A. Latar Belakang
Pada kenyataanya, karya sastra tidak hadir dalam kekosongan budaya, namun
karya sastra hadir karena adanya seorang pengarang yang menuliskannya. Karya
sastra diciptakan untuk menanggapi gejala-gejala yang terjadi pada masyarakat
sekelilingnya, bahkan seorang pengarang tidak terlepas dari paham-paham,
pikiran-pikiran atau pandangan dunia pada zamannya atau sebelumnya. Semua itu
tercantum dalam karyanya. Dengan demikian, karya sastra tidak terlepas dari
kondisi sosial budayanya dan hubungan kesejarahan sastranya.
Sebuah karya sastra, baik puisi maupun prosa mempunyai hubungan sejarah
antara karya sezaman, yang mendahuluinya atau yang kemudian. Hubungan sejarah
ini baik berupa persamaan atau pertentangan. Dengan hal demikian ini, sebaiknya
membicarakan karya sastra itu dalam hubungannya dengan karya sezaman, sebelum
atau sesudahnya. (Pradopo, 1995).
Dalam hubungan sejarah antarteks, perlu diperhatikan
prinsip-prinsip intertekstualitas. Prinsip intertekstual yaitu karya
sastra baru bermakna penuh dalam hubungannya dengan karya sastra lain, baik
dalam hal persamaan maupun pertentangan. Kajian sastra perbandingan, pada akhirnya harus masuk ke dalam wilayah
hipogram. Hipogram adalah modal utama dalam sastra yang akan melahirkan karya
berikutnya (Riffaterre dalam Nurgiyantoro, 1995).
Puisi
yang akan dianalisis dalam makalah ini adalah puisi “Doa” karya Sanusi Pane
dengan puisi “Doa” karya Amir Hamzah. Berdasarkan kedua puisi tersebut banyak
persamaannya. Persamaan tersebut dapat dilihat dari gaya penulisannya,
judulnya, maknanya, dan kedua penyair tersebut juga sama-sama menyebut Tuhan
dengan sebutan kekasih. Pada dasarnya Sanusi Pane merupakan penyair Angkatan
Balai Pustaka tetapi sering dikaitkan dengan Angkatan Pujangga Baru. Tetapi
dalam hal ini puisi “Doa” karya Sanusi Pane diklasifikasikan kedalam Angkatan
Balai Pustaka
Selanjutnya,
yang menentukan ada tidaknya hubungan interteks dalam sebuah karya sastra
khususnya puisi adalah pembaca itu sendiri. Selain itu intertekstual tidak
hanya membicarakan adanya hubungan pertentangan antar penyair tetapi juga
persamaan atau kesejajaran makna yang ada dalam teks. Hal ini sejalan dengan
pendapat Teeuw (dalam Nurgiyantoro, 1995) bahwa intertekstual yaitu membandingkan,
mensejajarkan, dan mengontraskan sebuah teks transformasi dengan hipogramnya.
Berdasarkan uraian di atas dalam makalah ini akan membahas intertekstual puisi
“Doa” karya Sanusi Pane dengan puisi “Doa” karya Amir Hamzah.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah
dalam makalah ini adalah “Adakah intertekstualitas puisi “Doa” karya
Sanusi Pane dengan puisi “Doa” karya Amir Hamzah?”
C. Landasan Teori
1.
Definisi
Intertekstual
Kajian intertekstual dimaksudkan
sebagai kajian terhadap sejumlah teks (lengkapnya: teks kesastraan), yang
mempunyai bentuk-bentuk hubungan tertentu. Misalnya, untuk menemukan adanya hubungan unsur-unsur intrinsik seperti
ide, gagasan, peristiwa, plot, penokohan, dan gaya bahasa di antara teks-teks
yang dikaji. Secara lebih khusus dapat dikatakan bahwa kajian intertekstual berusaha menemukan aspek-aspek tertentu yang telah ada pada karya-karya
sebelumnya dan pada karya yang muncul kemudian (Nurgiantoro, 1995).
Intertekstual yaitu membandingkan, mensejajarkan, dan mengontraskan sebuah
teks transformasi dengan hipogramnya. Tujuan
kajian intertekstual itu sendiri
adalah untuk memberikan makna secara lebih penuh terhadap karya sastra. Penulisan
dan pemunculan sebuah karya sering ada kaitannya dengan unsur kesejarahannya, sehingga memberi makna secara lebih lengkap jika dikaitkan dengan unsur
kesejarahan (Teeuw dalam Nurgiyantoro, 1995).
Masalah ada tidaknya hubungan
antarteks ada kaitannya dengan niatan pengarang dan tafsiran pembaca. Dalam hal ini, Luxemburg (dalam Nurgiyantoro, 1995), mengartikan intertekstualitas
sebagai: “kita menulis dan membaca dalam suatu ‘interteks’ suatu tradisi
budaya, sosial dan sastra yang tertuang dalam teks-teks. Setiap teks bertumpu
pada konvensi sastra dan bahasa dan dipengaruhi oleh teks-teks sebelumnya”.
Kajian intertekstual berangkat
dari asumsi bahwa kapan pun karya ditulis, ia tidak mungkin lahir dari situasi kekosongan budaya. Unsur budaya, termasuk semua
konvensi dan tradisi di masyarakat, dalam wujudnya yang khusus berupa teks-teks
kesastraan yang ditulis sebelumnya. Dalam hal ini dapat diambil contoh,
misalnya sebelum para penyair Pujangga Baru menulis puisi-puisi modernnya, di
masyarakat telah ada berbagai bentuk puisi lama, seperti pantun dan syair, mereka
juga berkenalan dengan puisi-puisi angkatan 80-an di negeri Belanda yang juga
telah mentradisi. Demikian pula halnya dengan penulisan prosa dan
seterusnya terlihat adanya kaitan mata rantai antara penulisan karya sastra
dengan unsur kesejarahannya.
Karya sastra yang ditulis biasanya mendasarkan diri pada karya-karya yang
lain yang telah ada sebelumnya baik secara langsung maupun tidak langsung, baik
dengan cara meneruskan atau menyimpangi (menolak atau memutarbalikan esensi)
konvensi. Menurut Riffaterre (dalam Teeuw, 1980) mengatakan bahwa karya sastra
selalu merupakan tantangan, tantangan yang terkandung dalam perkembangan sastra
sebelumnya, yang secara konkret berupa sebuah atau sejumlah karya.
Karya sastra yang dijadikan dasar penulisan bagi karya yang kemudian disebut
sebagai hipogram. Istilah hipogram diindonesiakan menjadi latar yaitu dasar,
walaupun secara eksplisit tidak tampak bagi penulisan karya yang lain. Jadi, hipogram pada dasarnya adalah karya sastra yang menjadi latar penciptaan karya lain. Setiap teks merupakan mosaik
kutipan-kutipan dan penyerapan serta transformasi teks-teks lain. Maksudnya, tiap teks itu mengambil hal-hal yang sesuai dari teks lain, berdasarkan tanggapannya dan diolah kembali dalam karyanya.
Hal ini sejalan dengan pendapat Kristeva (Culler dalam Prodopo, 1995),
setiap teks adalah mosaik kutipan-kutipan dan merupakan penyerapan dan
transformasi teks-teks lain. Dengan kata lain, setiap teks dari suatu karya
sastra biasanya mengambil bentuk, intisari atau pokok-pokok yang baik dari teks
lain dengan berlandaskan persepsi yang diolah kembali oleh pengarangnya.
2.
Prinsip Pendekatan Intertekstual
Menganalisis karya sastra, kritikus secara aktif
memberi makna pada unsur-unsur dan keseluruhan karya sastra. Pemberian makna
ini berdasarkan sistem tanda dalam karya sastra. Preminger dkk (dalam Pradopo,
1995) secara khusus menyebutnya sebagai konvensi tambahan, di samping konvensi
bahasa yang menjadi mediumnya.
Untuk mendapatkan makna sepenuhnya yaitu dalam
menganalisis karya sastra tidak boleh dilepaskan dari konteks sejarah dan
konteks sosial budaya. Dalam hubungan pembicaraan intertektualitas ini
berkenaan dengan konteks sejarah sastranya. (Teeuw, 1980) mengungkapkan bahwa
sebuah karya sastra tidak lahir dalam situasi kosong kebudayaan, termasuk dalam
situasi sastranya. Dalam hal ini karya sastra diciptakan berdasarkan konvensi
sastra yang ada, disamping sifat hakiki sastra, yaitu sifat kreativitas. Karya
sastra yang timbul kemudian itu dicipta menyimpang dari ciri-ciri dan konsep
estetik sastra yang ada. Selalu ada ketegangan antara kovensi dengan
pembaharuan.
Sebuah karya sastra baik prosa maupun puisi,
mempunyai hubungan sejarah antara karya sezaman, yang mendahuluinya atau yang
kemudian. Hubungan sejarah ini baik yang persamaan atau pertentangan.
Dengan hal demikian, sebaiknya
membicarakan karya sastra itu dalam hubungannya dengan karya sezaman,
sebelumnya, atau sesudahnya.
Dalam hubungan sejarah antarteks, perlu diperhatikan
prinsip-prinsip intertekstualitas.
Menurut Riffaterre (dalam Pradopo, 1995) bahwa sajak baru bermakna penuh dalam
hubungannya dengan sajak lain. Hubungangan ini dapat berupa persamaan atau
pertentangan. Menurutnya, sajak (teks sastra) yang menjadi latar penciptaan
karya sastra sesudahnya itu disebut hipogram.
Artinya, tidak ada karya sastra yang lahir itu mencontoh atau meniru karya
sebelumnya yang diserap dan ditransformasikan dalam karya tersebut.
Adanya karya-karya yang
ditranformasikan dalam penulisan karya sesudahnya ini menjadi perhatian utama
kajian intertekstual, misalnya lewat pengontrasan antara sebuah karya dengan
karya-karya lain yang diduga menjadi hipogramnya. Adanya unsur hipogram dalam suatu karya, hal ini mungkin disadari atau
tidak disadari oleh pengarang. Kesadaran pengarang terhadap karya yang menjadi
hipogramnya mungkin berwujud dalam sikapnya yang meneruskan, atau sebaliknya,
menolak konvensi yang berlaku sebelumnya.
Prinsip intertektualitas yang
utama adalah prinsip memahami dan memberikan makna karya yang bersangkutan.
Karya itu diprediksikan sebagai reaksi, penyerapan, atau tranformasi dari
karya-karya yang lain. Masalah intertekstual lebih dari sekadar pengaruh,
ambilan atau jiplakan, melainkan bagaimana kita memperoleh makna sebuah karya
secara penuh dalam kontrasnya dengan karya yang lain yang menjadi hipogramnya,
baik berupa teks fiksi maupun puisi.
Adanya hubungan intertekstual
dapat dikaitkan dengan teori resepsi. Pada dasarnya pembacalah yang menentukan
ada atau tidaknya kaitan antara teks yang satu dengan teks yang lain.
Unsur-unsur hipogram itu berdasarkan persepsi, pemahaman, pengetahuan, dan
pengalamannya membaca teks-teks lain sebelumnya. Penunjukan terhadap unsur
hipogram pada suatu karya dari karya-karya lain, pada hakikatnya merupakan
penerimaan atau reaksi pembaca.
Prinsip intertekstualitas
merupakan salah satu sarana pemberian makna pada sebuah teks sastra (puisi). Hal ini mengingat bahwa sastrawan itu
selalu menanggapi teks-teks sebelumnya. Dalam menanggapi teks-teks itu penyair
mempunyai pikiran-pikiran, gagasan-gagasan, dan konsep estetik sendiri yang
ditentukan oleh horison harapannya, yaitu pikiran-pikiran, konsep estetik dan
pengetahuan sastra yang dimilikinya.
3.
Penerapan Pendekatan Intertekstual dalam Puisi
Hubungan intertekstualitas puisi “Doa” karya Sanusi Pane dengan puisi “Doa” karya
Amir Hamzah dapat dilihat sebagai berikut:
Doa
Karya Sanusi Pane
Karya Sanusi Pane
O, kekasihku, turunkan
cintamu memeluk daku
Sudah bertahun aku menanti, sudah bertahun aku mencari
O, kekasihku, turunkan rakhmat-Mu ke dalam taman hatiku
Bunga kupelihara dalam musim berganti, bunga kupelihara dengan berahi
O, kekasihku, buat jiwaku bersinar sinar!
O, keindahan, jiwaku rindu siang dan malam, hendak memandang cantik parasMu
Datanglah tuan dari belakang pegunungan dalam ribaan pagi tersenyum
O, beri daku tenaga, supaya aku bisa bersama Tuan melayang sebagai garuda menuju kebiruan langit nilakandi
Sudah bertahun aku menanti, sudah bertahun aku mencari
O, kekasihku, turunkan rakhmat-Mu ke dalam taman hatiku
Bunga kupelihara dalam musim berganti, bunga kupelihara dengan berahi
O, kekasihku, buat jiwaku bersinar sinar!
O, keindahan, jiwaku rindu siang dan malam, hendak memandang cantik parasMu
Datanglah tuan dari belakang pegunungan dalam ribaan pagi tersenyum
O, beri daku tenaga, supaya aku bisa bersama Tuan melayang sebagai garuda menuju kebiruan langit nilakandi
(Madah
kelana)
Doa
karya Amir
Hamzah
Dengan apakah
kubandingkan pertemuan kita, kekasihku?
Dengan senja samar sepoi, pada masa purnama meningkat naik, setelah menghalaukan panas payah terik.
Angin malam menghembus lemah, menyejuk badan, melambung rasa menayang pikir, membawa angan ke bawah kursi-Mu.
Dengan senja samar sepoi, pada masa purnama meningkat naik, setelah menghalaukan panas payah terik.
Angin malam menghembus lemah, menyejuk badan, melambung rasa menayang pikir, membawa angan ke bawah kursi-Mu.
Hatiku
terang menerima kata-Mu, bagai bintang memasang lilin-Nya.
Kalbuku terbuka menunggu kasih-Mu, bagai sedap malam menyirak kelopak.
Aduh, kekasihku, isi hatiku dengan kata-Mu, penuhi dadaku dengan cahayamu, biar bersinar mataku sendu, biar berbinar galakku rayu!
Kalbuku terbuka menunggu kasih-Mu, bagai sedap malam menyirak kelopak.
Aduh, kekasihku, isi hatiku dengan kata-Mu, penuhi dadaku dengan cahayamu, biar bersinar mataku sendu, biar berbinar galakku rayu!
(Nyanyi sunyi)
Berdasarkan
puisi tersebut ada hubungan interteks antara puisi “Doa” karya Sanusi Pane
dengan puisi “Doa” karya Amir Hamzah. Pada dasarnya yang menentukan ada
tidaknya hubungan interteks dalam sebuah karya sastra khususnya puisi adalah
pembaca itu sendiri. Selain itu intertekstual tidak hanya membicarakan adanya
hubungan pertentangan antar penyair tetapi juga persamaan atau kesejajaran
makna yang ada dalam teks. Hal ini sejalan dengan pendapat Teeuw (dalam Nurgiyantoro, 1995) bahwa intertekstual
yaitu membandingkan, mensejajarkan, dan mengontraskan sebuah teks transformasi
dengan hipogramnya.
Puisi
“Doa” karya Sanusi Pane memiliki hubungan persamaan dengan puisi “Doa” karya
Amir Hamzah. Persamaan tersebut dapat dilihat dari gaya penulisannya, judulnya,
maknanya, dan kedua penyair tersebut juga sama-sama menyebut Tuhan dengan
sebutan kekasih. Pada dasarnya Sanusi Pane merupakan penyair Angkatan Balai
Pustaka tetapi sering dikaitkan dengan Angkatan Pujangga Baru. Tetapi dalam hal
ini puisi “Doa” karya Sanusi Pane diklasifikasikan kedalam Angkatan Balai
Pustaka.
Puisi
“Doa” karya Sanusi Pane terdiri dari satu paragraf (delapan baris) sedangkan
diksi yang digunakan adalah diksi yang ringan, mudah, jelas,
dan familiar dalam kehidupan sehari-hari sehingga
mudah dipahami bagi pembaca. Dalam puisi tersebut Sanusi Pane selalu menyebut
Tuhan dengan sebutan kekasih. Hal ini nampak dalam sajak /O, kekasihku, turunkan cintamu memeluk daku//O, kekasihku, turunkan rakhmat-Mu ke dalam taman hatiku//O, kekasihku, buat jiwaku bersinar sinar!//.
Dari sajak tersebut terlihat bahwa si aku selalu menyebut nama kekasih, dan
kekasih di sini bukan sebagai kekasih hati atau teman hidup tetapi kekasih di
sini ditujukan untuk menyebut Tuhan. Itu artinya sajak tersebut
menggambarkan permohonan si aku kepada Tuhan bukan kepada kekasih.
menggambarkan permohonan si aku kepada Tuhan bukan kepada kekasih.
Begitu
juga dengan puisi “Doa” karya Amir Hamzah terdiri dari tiga bait yang menunjukkan kesejajaran
gagasan. Sesuai dengan zamannya, Amir Hamzah mempergunakan ekpresi romantik dengan cara metaforis-alegoris, yaitu
dengan menyebut Tuhan dengan sebutan kekasih. Hal ini karena penyair ingin
menunjukkan kemesraan hubungannya dengan Tuhan bagaikan kemesraannya dengan
sang kekasih. Hal ini dapat dilihat dalam sajak/dengan apakah kubandingkan pertemuan kita, kekasihku?//kalbuku terbuka menunggu kasih-Mu//aduh, kekasihku, isi hatiku dengan kata-Mu//.
Pada
puisi “Doa”
karya Amir Hamzah mengandung makna waktu pertemuan antara si aku dengan
kekasih (Tuhan). Artinya, si aku sebagai mahluk ciptaan-Nya dan Tuhan sebagai
pencipta-Nya atau pertemuan itu dilakukan waktu shalat. Sampai-sampai waktu ini
dianggap sangat berharga sehingga waktu tersebut tidak mau dilewatkan atau
diabaikan. Selanjutnya pertemuan itu dilaksanakan setelah shalat magrib
menjelang isya’. Hal ini terdapat dalam sajak/ Dengan apakah kubandingkan pertemuan kita,
kekasihku?//Dengan senja samar sepoi,
pada masa purnama meningkat naik, setelah menghalaukan panas payah terik/.
Selanjutnya dalam sajak/aduh, kekasihku,
isi hatiku dengan kata-Mu, penuhi dadaku dengan cahayamu, biar bersinar mataku
sendu, biar berbinar galakku rayu!/ mengandung makna permohonan si aku
kepada Tuhan agar diberikan petunjuk berdasarkan isi yang terkandung dalam
Al-Quran, supaya hati si aku merasa bahagia dan damai.
Sedangkan
dalam puisi “Doa” karya Sanusi Pane menggambarkan si aku yang selalu memohon
kepada Tuhan agar diberikan kedamaian, ketentraman dan ketenangan hati yang
sudah sekian lama dinanti. Permohonan itu selalu si aku lakukan siang dan malam
tanpa kenal lelah untuk selalu sujud dan taat hanya kepada-Mu. Hal ini terdapat
dalam sajak /O, kekasihku,
turunkan cintamu memeluk daku//sudah
bertahun aku menanti, sudah bertahun aku mencari//O, kekasihku, turunkan rakhmat-Mu ke dalam taman hatiku//O, keindahan, jiwaku rindu siang dan malam,
hendak memandang cantik paras-Mu/.
Kedalaman
rasa ketuhanan yang terdapat pada kedua puisi tersebut nampak dalam pemilihan
kata, ungkapan, lambang, dan kiasan-kiasan yang digunakan penyair. Unsur-unsur
tersebut menunjukkan betapa erat hubungan antara penyair dengan Tuhan. Puisi
tersebut juga menunjukkan keinginan penyair agar Tuhan mengisi seluruh
kalbunya. Kemudian tentang besarnya cinta, kerinduan, dan kepasrahan sang
penyair akan Tuhannya itu dapat kita rasakan secara nyata dalam puisi tersebut.
D.
Kesimpulan
Berdasarkan
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa intertekstual adalah membandingkan,
mensejajarkan, dan mengontraskan sebuah teks transformasi dengan hipogramnya. Tujuan kajian intertekstual itu sendiri
adalah untuk memberikan makna secara menyeluruh terhadap karya sastra. Kajian intertekstual berangkat dari asumsi bahwa kapan pun karya ditulis, ia
tidak mungkin lahir dari situasi kekosongan budaya. Unsur
budaya, termasuk semua konvensi dan tradisi di masyarakat, dalam wujudnya yang
khusus berupa teks-teks kesastraan yang ditulis sebelumnya.
Dari hasil analisis intertekstual Puisi
“Doa” karya Sanusi Pane memiliki hubungan persamaan dengan puisi “Doa” karya
Amir Hamzah. Persamaan tersebut dapat dilihat dari gaya penulisannya, judulnya,
maknanya, dan kedua penyair tersebut juga sama-sama menyebut Tuhan dengan
sebutan kekasih.
Daftar Pustaka
Nurgiyantoro,
Burhan. (1995). Teori pengkajian puisi.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Pradopo,
Rachmat Djoko. (1995). Beberapa teori
sastra, metode sastra, dan penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Teeuw,
A. (1980). Ilmu sastra umum dan ilmu
sastra malindo. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar