tuhan dapat membangkitkan (membakar) kenangan yang tidak dapat terlupakan. Cahaya Tuhan dapat juga menyadarkan si aku terhadap segala kesalahan dan dosa yang telah dilakukannya. 
Bait 7
Di dalam hati yang paling dalam si aku (jendela) selalu terasa adanya kehadiran Tuhan (muka putih). Kehadiran Tuhan selalu mengingatkan (mengikuti) si aku terhadap dosa dan kesalahn yang telah diperbuatnya dalam kehidupan sehari-hari. Dan itu terjadi sejak si aku di lahirkan.
Bait 8
Semua peringatan Tuhan dapat membangkitkan dan menydarkan terhadap segala dosa dan kesalahan si aku sampai akhir hayatnya (tanganku lumpuh).
Pada hakikatnya setiap manusia menyadari bahwa didalam diriya selalu ada rasa dosa dan kesalahan, kesadaran itu dapat timbul karena adanya kehadiran Tuhan di lubuk hati yang paling dalam. Semua yang Tuhan lakukan adalah kekal. Semua itu mampu membangkitkan rasa dosa dan kesalah si aku hingga akhir hidupnya. 

Tema dan Amanat
Tema
Tema puisi yang berjudul rasa dosa tersebut adalah  setiap manusia mengakui adanya Tuhan (si muka putih), mereka menyadari bahwa Tuhan selalu mengingatkan kepada manusia akan dosa dan kesalahan yang telah dilakukannya. Setiap saat Tuhan hadir dalam diri seseorang, dan semua yang dilakukan-Nya adalah kekal.
Amanat
Amanat yang dapat dipetik dari puisi tersebut adalah:
a.       Tuhan selalu hadir dalam hati seseorang yang mempercayainya.
b.      Tuhan adalah kekal dan abadi
c.       Hendaknya suara Tuhan mampu menembus ke lubuk hati yang paling dalam pada seluruh umat
d.      Hendaknya manusia menyadari akibat dari dosa dan kesalahan yang telah diperbuatnya
e.       Hendaknya setiap saat manusia menyadari bahwa dalam dirinya selalu ada dosa dan kesalahan, dan perlu melakukan pertobatan atau penyesalan.

D.      Penutup
Berdasarkan penjabaran diatas dapat disimpulkan bahwa pendekatan semiotik adalah pengembangan dari pendekatan struktural. Oleh karena itulah, pendekatan semiotik tidak dapat dipisahkan dengan pendekatan struktural. Alasannya, karya sastra merupakan struktur tanda-tanda yang bermakna. Tanpa memperhatikan sistem tanda, tanda dan maknanya, dan konvensi tanda, struktur karya sastra tidak dapat dimengerti maknanya secara optimal.
Pendekatan struktural sering disebut juga dengan pendekatan objektif. Dengan kata lain pendekatan ini memandang dan menelaah sastra dari segi intrinsik atau dari dalam karya itu sendiri. Sedangkan semiotik adalah ilmu yang mempelajari penggunaan tanda dan perlambangan. Tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain yang dapat berupa pengalaman, pikiran, perasaan, gagasan dan lain-lain.
Selanjutnya puisi yang dianalisis dengan pendekatan semiotik dalam makalah ini adalah puisi “Rasa dosa” karya Subagio Sastrowardoyo yang mengandung makna bahwa setiap manusia mengakui adanya Tuhan (si muka putih), mereka menyadari bahwa Tuhan selalu mengingatkan kepada manusia akan dosa dan kesalahan yang telah dilakukannya. Setiap saat Tuhan hadir dalam diri seseorang, dan semua yang dilakukan-Nya adalah kekal.



Daftar Pustaka

Aminudin. (1987). Pengantar apresiasi karya sastra. Malang: Sinar Baru Algensindo. 
Atmazaki. (1990). Ilmu sastra teori dan terapan. Padang: Angkasa Raya.
Keraf, Gorys. (1985). Diksi dan gaya bahasa. Jakarta: Sinar Harapan. 
Nurgiyantoro, Burhan. (1995). Teori pengkajian puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Pradopo, Rachmat Djoko. (1995). Beberapa teori sastra, metode sastra, dan penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Sudjiman, Panuti.(1983). Kamus istilah sastra. Jakarta: Gramedia.
Semi, Atar. (1984). Kritik sastra. Bandung: Angkasa.
Sukada, Made. (1985). Pembinaan kritik sastra indonesia. Bandung: Angkasa.
Suharianto. (1982). Pengantar apresiasi puisi. Surakarta: Widya Duta.
Teeuw, A. (1980). Ilmu sastra umum dan ilmu sastra malindo. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.
Waluyo, Herman J. (1987). Teori dan apresiasi puisi. Surakarta: Erlangga.