Kamis, 14 Juli 2016

Kajian Intertekstual Puisi “Doa” Karya Sanusi Pane dengan Puisi “Doa” Karya Amir Hamzah


A.      Latar Belakang
Pada kenyataanya, karya sastra tidak hadir dalam kekosongan budaya, namun karya sastra hadir karena adanya seorang pengarang yang menuliskannya. Karya sastra diciptakan untuk menanggapi gejala-gejala yang terjadi pada masyarakat sekelilingnya, bahkan seorang pengarang tidak terlepas dari paham-paham, pikiran-pikiran atau pandangan dunia pada zamannya atau sebelumnya. Semua itu tercantum dalam karyanya. Dengan demikian, karya sastra tidak terlepas dari kondisi sosial budayanya dan hubungan kesejarahan sastranya.
Sebuah karya sastra, baik puisi maupun prosa mempunyai hubungan sejarah antara karya sezaman, yang mendahuluinya atau yang kemudian. Hubungan sejarah ini baik berupa persamaan atau pertentangan. Dengan hal demikian ini, sebaiknya membicarakan karya sastra itu dalam hubungannya dengan karya sezaman, sebelum atau sesudahnya. (Pradopo, 1995).
Dalam hubungan sejarah antarteks, perlu diperhatikan prinsip-prinsip intertekstualitas. Prinsip intertekstual yaitu karya sastra baru bermakna penuh dalam hubungannya dengan karya sastra lain, baik dalam hal persamaan maupun pertentangan. Kajian sastra perbandingan, pada akhirnya harus masuk ke dalam wilayah hipogram. Hipogram adalah modal utama dalam sastra yang akan melahirkan karya berikutnya (Riffaterre dalam Nurgiyantoro, 1995).
                                 Puisi yang akan dianalisis dalam makalah ini adalah puisi “Doa” karya Sanusi Pane dengan puisi “Doa” karya Amir Hamzah. Berdasarkan kedua puisi tersebut banyak persamaannya. Persamaan tersebut dapat dilihat dari gaya penulisannya, judulnya, maknanya, dan kedua penyair tersebut juga sama-sama menyebut Tuhan dengan sebutan kekasih. Pada dasarnya Sanusi Pane merupakan penyair Angkatan Balai Pustaka tetapi sering dikaitkan dengan Angkatan Pujangga Baru. Tetapi dalam hal ini puisi “Doa” karya Sanusi Pane diklasifikasikan kedalam Angkatan Balai Pustaka
                                 Selanjutnya, yang menentukan ada tidaknya hubungan interteks dalam sebuah karya sastra khususnya puisi adalah pembaca itu sendiri. Selain itu intertekstual tidak hanya membicarakan adanya hubungan pertentangan antar penyair tetapi juga persamaan atau kesejajaran makna yang ada dalam teks. Hal ini sejalan dengan pendapat Teeuw (dalam Nurgiyantoro, 1995) bahwa intertekstual yaitu membandingkan, mensejajarkan, dan mengontraskan sebuah teks transformasi dengan hipogramnya. Berdasarkan uraian di atas dalam makalah ini akan membahas intertekstual puisi “Doa” karya Sanusi Pane dengan puisi “Doa” karya Amir Hamzah. 

B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam makalah ini adalah “Adakah intertekstualitas puisi “Doa” karya Sanusi Pane dengan puisi “Doa” karya Amir Hamzah?”

C.      Landasan Teori
1.        Definisi Intertekstual
Kajian intertekstual dimaksudkan sebagai kajian terhadap sejumlah teks (lengkapnya: teks kesastraan), yang mempunyai bentuk-bentuk hubungan tertentu. Misalnya, untuk menemukan adanya hubungan unsur-unsur intrinsik seperti ide, gagasan, peristiwa, plot, penokohan, dan gaya bahasa di antara teks-teks yang dikaji. Secara lebih khusus dapat dikatakan bahwa kajian intertekstual berusaha menemukan aspek-aspek tertentu yang telah ada pada karya-karya sebelumnya dan pada karya yang muncul kemudian (Nurgiantoro, 1995).
Intertekstual yaitu membandingkan, mensejajarkan, dan mengontraskan sebuah teks transformasi dengan hipogramnya. Tujuan kajian intertekstual itu sendiri adalah untuk memberikan makna secara lebih penuh terhadap  karya sastra. Penulisan dan pemunculan sebuah karya sering ada kaitannya dengan unsur kesejarahannya, sehingga memberi makna secara lebih lengkap jika dikaitkan dengan unsur kesejarahan (Teeuw dalam Nurgiyantoro, 1995).
Masalah ada tidaknya hubungan antarteks ada kaitannya dengan niatan pengarang dan tafsiran pembaca. Dalam hal ini, Luxemburg (dalam Nurgiyantoro, 1995), mengartikan intertekstualitas sebagai: “kita menulis dan membaca dalam suatu ‘interteks’ suatu tradisi budaya, sosial dan sastra yang tertuang dalam teks-teks. Setiap teks bertumpu pada konvensi sastra dan bahasa dan dipengaruhi oleh teks-teks sebelumnya”.
Kajian intertekstual berangkat dari asumsi bahwa kapan pun karya ditulis, ia tidak mungkin lahir dari situasi kekosongan budaya. Unsur budaya, termasuk semua konvensi dan tradisi di masyarakat, dalam wujudnya yang khusus berupa teks-teks kesastraan yang ditulis sebelumnya. Dalam hal ini dapat diambil contoh, misalnya sebelum para penyair Pujangga Baru menulis puisi-puisi modernnya, di masyarakat telah ada berbagai bentuk puisi lama, seperti pantun dan syair, mereka juga berkenalan dengan puisi-puisi angkatan 80-an di negeri Belanda yang juga telah mentradisi. Demikian pula halnya dengan penulisan prosa dan seterusnya terlihat adanya kaitan mata rantai antara penulisan karya sastra dengan unsur kesejarahannya.
Karya sastra yang ditulis biasanya mendasarkan diri pada karya-karya yang lain yang telah ada sebelumnya baik secara langsung maupun tidak langsung, baik dengan cara meneruskan atau menyimpangi (menolak atau memutarbalikan esensi) konvensi. Menurut Riffaterre (dalam Teeuw, 1980) mengatakan bahwa karya sastra selalu merupakan tantangan, tantangan yang terkandung dalam perkembangan sastra sebelumnya, yang secara konkret berupa sebuah atau sejumlah karya.
Karya sastra yang dijadikan dasar penulisan bagi karya yang kemudian disebut sebagai hipogram. Istilah hipogram diindonesiakan menjadi latar yaitu dasar, walaupun secara eksplisit tidak tampak bagi penulisan karya yang lain. Jadi, hipogram pada dasarnya adalah karya sastra yang menjadi latar penciptaan karya lain. Setiap teks merupakan mosaik kutipan-kutipan dan penyerapan serta transformasi teks-teks lain. Maksudnya, tiap teks itu mengambil hal-hal yang sesuai dari teks lain, berdasarkan tanggapannya dan diolah kembali dalam karyanya.
Hal ini sejalan dengan pendapat Kristeva (Culler dalam Prodopo, 1995), setiap teks adalah mosaik kutipan-kutipan dan merupakan penyerapan dan transformasi teks-teks lain. Dengan kata lain, setiap teks dari suatu karya sastra biasanya mengambil bentuk, intisari atau pokok-pokok yang baik dari teks lain dengan berlandaskan persepsi yang diolah kembali oleh pengarangnya.

2.        Prinsip Pendekatan Intertekstual
Menganalisis karya sastra, kritikus secara aktif memberi makna pada unsur-unsur dan keseluruhan karya sastra. Pemberian makna ini berdasarkan sistem tanda dalam karya sastra. Preminger dkk (dalam Pradopo, 1995) secara khusus menyebutnya sebagai konvensi tambahan, di samping konvensi bahasa yang menjadi mediumnya.
Untuk mendapatkan makna sepenuhnya yaitu dalam menganalisis karya sastra tidak boleh dilepaskan dari konteks sejarah dan konteks sosial budaya. Dalam hubungan pembicaraan intertektualitas ini berkenaan dengan konteks sejarah sastranya. (Teeuw, 1980) mengungkapkan bahwa sebuah karya sastra tidak lahir dalam situasi kosong kebudayaan, termasuk dalam situasi sastranya. Dalam hal ini karya sastra diciptakan berdasarkan konvensi sastra yang ada, disamping sifat hakiki sastra, yaitu sifat kreativitas. Karya sastra yang timbul kemudian itu dicipta menyimpang dari ciri-ciri dan konsep estetik sastra yang ada. Selalu ada ketegangan antara kovensi dengan pembaharuan.
Sebuah karya sastra baik prosa maupun puisi, mempunyai hubungan sejarah antara karya sezaman, yang mendahuluinya atau yang kemudian. Hubungan sejarah ini baik yang persamaan atau pertentangan. Dengan  hal demikian, sebaiknya membicarakan karya sastra itu dalam hubungannya dengan karya sezaman, sebelumnya, atau sesudahnya.
Dalam hubungan sejarah antarteks, perlu diperhatikan prinsip-prinsip intertekstualitas. Menurut Riffaterre (dalam Pradopo, 1995) bahwa sajak baru bermakna penuh dalam hubungannya dengan sajak lain. Hubungangan ini dapat berupa persamaan atau pertentangan. Menurutnya, sajak (teks sastra) yang menjadi latar penciptaan karya sastra sesudahnya itu disebut hipogram. Artinya, tidak ada karya sastra yang lahir itu mencontoh atau meniru karya sebelumnya yang diserap dan ditransformasikan dalam karya tersebut.
Adanya karya-karya yang ditranformasikan dalam penulisan karya sesudahnya ini menjadi perhatian utama kajian intertekstual, misalnya lewat pengontrasan antara sebuah karya dengan karya-karya lain yang diduga menjadi hipogramnya. Adanya unsur hipogram dalam suatu karya, hal ini mungkin disadari atau tidak disadari oleh pengarang. Kesadaran pengarang terhadap karya yang menjadi hipogramnya mungkin berwujud dalam sikapnya yang meneruskan, atau sebaliknya, menolak konvensi yang berlaku sebelumnya.
Prinsip intertektualitas yang utama adalah prinsip memahami dan memberikan makna karya yang bersangkutan. Karya itu diprediksikan sebagai reaksi, penyerapan, atau tranformasi dari karya-karya yang lain. Masalah intertekstual lebih dari sekadar pengaruh, ambilan atau jiplakan, melainkan bagaimana kita memperoleh makna sebuah karya secara penuh dalam kontrasnya dengan karya yang lain yang menjadi hipogramnya, baik berupa teks fiksi maupun puisi.
Adanya hubungan intertekstual dapat dikaitkan dengan teori resepsi. Pada dasarnya pembacalah yang menentukan ada atau tidaknya kaitan antara teks yang satu dengan teks yang lain. Unsur-unsur hipogram itu berdasarkan persepsi, pemahaman, pengetahuan, dan pengalamannya membaca teks-teks lain sebelumnya. Penunjukan terhadap unsur hipogram pada suatu karya dari karya-karya lain, pada hakikatnya merupakan penerimaan atau reaksi pembaca.
Prinsip intertekstualitas merupakan salah satu sarana pemberian makna pada sebuah teks sastra (puisi). Hal ini mengingat bahwa sastrawan itu selalu menanggapi teks-teks sebelumnya. Dalam menanggapi teks-teks itu penyair mempunyai pikiran-pikiran, gagasan-gagasan, dan konsep estetik sendiri yang ditentukan oleh horison harapannya, yaitu pikiran-pikiran, konsep estetik dan pengetahuan sastra yang dimilikinya.

3.         Penerapan Pendekatan Intertekstual dalam Puisi
Hubungan intertekstualitas puisi “Doa” karya Sanusi Pane dengan puisi “Doa” karya Amir Hamzah dapat dilihat sebagai berikut:

Doa
Karya Sanusi Pane

O, kekasihku, turunkan cintamu memeluk daku
Sudah bertahun aku menanti, sudah bertahun aku mencari
O, kekasihku, turunkan rakhmat-Mu ke dalam taman hatiku
Bunga kupelihara dalam musim berganti, bunga kupelihara dengan berahi
O, kekasihku, buat jiwaku bersinar sinar!
O, keindahan, jiwaku rindu siang dan malam, hendak memandang cantik parasMu
Datanglah tuan dari belakang pegunungan dalam ribaan pagi tersenyum
O, beri daku tenaga, supaya aku bisa bersama Tuan melayang sebagai garuda                                  menuju kebiruan langit nilakandi
                                                                                    (Madah kelana)

Doa
karya Amir Hamzah

Dengan apakah kubandingkan pertemuan kita, kekasihku?      
Dengan senja samar sepoi, pada masa purnama meningkat naik, setelah                               menghalaukan panas payah terik.
Angin malam menghembus lemah, menyejuk badan, melambung rasa menayang                             pikir, membawa angan ke bawah kursi-Mu.
Hatiku terang menerima kata-Mu, bagai bintang memasang lilin-Nya.
Kalbuku terbuka menunggu kasih-Mu, bagai sedap malam menyirak kelopak.
Aduh, kekasihku, isi hatiku dengan kata-Mu, penuhi dadaku dengan cahayamu, biar bersinar mataku sendu, biar berbinar galakku rayu!
                                                                                    (Nyanyi sunyi)

            Berdasarkan puisi tersebut ada hubungan interteks antara puisi “Doa” karya Sanusi Pane dengan puisi “Doa” karya Amir Hamzah. Pada dasarnya yang menentukan ada tidaknya hubungan interteks dalam sebuah karya sastra khususnya puisi adalah pembaca itu sendiri. Selain itu intertekstual tidak hanya membicarakan adanya hubungan pertentangan antar penyair tetapi juga persamaan atau kesejajaran makna yang ada dalam teks. Hal ini sejalan dengan pendapat Teeuw (dalam Nurgiyantoro, 1995) bahwa intertekstual yaitu membandingkan, mensejajarkan, dan mengontraskan sebuah teks transformasi dengan hipogramnya.
            Puisi “Doa” karya Sanusi Pane memiliki hubungan persamaan dengan puisi “Doa” karya Amir Hamzah. Persamaan tersebut dapat dilihat dari gaya penulisannya, judulnya, maknanya, dan kedua penyair tersebut juga sama-sama menyebut Tuhan dengan sebutan kekasih. Pada dasarnya Sanusi Pane merupakan penyair Angkatan Balai Pustaka tetapi sering dikaitkan dengan Angkatan Pujangga Baru. Tetapi dalam hal ini puisi “Doa” karya Sanusi Pane diklasifikasikan kedalam Angkatan Balai Pustaka.
            Puisi “Doa” karya Sanusi Pane terdiri dari satu paragraf (delapan baris) sedangkan diksi yang digunakan adalah diksi yang ringan, mudah, jelas, dan familiar dalam kehidupan sehari-hari sehingga mudah dipahami bagi pembaca. Dalam puisi tersebut Sanusi Pane selalu menyebut Tuhan dengan sebutan kekasih. Hal ini nampak dalam sajak /O, kekasihku, turunkan cintamu memeluk daku//O, kekasihku, turunkan rakhmat-Mu ke dalam taman hatiku//O, kekasihku, buat jiwaku bersinar sinar!//. Dari sajak tersebut terlihat bahwa si aku selalu menyebut nama kekasih, dan kekasih di sini bukan sebagai kekasih hati atau teman hidup tetapi kekasih di sini ditujukan untuk menyebut Tuhan. Itu artinya sajak tersebut 
menggambarkan permohonan si aku kepada Tuhan bukan kepada kekasih.
            Begitu juga dengan puisi “Doa” karya Amir Hamzah terdiri dari tiga bait yang menunjukkan kesejajaran gagasan. Sesuai dengan zamannya, Amir Hamzah mempergunakan ekpresi romantik dengan cara metaforis-alegoris, yaitu dengan menyebut Tuhan dengan sebutan kekasih. Hal ini karena penyair ingin menunjukkan kemesraan hubungannya dengan Tuhan bagaikan kemesraannya dengan sang kekasih. Hal ini dapat dilihat dalam sajak/dengan apakah kubandingkan pertemuan kita, kekasihku?//kalbuku terbuka menunggu kasih-Mu//aduh, kekasihku, isi hatiku dengan kata-Mu//. 
            Pada puisi “Doa” karya Amir Hamzah mengandung makna waktu pertemuan antara si aku dengan kekasih (Tuhan). Artinya, si aku sebagai mahluk ciptaan-Nya dan Tuhan sebagai pencipta-Nya atau pertemuan itu dilakukan waktu shalat. Sampai-sampai waktu ini dianggap sangat berharga sehingga waktu tersebut tidak mau dilewatkan atau diabaikan. Selanjutnya pertemuan itu dilaksanakan setelah shalat magrib menjelang isya’. Hal ini terdapat dalam sajak/ Dengan apakah kubandingkan pertemuan kita, kekasihku?//Dengan senja samar sepoi, pada masa purnama meningkat naik, setelah menghalaukan panas payah terik/. Selanjutnya dalam sajak/aduh, kekasihku, isi hatiku dengan kata-Mu, penuhi dadaku dengan cahayamu, biar bersinar mataku sendu, biar berbinar galakku rayu!/ mengandung makna permohonan si aku kepada Tuhan agar diberikan petunjuk berdasarkan isi yang terkandung dalam Al-Quran, supaya hati si aku merasa bahagia dan damai.
            Sedangkan dalam puisi “Doa” karya Sanusi Pane menggambarkan si aku yang selalu memohon kepada Tuhan agar diberikan kedamaian, ketentraman dan ketenangan hati yang sudah sekian lama dinanti. Permohonan itu selalu si aku lakukan siang dan malam tanpa kenal lelah untuk selalu sujud dan taat hanya kepada-Mu. Hal ini terdapat dalam sajak /O, kekasihku, turunkan cintamu memeluk daku//sudah bertahun aku menanti, sudah bertahun aku mencari//O, kekasihku, turunkan rakhmat-Mu ke dalam taman hatiku//O, keindahan, jiwaku rindu siang dan malam, hendak memandang cantik paras-Mu/.
            Kedalaman rasa ketuhanan yang terdapat pada kedua puisi tersebut nampak dalam pemilihan kata, ungkapan, lambang, dan kiasan-kiasan yang digunakan penyair. Unsur-unsur tersebut menunjukkan betapa erat hubungan antara penyair dengan Tuhan. Puisi tersebut juga menunjukkan keinginan penyair agar Tuhan mengisi seluruh kalbunya. Kemudian tentang besarnya cinta, kerinduan, dan kepasrahan sang penyair akan Tuhannya itu dapat kita rasakan secara nyata dalam puisi tersebut.

D.      Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa intertekstual adalah membandingkan, mensejajarkan, dan mengontraskan sebuah teks transformasi dengan hipogramnya. Tujuan kajian intertekstual itu sendiri adalah untuk memberikan makna secara menyeluruh terhadap  karya sastra. Kajian intertekstual berangkat dari asumsi bahwa kapan pun karya ditulis, ia tidak mungkin lahir dari situasi kekosongan budaya. Unsur budaya, termasuk semua konvensi dan tradisi di masyarakat, dalam wujudnya yang khusus berupa teks-teks kesastraan yang ditulis sebelumnya.  
       Dari hasil analisis intertekstual Puisi “Doa” karya Sanusi Pane memiliki hubungan persamaan dengan puisi “Doa” karya Amir Hamzah. Persamaan tersebut dapat dilihat dari gaya penulisannya, judulnya, maknanya, dan kedua penyair tersebut juga sama-sama menyebut Tuhan dengan sebutan kekasih.



Daftar Pustaka

Nurgiyantoro, Burhan. (1995). Teori pengkajian puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Pradopo, Rachmat Djoko. (1995). Beberapa teori sastra, metode sastra, dan penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Teeuw, A. (1980). Ilmu sastra umum dan ilmu sastra malindo. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar