Kamis, 14 Juli 2016

inferioritas perempuan dalam perkawinan kajian kritik sastra feminis novel belenggu karya Armij Pane


BAB I
PENDAHULUAN


A.      Latar Belakang Masalah
Karya sastra adalah salah satu jenis hasil budidaya masyarakat yang dinyatakan dengan bahasa, baik lisan maupun tulis yang mengandung keindahan. Karya sastra diciptakan pengarang untuk dinikmati, dipahami, dihayati, dan dimanfaatkan oleh masyarakat pembacanya. Karya sastra seperti diakui banyak orang merupakan suatu bentuk komunikasi yang disampaikan dengan cara yang khas dan menolak segala sesuatu yang serba rutinitas dengan memberikan kebebasan kepada pengarang untuk menuangkan kreativitas imajinasinya. Hal ini menyebabkan karya sastra menjadi lain, tidak lazim, namun juga kompleks sehingga memiliki berbagai kemungkinan penafsiran dan sekaligus menyebabkan pembaca menjadi terbata-bata berkomunikasi dengannya. Berawal dari inilah kemudian muncul berbagai teori untuk mengkaji karya sastra termasuk karya sastra novel.
Novel merupakan salah satu jenis karya sastra prosa yang mengungkapkan sesuatu secara luas. Berbagai kejadian di dalam kehidupan yang dialami oleh tokoh cerita merupakan gejala kejiwaan. Novel merupakan sebuah struktur organisme yang kompleks, unik, dan mengungkapkan sesuatu secara tidak langsung. Hal inilah yang menyebabkan sulitnya pembaca menafsirkan sebuah novel, dan untuk keperluan tersebut dibutuhkan suatu upaya untuk menjelaskannya disertai bukti-bukti hasil kerja kajian yang dihasilkan.
Manfaat yang akan terasa dari hasil kajian tersebut apabila pembaca membaca ulang karya sastra yang dikajinya, pembaca akan merasakan adanya sesuatu yang baru yang terdapat dalam karya sastra. Pembaruan tersebut sebagai akibat kekompleksitasan karya yang bersangkutan sehingga sesuatu yang dihadapi dapat ditentukan. Dengan demikian, pembaca akan lebih menikmati dan memahami cerita, tema, pesan-pesan, tokoh, gaya bahasa, dan hal-hal lain yang diungkapkan dalam karya sastra (Nurgiyantoro, 1995:32).
Karya sastra yang dijadikan objek penelitian ini adalah novel Belenggu karya Amijn Pane. Dengan alasan bahwa novel tersebut penggambaran tokoh-tokoh wanita hampir sama dengan tokoh dalam kehidupan nyata. Tokoh wanita dalam novel ini digambarkan sebagai wanita yang ingin menjadi dirinya sendiri dan ingin menentukan masa depannya sendiri. Dua tokoh utama wanita dalam novel Belenggu mempunyai beberapa kesamaan sifat dan perilaku dengan sifat dan perilaku wanita dalam kehidupan nyata. Satu menginginkan hidup bebas tanpa ada kekangan dan yang satu menginginkan hidup lebih baik dengan orang yang dicintai, serta kedua tokoh tersebut berkeinginan untuk menentukan hidup mereka sendiri.
Novel Belenggu mempunyai daya tarik tersendiri karena menampilkan permasalahan perempuan yang berkaitan dengan pandangan masyarakat pada tahun 1940-an yang secara tidak langsung merugikan kaum perempuan. Padangan tersebut berasal dari paham masyarakat yang menganggap kekuasaan sepenuhnya berada di tangan laki-laki. Topik mengenai perempuan, terutama yang membahas masalah gender beserta bias-biasnya adalah hal yang tetap menarik untuk dibicarakan sampai saat ini. Kalangan perempuan yang telah mengenyam pendidikan modern merasa perlu dan berhak untuk menyuarakan ketidakadilan yang dialaminya. Sedangkan adat dan tradisi yang telah mengakar menganggap pemikiran ini bisa menghancurkan tatanan yang selama ini telah dinilai berjalan baik. Novel Belenggu ditulis di era 1940-an ketika arus pemikiran tidak progresif seperti masa kini, mampu mengungkap tema tersebut hingga menjadi sebuah pendekatan di antara kalangan sastrawan sendiri.
Secara feminisme, baik sebagai ide maupun aksi politik akan memiliki pengaruh kepada dua jenis kelamin (gender) yang ada, yakni di satu sisi akan memberikan banyak keuntungan kepada perempuan dan di sisi yang lain, akan mensyaratkan laki-laki untuk menyerahkan berbagai hak-hak istimewa yang mereka miliki selama ini. Dengan demikian, laki-laki yang menyatakan dirinya sebagai feminis akan menimbulkan kecurigaan dari laki-laki dan perempuan pada umumnya. Ada kata lain yang digunakan yakni meninis (meninist) atau yang kelihatannya lebih moderat adalah laki-laki profeminis.
Dalam perkembangannya wanita tidak lagi dihadirkan sebagai korban kekuasaan kaum patriarkhi, tetapi dihadirkan sebagai wanita yang berhak dan bebas menentukan nasib atau masa depannya (seperti dalam Belenggu). Tini yang diharapkan Tono hadir sebagai ibu rumah tangga, ternyata gagal karena lebih memilih sebagai wanita karir, tidak mau dikalahkan kaum pria, dan tidak mau tergantung pada pria. Pada novel tersebut, gambaran wanita tidak lagi pesimis melainkan wanita aktif, dinamis, optimis, sadar akan kondisi sosialnya, serta berani berjuang mendapat persamaan hak dengan kaum pria.
Permasalahan yang dihadapi oleh wanita terutama yang menyangkut emansipasi wanita ini merupakan kenyataan sosial yang dihadapi oleh wanita tidak hanya di Indonesia tapi juga di seluruh dunia. Dari kenyataan sosial yang dihadapi manusia khususnya wanita memberikan ilham kepada sastrawan untuk menuangkannya ke dalam karya sastra yang akan dibuatnya. Karya sastra ini merupakan buah pikiran seorang pengarang yang bersumber dari pengalaman hidupnya sendiri maupun orang lain. 
Berbicara tentang wanita, dalam sebuah karya sastra wanita sudah sejak lama menjadi pusat perhatian para pujangga. Bahkan, tradisi penulisan novel di dalam dunia sastra Indonesia diawali dengan tokoh utama wanita melalui novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar. Novel tersebut kemudian disusul oleh sebuah novel yang judulnya berupa nama wanita yaitu Siti Nurbaya oleh Marah Rusli. Novel ini dalam perkembangan selanjutnya seolah-olah menjadi mitos perjuangan wanita Indonesia. Demikian juga novel Salah Asuhan, Salah Pilih, Layar Terkembang, dan Belenggu.
Dari beberapa fiksi yang memuat masalah emansipasi, Belenggu merupakan salah satu novel yang cukup menarik untuk diteliti. Hal ini dikarenakan novel ini merupakan novel yang pernah ditolak oleh Balai Pustaka. Kemudian adanya asumsi dalam masyarakat pada masa itu bahwa seseorang yang berpendidikan tinggi tidak akan mengalami kegagalan dalam membina rumah tangga. Akan tetapi, Armijn membalikkan asumsi tersebut dengan menceritakan apa yang terjadi pada pasangan dokter Sukartono dan Sumartini, yang keharmonisan rumah tangga mereka akhirnya kandas. Pandangan Armijn yang meletakkan perempuan mampu tampil di sektor publik dan tidak hanya bekerja di lingkungan rumah tangga saja. Pandangan tersebut sangat bertentangan dengan konvensi masyarakat yang menempatkan posisi perempuan sebagai orang yang lemah dan tidak pantas menempati posisi sosial di atas laki-laki.
Berdasarkan hal di atas, dalam penelitian ini penulis tertarik untuk meneliti sifat dan perilaku tokoh-tokoh utama wanita dari perspektif feminisme kemudian dihubungkan dengan realita kehidupan di alam nyata melalui pendekatan mimetik yang sebelumnya dianalisis dengan pendekatan objektif.

B.       Rumusan Masalah
1.        Bagaimanakah struktur novel belenggu karya Armij Pane?
2.        Unsur-unsur apa sajakah yang digunakan untuk menonjolkan ide emansipasi perempuan dan feminisme?
3.        Masalah apa sajakah yang disoroti oleh tokoh belenggu, sehubungan dengan adanya prasangka gender yang hidup dalam masyarakatnya?
4.        Bagaimanakah pandangan pengarang dalam cerita novel Belenggu?

C.      Tujuan Penelitian
Dalam penelitian ini memiliki dua tujuan yaitu tujuan secara teoristis dan praktis. Tujuan secara teoritis ialah untuk mengetahui nilai-nilai estetik unsur-unsur novel terutama masalah tema, alur, latar, tokoh dan penokohan, pusat pengisahan dan gaya bahasa. Diketahaui bahwa antara unsur yang satu dengan unsur yang lain memiliki hubungan yang saling mendukung seperti organ tubuh yang saling mendukung dan saling melengkapi serta tidak dapat dihilangkan salah satunya. Analisis novel diharapkan dapat menilai bobot estetik dan kekompakan hubungan unsur-unsur tersebut dengan  masalah prasangka gender dan emansipasi perempuan. Masalah dalam novel tidak berdiri sendiri, tetapi terintegrasi dengan unsr-unsur yang lain.
Adapun tujuan praktis dalam penelitian ini adalah menerangkan kepada masyarakat luas bahwa novel belenggu mengemukakan masalah prasangka gender dan emansipasi perempuan yang diwujudkan dengan keinginan untuk menyejajarkan kedudukan laki-laki dan perempuan, keinginan untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dalam keluarga dan masyarakat, dan pemberontakan terhadap adat yang mengokohkan subordinasi perempuan. Masyarakat peminat sastra diharapkan mengetahui bahwa tuntutan persamaan hak dan kewajiban antara perempuan dan laki-laki yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh novel belenggu serupa dengan gerakan feminisme.   

D.           Kegunaan Penelitian
Penelitian yang dilakukan dengan pendekatan persepektif kritik feminis memiliki kegunaan sebagai berikut:
1.      Menggali, mengembangkan,  melestarikan, serta memperkaya pengetahuan sastra khususnya novel.
2.      Memberikan masukan tentang teori dan penerapan kajian kritik sastra feminis kepada pencinta sastra sehingga dapat menganalisis novel secara lebih objektif dan sistematis.
3.      Menjembatani penelitian lain tentang kajian kritik sastra feminis bagi mahasiswa program studi pendidikan bahasa Indonesia dan menjadi sarana untuk berlatih, belajar, dan menambah wawasan ilmu pengetahuan khsususnya pada bidang ilmu sastra.
4.      Secara teoritis penelitian ini dapat memperkaya teori-teori tentang kajian kritik sastra feminis yang hingga saat ini jarang diminati oleh peneliti-peneliti lain.
















BAB II
KAJIAN TEORI

A.      Kritik Sastra Feminis
Secara etimologis feminis berasal dari kata femme (woman), berarti perempuan yang bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan (jamak), sebagai kelas sosial. Tujuan feminis adalah keseimbangan, interelasi gender. Dalam pengertian yang lebih luas, feminis adalah gerakan kaum wanita untuk menolak segala sesuatu yang dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan dominan, baik dalam bidang politik dan ekonomi maupun kehidupan sosial pada umumnya.
Arti sederhana kajian sastra feminis adalah pengkaji memandang sastra dengan kesadaran khusus, kesadaran bahwa ada jenis kelamin yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra, dan kehidupan kita. Jenis kelamin inilah yang membuat perbedaan di antara semuanya yang juga membuat perbedaan pada diri pengarang, pembaca, perwatakan, dan pada faktor luar yang mempengaruhi situasi karang-mengarang (Sugihastuti, 2005: 5).
Pada hakikatnya kritik sastra feminisme merupakan salah satu disiplin ilmu kritik sastra yang lahir sebagai respon atas berkembang luasnya feminisme di berbagai penjuru di dunia. Feminis merupakan gerakan kaum perempuan yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum perempua dan laki-laki. Persamaan hak tersebut meliputi semua aspek kehidupan, baik dalam bidang politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Dengan kata lain, feminisme merupakan gerakan kaum perempuan untuk memperoleh otonomi atau kebebasan menentukan dirinya sendiri.
Kemunculan feminisme diawali dengan gerakan emansipasi perempuan yaitu proses pelepasan diri kaum perempuan dari kedudukan sosial ekonomi yang rendah serta pengekangan hukum yang membatasi kemungkinan-kemungkanan untuk berkembang dan maju. Fakih (dikutip Sugihastuti, 2002:62) mengatakan bahwa feminisme bukanlah sebagai upaya pemberontakan terhadap laki-laki, serta upaya melawan pranata sosial seperti institusi rumah tangga dan perkawinan dan untuk mengingkari kodratnya, melainkan sebagai upaya untuk mengakhiri penindasan dan eksploitasi perempuan.
Pada hakikatnya sasaran feminisme bukan hanya sekedar masalah gender, melainkan masalah “kemanusiaan” atau memperjuangkan hak-hak kemanusiaan. Gerakan feminisme merupakan gerakan perjuangan dalam rangka mentransformasi sistem dan struktur sosial yang tidak adil menuju keadilan bagi kaum laki-laki dan perempuan.
Kritik sastra feminis diharapkan mampu membuka pandangan-pandangan baru terutama berkaitan dengan bagaimana karakter-karakter perempuan diwakili dalam sastra. Selain itu, bagaimana perempuan digambarkan dan bagaimana potensi yang dimiliki perempuan di tengah kekuasaan patriarkhi dalam karya sastra. Kritik sastra feminis memiliki tujuan politik yang terang-terangan dan tidak hanya merupakan tindakan yang melawan proses dekonstruksi. Meskipun secara umum, agenda feminisme adalah menciptakan dunia yang adil menganalisis mengapa dan bagaimana kaum perempuan tertindas. Apa yang disebut dengan feminisme gelombang kedua tidak merupakan suatu gerakan yang homogen, tetapi terbagi dalam tiga golongan besar, yakni feminisme radikal, liberal, dan sosialis.
Kelompok feminisme radikal berpandangan bahwa penindasan perempuan berasal dari penempatan terhadap perempuan ke dalam kelas inferior dibandingkan dengan kelas laki-laki sebagai superior. Feminisme radikal bertujuan menghancurkan system kelas jenis kelamin. Ia memfokuskan pada akar dominasi laki-laki dan klaim bahwa semua bentuk penindasan adalah perpanjangan dari supremasi (keunggulan) pada laki-laki. Patriarkhi adalah karakteristik yang ada dalam masyarakat. Ia berkeyakinan bahwa persoalan politik dan keterpusatan pada perempuan bias menjadi basis masyarakat di masa depan.
Sistem peran laki-laki dan perempuan yang secara politik menindas merupakan model asli dari semua penindasan. Masalah-masalah tertentu menempatkan feminisme radikal berbeda dengan perspektif feminis lainnya, terutama pandangan sosialis, yang akan sentralitas kelas dan pandangan perempuan kulit hitam akan sentralitas ras.
 Berbeda dengan pendapat Mitchell (Sugihastuti, 2003:43), mengkritik Firestone secara khusus dari feminisme radikal pada umumnya tidak berbicara mengenai penindasan perempuan dalam cara tertentu secara historis. Hal ini dikarenakan feminis radikal berkaitan dengan seksualitas dan sosialisasi pekerja. Dengan memfokuskan pada kesadaran dan budaya di satu sisi dan ketidaksadaran di sisi lain, feminis radikal menganalis struktur psikis, seksual, dan ideologis yang membedakan kedua jenis kelamin dalam kaitannya dengan ketidaksetaraan jender.
   Kaum feminis radikal beranggapan bahwa struktur masyarakat berlandaskan  pada relasi hirarkis  berdasarkan jenis kelamin. Laki-laki sebagai suatu kategori social mendominasi kaum perempuan sebagai kategori social yang lain, karena kaum laki-laki diuntungkan dengan adanya subordinasi perempuan. Menurut aliran feminis radikal, dominasi laki-laki itu merupakan model konseptual yang biasa menjelaskan berbagai bentuk penindasan yang lain.
   Kaum feminisme radikal terutama menyoroti dua konsep utama, yaitu patriarkhi dan seksualitas. Bagi kaum radikal, ideology patriarkhi mendefinisikan perempuan sebagai kategori social yang fungsi khususnya untuk memuaskan dorongan seksual kaum laki-laki, untuk melahirkan, dan mengasuh anak. Patriarkhi tidak hanya memaksa kaum perempuan menjadi ibu mereka (anak-anak). Beberapa feminis radikal memuja atribut biologis perempuan sumber keunggulan daripada inferioritas (kerendahan). Setiap alasan yang ekstrem (perbedaan yang besar) bagi kodrat khusus perempuan menimbulkan resiko sampai dengan jalan yang berbeda dalam kedudukan yang sama dikuasai oleh sifat patriotik yang berlebihan  bagi laki-laki.
   Berdasarkan pemikiran itulah, Ramazanoglu (Junus, 2001:67), mengupayakan pembenaran rasional gerakannya dengan mengungkapkan fakta bahwa laki-laki merupakan masalah bagi perempuan. Laki-laki selalu mengeksploitasi fungsi reproduksi perempuan dengan berbagai dalih argument. Ketertindasan perempuan berlangsung cukup lama dan dinilai sebagai bentuk penindasan yang  sangat panjang di belahan dunia. Penindasan ras, perbudakan, dan warna kulit dapat segera dihentikan dengan resolusi (peraturan), tetapi pemerasan secara seksual sangat susah dihentikan, dan diperlukan gerakan yang lebih mendasar.
 Sementara itu, dipertegas oleh Jaggar (Fakih, 2001:85) para penganut feminisme radikal tidak melihat adanya perbedaan antara tujuan individu dan politik, unsure-unsur seksual (biologis). Dalam melakukan analisis tentang penyebab  penindasan terhadap perempuan, mereka menganggapnya akar dari jenis kelamin laki-laki beserta ideology patriarkhinya. Dengan demikian, kaum laki-laki secara biologis maupun politis adalah bagian dari permasalahan. Selanjutnya, menurut Eisenstein (Fakih, 2001:85), bagi mereka patriarkhi merupakan dasar dari ideology penindasan yang merupakan system hierarki seksual di mana laki-laki memiliki kekuatan superior dan hak istimewa ekonomi.
Adapun feminisme liberal merupakan salah satu arus utama teori social dan politik feminis yang mempunyai sejarah jangka waktu paling lama. Feminisme liberal kontemporer menyepakati optimismenya bahwa akar dari penindasan perempuan terletak pada ada-tidaknya hak sipil dan peluang pendidikan yang sama. Inti dari keyakinan feminis liberal mengenal seksualitas, yang merupakan pandangan bahwa kehidupan pribadi seseorang tidak harus menjadi obyek peraturan masyarakat.
 Dasar pemikiran kelompok feminisme liberal adalah semua manusia, laki-laki dan perempuan diciptakan seimbang dan serasi yang seharusnya tidak terjadi penindasan antara satu dengan lainnya. Kelompok ini diinspirasi oleh prinsip-prinsip pencerahan bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama mempunyai kekhususan tersendiri. Kedua-keduanya sama, hak-hak laki-laki dengan sendirinya juga menjadi hak perempuan. Kelompok ini tetap menolak persamaan secara menyeluruh antara laki-laki dan perempuan. Dalam beberapa hal, terutama yang berhubungan dengan fungsi reproduksi, aliran ini masih tetap memandang perlu adanya pembebasan antara laki-laki dan perempuan.
   Kelompok feminisme liberal termasuk kelompok paling moderat yang membenarkan perempuan bekerja bersama laki-laki, yang menghendaki agar perempuan diintegrasikan secara total di dalam semua peran, termasuk bekerja di rumah-rumah. Dengan demikian, tidak ada lagi suatu kelompok jenis kelamin yang lebih dominan. Kelompok ini beranggapan tidak harus dilakukan perubahan struktur secara totalitas, tetapi hanya melibatkan pserempuan di dalam berbagai peran, seperti: sosial, ekonomi, dan politik. Berhubungan dengan peran perempuan mengenai organ reproduksi bukan merupakan penghalang terhadap peran-peran tersebut.
Pemikiran feminisme liberal muncul sebagai kritik terhadap teori politik liberal, yang umumnya menjunjung tinggi nilai otonomi, persamaan, nilai moral, dan kebebasan individu. Namun, pada saat yang sama dianggap mendeskriminasikan kaum perempuan. Masalah perempuan tidak dilihat struktur dan system sebagai pokok persoalan. Asumsi feminis liberal berakar pada pandangan  bahwa kebebasan (freedom) dan kesamaan (equality) berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat (individu) dan publik (umum). Kerangka kerja feminis liberal dalam memperjuangkan persoalan masyarakat tertuju pada hak mendapatkan kesempatan, hak yang sama bagi setiap individu, termasuk hukum bagi perempuan (Junus, 2001:81).
Sejak awal, persoalan perempuan dianggap sebagai masalah bagi perekonomian modern atau partisipasi politik dan pembangunan. Keterbelakangan kaum perempuan, selain akibat dari sikap irasional yang bersumber pada nilai-nilai tradisional kaum perempuan tidak berpartisipasi dalam pembangunan. Oleh karena itu, keterlibatan kaum perempuan dalam industrialisasi dan program pembanguan dianggap sebagai jalan untuk meningkatkan status perempuan.
Berkaitan dengan pandangan kaum feminis sosial, mereka percaya bahwa perempuan adalah penduduk kelas dua masyarakat kapitalis patriarkhi, yang menggantungkan keberlangsungan hidupnya kepada eksploitasi orang-orang dari perempuan pekerja. Aliran feminis mengajak untuk mentransformasikan bukan hanya kepemilikan alat-alat produksi. Namun, pengalaman social merupakan akar dari penindasan perempuan, yang terletak pada system ekonomi kapitalisme secara total.
   Kaum feminis sosial (marxis) berupaya menghilangkan struktur kelas dalam masyarakat berdasarkan jenis kelamin dengan melontarkan isu bahwa ketimpangan peran antara kedua jenis kelamin itu, sesungguhnya lebih disebabkan oleh faktor budaya alam. Aliran kritik feminis di dalamnya para teolog menolak anggapan tradisional bahwa status perempuan lebih rendah daripada laki-laki, karena faktor biologis dan latar belakang sejarah (Junus, 2001:65).
   Kelompok ini menganggap posisi inferior perempuan berkaitan dengan struktur kelas dan keluarga dalam masyarakat kapitalis. Feminis social berpendapat bahwa ketimpangan jender di dalam masyarakat adalah akibat penerapan sistem kapitalis yang mendukung terjadinya tenaga kerja tanpa upah bagi perempuan di dalam lingkungan rumah tangga. Istri mempunyai ketergantungan lebih tinggi daripada suami, begitu juga sebaliknya. Senantiasa, perempuan mencemaskan keamanan ekonominya, karena mereka menggantungkan diri pada kekuasaan suami. 
Struktur ekonomi atau kelas di dalam masyarakat memberikan pengaruh efektif terhadap status perempuan, karena untuk mengangkat harkat dan martabat perempuan supaya seimbang dengan laki-laki, diperlukan peninjauan kembali structural secara mendasar, terutama dengan menghapus pengkotak-kotakan (dikotomi) pekerjaan sektor domestik (biasanya untuk perempuan) dan sektor publik (biasanya untuk laki-laki). Dengan demikian, feminis liberal menentang pandangan biologis. Kunci penghapusan deskriminasi dan ketimpangan social atas dasar perbedaan terutama terletak pada pendidikan (formal dan nonformal) dan pembukaan kesempatan kerja.

B.       Tokoh-Tokoh Feminisme
Saraswati (2003:158) mengatakan bahwa terdapat tokoh-tokoh feminisme yang berpengaruh dalam wacana feminisme di antaranya Simone de Beauvoir, Betty Friedan, Germaine Greer, dan Kate Millet.
1.        Simone de Beauvoir
Simone de Beauvoir dalam The Second Sex, menetapkan dengan sangat jelas masalah dasar feminisme modern. Bila seorang wanita mencoba membatasi dirinya sendiri, ia mulai dengan berkata “saya seorang perempuan”. Kenyataan ini mengungkapkan ketaksimetrisan dasar antara istilah “maskulin” dan “feminim”. Orang laki-laki membatasi manusia bukan perempuan. Wanita terikat dalam suatu hubungan berat sebelah dengan lak-laki. Laki- laki adalah yang satu, sementara perempuan adalah yang lain. Kekuasaan laki-laki telah menyelamatkan suatu iklim pemenuhan idiologis “Para wakil rakyat, pendeta, ahli filsafat, penulis dan ahli ilmu pengetahuan telah berusaha menunjukan bahwa kedudukan rendah diinginkan di surga dan bermanfaat di bumi”. Menurut De Beauvoir wanita telah dibuat lebih rendah menurut kodratnya. Gagasan abstrak tentang persamaan hanya permainan bibir, tetapi desakan untuk persamaan yang nyata biasanya akan ditentang. Para wanita sendiri bukan para laki-laki yang simpatik, dalam posisi terbaik untuk menilai kemungkinan-kemungkinan eksistensial kewanitaan.      

2.        Betty Friedan
Dalam bukunya The Feminisme Mytique, Betty Fredan mengatakan bahwa perempuan adalah kaum yang pasif atas bentuk kebudayaan yang tetap sebagaimana anggapan feminisme oleh kaum patriakat. Kekuatan-kekuatan yang mendeskripsikan perempuan, antara lain pada lapangan pendidikan, ketenagakerjaan, agama, perempuan miskin dan malang, gambaran perempuan dalam media massa, hak-hak politik perempuan dan keluarga.

3.        Germaine Greer
Gagasan Germaine Greer ada kesamaan dengan gagasan Freidan. Keduanya menolak untuk membedakan gambaran, tetapi menyatukannya dalam pendekatan yang tidak berkelas. Greer memperkirakan ada bentrokan dalam paham feminis, ramalan emansipasi wanita akan selalu menjadi teoritis, mudah dibaca dan pragmatis. 

4.        Kate Millet dan Michele Barret’ Feminis Politis
Suatu tingkatan penting dalam feminisme modern dicapai oleh  Kate Millet dalam bukunya Sexusal Politics (1970). Ia mempergunakan istilah “patriakhi” untuk menguraikan sebab penindasan wanita. Patriakhi meletakan perempuan di bawah laki-laki atau memperlakukan perempuan sebagai laki-laki yang inferior. Kekuatan digunakan secara langsung atau tidak langsung dalam kehidupan sipil dan rumah tangga untuk membatasi wanita. Meskipun ada kemajuan demokrasi, menurutnya wanita masih terus dikuasai.

C.      Jenis-jenis Kritik Sastra Feminis
Berikut merupakan jenis-jenis kritik sastra feminis yang  berkembang di masyarakat.
1.         Kritik idiologis
Kritik sastra feminis idiologis melibatkan wanita, khususnya kaum feminis sebagai pembaca. Sementara yang menjadi pusat perhatian pembaca adalah citra serta stereotipe seorang wanita dalam karya sastra. Kritik ini juga meniliti kesalahpahaman dan sebab-sebab mengapa wanita sering tidak diperhitungkan bahkan nyaris diabaikan.


2.         Kritik yang mengkaji penulis-penulis wanita
Dalam ragam ini termasuk penelitian tentang sejarah karya sastra wanita, gaya penulisan, tema, genre, dan struktur penulis wanita. Di samping itu dikaji pula kreativitas penulis wanita, profesi penulis wanita sebagai perkumpulan, serta perkembangan dan peraturan tradisi penulis wanita.

3.         Kritik sastra feminis sosialis
Kritik ini meneliti tokoh-tokoh wanita dari sudut pandang sosialis, yaitu kelas-kelas masyarakat. Pengkritik feminis mencoba mengungkapkan bahwa kaum wanita merupakan kelas masyarakat yang tertindas.

4.         Kritik sastra feminis psikoanalistik
Kritik ini dipusatkan pada tulisan-tulisan wanita, karena feminis percaya bahwa pembaca wanita biasanya mengidentifikasikan dirinya dengan atau menempatkan dirinya pada si tokoh wanita, sedang tokoh wanita tersebut pada umumnya merupakan cermin penciptanya. 

5.         Kritik feminis lesbian
Jenis kritik ini hanya meneliti penulis dan tokoh wanita saja. Ragam kritik ini sangat terbatas karena beberapa faktor: kaum feminis kurang menyukai kelompok wanita homoseksual, kurangnya jurnal-jurnal wanita yang menulis lesbianisme, kaum lesbian sendiri belum mencapai kesepakatan tentang definisi lesbianisme, kaum lesbian banyak menggunakan bahasa terselubung. Pada intinya tujuan kritik sastra feminis lesbian adalah pertama-tama mengembangkan suatu definisi yang cermat tentang lesbian. Kemudian pengkritik sastra lesbian akan menentukan apakah definisi ini dapat diterapkan pada diri penulis atau pada teks sastra.

6.         Kritik feminis ras atau ethik
Kritik ini berusaha mendapatkan pengakuan bagi penulis etnik dan karyanya, baik dalam kajian wanita maupun dalam kajian sastra tradisional dan sastra feminis. Kritik ini beranjak dari diskriminasi ras yang dialami kaum wanita yang berkulit selain putih di Amerika.

D.      Perkawinan dalam Perspektif Feminis
Dalam pandangan feminis, perkawinan selalu berbeda jika dilihat dari sudut pandang laki-laki dan perempuan. Dua jenis kelamin tersebut saling membutuhkan, tetapi kebutuhan mereka tidak pernah membawa kondisi timbal balik antara keduanya. Perempuan tidak pernah menciptakan kasta dengan membuat pertukaran dan kontrak dengan kasta laki-laki yang mendasarkan diri pada kesetaraan. Secara sosial laki-laki adalah mahluk independen dan individu yang komplet. Laki-laki selalu dianggap sebagai “manusia super” yang eksistensinya yang kadang-kadang ditunjukan dengan kekuasaan. Sebaliknya, sebagai mahluk dengan stigma lemah perempuan menyatu dalam keluarga yang didominasi oleh para ayah dan saudara laki-laki, dan dalam perkawinan perempuan selalu menjadi pihak yang diberikan oleh beberapa laki-laki kepada laki-laki lain.
Perkawinan merupakan satu-satunya sarana untuk mendapatkan dukungan dan pembuktian diri terhadap eksistensinya. Menurut De Beauvoir perempuan harus memberikan keturunan dalam masyarakat dan perempuan juga harus memenuhi kebutuhan seks laki-laki (suami) sekaligus mengurusi segala kebutuhan suaminya. Oleh masyarakat, kewajiban-kewajiban ini diserahkan kepada perempuan dan dihargai sebagai pelayan khusus yang diberikan kepada pasangannya. Sebagai ganti mereka harus memberi nafkah atau kepuasan dalam perkawinan.
 Oleh karena itu poligami masih kurang lebih selalu menjadi hal yang ditoleransi. Seorang laki-laki dianggap wajar “tidur” dengan pembantu, gundik, istri muda atau pelacur sepanjang ia tetap menghargai hak-hak tertentu yang dimiliki istri sahnya. Dengan demikian, dalam waktu bersamaan perkawinan bisa membawa keuntungan dan kerugian bagi kedua belah pihak. Bagi perempuan perkawinan satu-satunya syarat untuk mengintegrasikan diri kedalam komunitasnya dalam masyarakat. Sebaliknya bagi laki-laki kawin berarti mengambil istri, memiliki istri. Mereka memandang perkawinan sebagai konfirmasi eksistensi diri. Oleh karena itu, gagasan kepemilikian suami atas istri telah memberikan kekuasaan kepada suami untuk mendapatkan segala bentuk pengabdian, kebaktian, dan pelayan dari istri.         

E.       Penerapan Kritik Sastra feminis
Dasar pemikiran dalam penelitian sastra berperspektif feminis adalah upaya pemahaman kedudukan dan peran perempuan seperti tercermin dalam karya sastra. Pertama, kedudukan dan peran para tokoh perempuan dalam karya sastra menunjukan masih didominasi oleh laki-laki. Dengan demikian, upaya pemahaman merupakan keharusan untuk mengetahui ketimpangan gender dalam karya sastra seperti terlihat ketimpangan realitas sehari-hari masyarakat.
Kedua, dari resepsi pembaca karya sastra tokoh perempuan banyak tertinggal dari kaum laki-laki. Ketiga, masih adanya resepsi pembaca yang menunjukan bahwa hubungan antara laki-laki dan perempuan hanyalah merupakan hubungan yang didasarkan pada pertimbangan biologis dan sosial ekonomis. Pada pandangan ini tidak sejalan dengan pandangan sastra berperspektif feminis bahwa perempuan mempunyai hak, kewajiban, dan kesempatan yang sama dengan laki-laki. Perempuan dapat ikut serta dalam segala aktivitas kehidupan bermasyarakat bersama laki-laki.
Peran dan kedudukan perempuan tersebut akan menjadi sentral dalam pembahasan sastra. Menurut Endraswara (2003:146) melalui studi dominasi tersebut, peneliti dapat memfokuskan kajian pada (1) kedudukan dan peran tokoh perempuan dalam sastra, (2) memperhatikan ketertinggalan kaum perempuan dalam segala aspek kehidupan, termasuk pendidikan, dan aktivitas kemasyarakatan, (3) memperhatikan faktor pembaca sastra, khusus bagaimana tanggapan pembaca terhadap emansipasi wanita  dalam sastra.
Wiyatmi (2012:46) mengatakan bahwa ada tiga tahapan yang harus dilakukan dalam mengkritik sebuah karya sastra, yaitu:
1.        Interpretasi
Interpretasi adalah upaya memahami karya sastra dengan memberikan tafsiran berdasarkan sifat-sifat karya sastra itu. Dalam artinya yang sempit, interpretasi adalah usaha untuk memperjelas arti bahasa dengan sarana analisis, parafrasa, dan komentar. Interpretasi dipusatkan terutama pada kegelapan, ambiguitas, dan kiasan-kiasan. Dalam arti luas interpretasi adalah menafsirkan makna karya sastra berdasarkan unsur-unsurnya beserta aspek-aspeknya yang lain, seperti jenis sastranya, aliran sastranya, efek-efeknya, serta latar belakang sosial historis yang mendasari kelahirannya.

2.        Analisis
Analisis adalah penguraian karya sastra atas bagian-bagian atau norma-normanya (Pradopo dalam Wiyatmi, 2012:48). Penguraian bagian atau norma karya sastra dilakukan dengan menganalisis unsur-unsur yang membangun karya sastra tersebut, yaitu unsur intrinsiknya. Unsur-unsur intrinsik tersebut adalah tema, alur, tokoh, penokohan, latar, judul, sudut pandang dan bahasa.

3.        Evaluasi
Penilaian adalah usaha menentukan kadar keindahan (keberhasilan) karya sastra yang dikritik. Penentuan nilai suatu karya sastra tidak dapat dilakukan secara semena-mena, tetapi harus berdasarkan pada fenomena yang ada dalam karya yang akan dinilai, kriteria dan standar penilaian, serta pendekatan yang digunakan. Adapun kriteria yang dapat digunakan untuk membuat penilaian terhadap keberhasilan atau kegagalan sebuah karya sastra, dapat dilakukan dengan mencermati sedikitnya enam kriteria yaitu kriteria kebaruan (inovasi), kepaduan (koherensi), kompleksitas (kerumitan), orisinalitas (keaslian), kematangan (berwawasan atau intelektualitas), dan kedalaman (eksploratif).
Selanjutnya Saraswati (2003:160) mengatakan bahwa penerapan teori feminis dalam karya sastra ditemukan pada tokoh cerita yang berjenis kelamin perempuan. Pertama-tama yang harus menentukan tokoh cerita perempuan. Kemudian mengidentifikasi beberapa tokoh di dalam sebuah karya sastra yang akan dianalisis dengan mencari (1) kedudukan tokoh di dalam masyarakat, (2) tujuan hidupnya, (3) perilaku serta watak tokoh perempuan dari gambaran yang langsung diberikan oleh penulis, (4) pendirian serta ucapan tokoh yang bersangkutan.
Demikian juga Sugihastuti (2002:43) bahwa analisis strukturalisme merupakan prioritas utama sebelum diterapkannya analisis yang lain. Tanpa analisis struktural, kebulatan makna intrinsik yang hanya dapat digali dari dalam karya sastra tersebut tidak dapat dipahami secara utuh. Makna unsur-unsur karya sastra hanya dapat dipahami sepenuhnya dan dinilai atas dasar pemahaman tempat dan fungsi unsur di dalam keseluruhan karya sastra.
Pendekatan Struktural
Abrams (dalam Pradopo, 1995:141) bahwa ada empat pendekatan terhadap karya sastra, yaitu, mimetik, pragmatik, ekspresif dan objektif. Teori strukturalisme merupakan pendekatan yang bersifat objektif, yaitu pendekatan yang menganggap karya sastra sebagai mahluk yang berdiri sendiri. Karya sastra bersifa otonom, terlepas dari alam sekitar, pembaca, dan bahkan pengarang itu sendiri. Oleh karena itu, untuk dapat memahami sebuah karya sastra  yang salah satu novel, novel tersebut haruslah dianalisis struktur intrinsiknya.
Diketahui bahwa novel merupakan struktur yang bermakna. Novel tidak sekedar merupakan serangkaian tulisan yang menggairahkan ketika dibaca, tetapi merupakan struktur pikiran yang tersusun dari unsur-unsur yang padu. Untuk mengetahui makna atau pikiran tersebut novel harus dianalisis.
Pendekatan struktural adalah salah satu pendekatan yang digunakan untuk membedah suatu karya sastra. Pendekatan tersebut dipelopori oleh kaum Formalis Rusia dan Srukturalisme Praha. Pendekatan stuktur sendiri mendapat  pengaruh langsung dari teori linguistik yang dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure.
Menurut Teeuw (Pradopo, 2002:145), analisis struktural itu kebulatan makna  instrinsik karya sastra dapat digali berdasarkan pemahaman tempat dan fungsi unsur itu dalam suatu karya sastra. Unsur-unsur instrinsik dalam suatu karya sastra juga mendukung untuk memahami makna dalam suatu karya sastra sehingga perlu dianalisis secara mendalam.
Suatu bentuk atau bahasa yang digunakan dalam karya sastra memiliki arti yang akan disampaikan oleh penulis kepada pembaca. Pada karya sastra seperti novel, unsur struktural tidak hanya dilihat pada kata dan bahasa saja, namun dapat juga dikaji dengan melihat berbagai macam unsur-unsur pembangun karya sastra yang berbentuk novel seperti tema, plot, karakter, sudut pandang, latar, moral yang disampaikan, dan lain-lain.
1.    Tema
Tema adalah ide, gagasan, pandangan hidup pengarang yang melatarbelakangi penciptaan karya sastra.  Setiap tema pada suatu karya sastra tidak diungkapkan secara langsung. Tema terletak secara implisit sehingga pembaca harus mampu menafsirkan sendiri makna yang terkandung yang ingin disampaikan oleh penulis melalui cerita-cerita yang disajikan. Tema dapat ditemukan pada bagian-bagian tertentu dari suatu karya sastra seperti melalui dialog tokoh-tokohnya, melalui konflik yang terjadi, melalui karakter tokoh, ataupun komentar secara tidak langsung. Akhir cerita pada suatu karya sastra juga menentukan tema. Tapi akhir dari setiap cerita tidak selalu tergantung pada penulis saja. Akhir cerita yang menggantung berarti menyerahkan secara utuh bagaimana akhir cerita suatu karya sastra kepada pembaca, sehingga temanya tergantung kepada pembaca itu sendiri.
Tema dapat digolongkan menjadi beberapa kategori berdasarkan sudut pandang dikotomis yaitu tema tradisional dan non tradisonal. Tema tradisional adalah tema yang merujuk pada tema yang bisa ditemukan dalam berbagai cerita, termasuk cerita lama. Misalnya cerita yang bertema (1) kebenaran dan keadilan yang mengalahkan kejahatan, (2) tindak kejahatan walau ditutup-tutupi pasti akan terbongkar juga, (3) tindak kebenaran maupun kejahatan masing-masing akan mimetik hasilnya, (4) cinta yang sejati menuntut pengorbanan, dan tema-tema yang lain.
Sementara tema non tradisional adalah tema yang bersifat tidak lazim dan tidak sesuai dengan harapan pembaca. Biasanya tema non tradisional bersifat melawan arus, mengejutkan, menyebalkan, dan tidak biasa terjadi dalam kehidupan masyarakat sebenarnya. Misalnya, jalan cerita yang menceritakan tentang kejujuran justru membuat suatu kehidupan menjadi keruh atau berantakan. Jalan cerita lebih melindungi kejahatan daripada kebenaran. Hal tersebut menyatakan adanya ketidakwajaran tema yang diangkat sehingga tema-tema tersebut di sebut tema nontradisional (Nurgiantoro, 2010: 79).

2.        Tokoh dan Penokohan
Tokoh merupakan para pelaku yang ada dalam suatu novel atau cerita fiksi lainnya. Menurut Abrams (dalam Nurgiantoro, 2010:82) tokoh cerita adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Tokoh bersifat imajinatif  karena pada dasarnya merupakan rekaan penulisnya saja. Namun, tokoh fiktif tersebut harus seorang tokoh yang hidup secara wajar, sewajarnya kehidupan manusia di dunia.  Tokoh-tokoh pada cerita fiksi fungsinya tidak hanya sebagai pelaku dalam cerita saja, namun sebagai alat untuk menyampaikan ide atau gagasan, tema, alur, serta moral dari penulis kepada pembacanya. Abrams (Fananie, 2000:52) mengatakan bahwa untuk menilai karakter tokoh dapat dilihat dari apa yang dikatakan dan apa yang dilakukan tokoh itu sendiri. Tokoh cerita merupakan unsur dari karya sastra berupa fiksi yang bertugas sebagai pembawa dan menyampaikan pesan, amanat, moral, dan segala sesuatu yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca.
Unsur tokoh dan penokohan sangat penting untuk membangun sebuah cerita fiksi karena saling berkaitan dengan unsur-unsur yang lain. Penokohan dan Pemplotan satu sama lain saling berkaitan erat. Dalam membangun sebuah cerita, pemplotan sangat penting, namun tokoh-tokoh cerita akan lebih menarik perhatian pembaca. Plot hanya sarana untuk memahami jalan cerita (Nurgiantoro, 2010:90). Maka dari itu, untuk menunjukan jati diri dan kehidupan tokoh dalam cerita perlu ada alur (plot) perjalanan hidup dari tokoh-tokoh tersebut.
Keterkaitan tokoh dengan tema juga tidak kalah pentingnya. Tema merupakan dasar cerita dari sebuah jalan cerita dalam novel. Dalam fiksi tema bersifat mengikat dan bersifat menyatukan unsur-unsur fiksi yang lain. Melalui tokoh-tokoh itu, tema yang dijunjung dalam cerita dapat tersampaikan kepada pembaca.
Setiap tokoh dalam cerita mempunyai watak untuk membangun cerita dalam novel. Watak dapat diwujudkan dengan bermacam-macam cara penokohan seperti yang diungkapkan oleh S. Tasrif (Pradopo, 2002:59) yaitu (a) Lukisan bentuk lahiriyah dari tokoh itu sendiri (Physical description), (b) Lukisan jalan pikiran atau apa yang melintas dalam pikiran tokoh (portrayal of thoughtor stream of consciousness), (c) Reaksi terhadap peristiwa (reaction of event), (d) Analisis watak secara langsung (direct author analysis), (d) Lukisan keadaan sekitar tokoh (discussion of environment), (e) Reaksi-reaksi pelaku lain terhadap tokoh (reaction of others to character).


3.        Latar / Setting
Latar atau setting cerita merupakan unsur pembangun yang penting yang mengiringi jalan cerita. Walaupun setting atau latar dimaksudkan untuk mengidentifikasi situasi yang tergambar dalam cerita, keberadaan elemen setting hakikatnya tidak sekedar menyatakan di mana, kapan, dan bagaimana situasi peristiwa berlangsung, melainkan berkaitan juga dengan tradisi, karakter, perilaku sosial, dan pandangan masyarakat pada waktu cerita ditulis (Fananie, 2000:98). Fungsi setting atau latar itu sendiri tidak bisa terpisah dari unsur pembangun karya sastra yang lain karena merupakan satu kesatuan yang saling menentukan.
Setting atau latar yang berhasil adalah harus terintegrasi dengan tema, watak, gaya, implikasi atau kaitan filosofinya (Sumardjo, 1986: 76). Untuk mengetahui ketepatan setting atau latar dalam suatu karya sastra dapat dilihat dari beberapa indikator. Abrams (Fananie, 2000:99) menyebutkan ketiga indikator tersebut, yaitu (1) General local (tempat terjadinya peristiwa), (2) Historical time (saat terjadinya peristiwa itu), (3) Social  circumstances (situasi sosialnya). Berdasarkan berbagai macam indikator tersebut maka pembaca tahu sejauh mana kewajaran dari setting atau latar karya sastra dengan peristiwa/situasi yang terjadi dikalangan masyarakat saat itu.
Ada unsur-unsur yang membangun sebuah latar dalam cerita. Menurut Nurgiantoro (2010:95) menjelaskan bahwa unsur-unsur tersebut adalah (1) Latar tempat, merupakan lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi, (2) Latar waktu, berkaitan dengan “kapan” peristiwa dalam karya sastra itu terjadi, (3) Latar sosial, mengungkapkan tentang perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tampat yang diceritakan dalam karya fiksi. Hal itu bisa berupa adat-istiadat, kebiasaan hidup, tradisi, keyakinan, atau pandangan hidup.

4.      Alur atau Plot
Alur atau plot adalah salah satu unsur instrinsik yang membangun sebuah karya sastra berupa novel. Unsur-unsur tersebut saling berkaitan untuk menyampaikan cerita kepada pembaca. Pada kegiatan pengkajian plot atau alur ini digunakan untuk mengetahui peristiwa apa saja yang terdapat dalam cerita novel. Menurut Staton (Wardani, 2009:43) menyatakan bahwa plot adalah deretan peristiwa yang disusun berdasarkan hubungan sebab akibat. Peristiwa yang terjadi dalam deretan cerita merupakan sebuah akibat dari peristiwa yang sebelumnya.
Nurgiantoro (2010:97) juga mengatakan bahwa plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun kejadian-kejadian tersebut hanya dihubungkan secara sebab akibat. Begitu juga dengan Foster yang mengemukakan bahwa plot adalah peristiwa-peristiwa dalam cerita novel yang mempunyai penekanan pada adanya kausilitas. Selain itu, plot bersifat misterus dan intelektual. Pembaca harus mempunyai pemikiran yang intelektual untuk bisa memahami dan menebak plot yang ada dalam cerita novel. Jadi pada dasarnya plot adalah serangkaian peristiwa yang terjadi dalam cerita fiktif yang mengantarkan pembaca ke dalam jalan cerita.
Pemahaman dan penghayatan pada sebuah novel sangat tergantung sekali terhadap plot/alur yang disajikan oleh penulis. Kesederhanaan plot/alur dalam sebuah novel akan mempermudah pembaca dalam memahami cerita dalam novel. Sedangkan plot yang sulit akan mengurangi pemahaman pembaca terhadap cerita. Namun, biasanya kesulitan penyajian plot dalam sebuah cerita akan menjadi sebuah karakteristik gaya penulisan karya sastra.
Dalam mengembangkan plot dalam cerita, maka ada tiga unsur yang harus diperhatikan. Unsur-unsur tersebut adalah peristiwa, konflik, dan klimaks. Ketiga unsur tersebut saling berhubungan satu sama lain.
a)  Peritiwa
Luxemburg (Nurgiantoro, 2010:97) menyatakan bahwa peristiwa merupakan peralihan dari suatu keadaan yang lain. Maka pembaca harus mampu membedakan kalimat-kalimat yang mengandung peristiwa ataupun tidak. Berdasarkan hal tersebut maka ada pembagian peristiwa menjadi tiga yaitu peristiwa Fungsional, peristiwa kaitan, dan peristiwa acuan.
Peristiwa fungsional adalah peristiwa-peritiwa yang menentukan atau mempengaruhi perkembangan plot itu sendiri. Peristiwa kaitan adalah peristiwa-peristiwa yang yang berfungsi mengaitkan peristiwa penting dalam cerita yang disajikan. Peristiwa acuan adalah peristiwa yang tidak secara langsung berpengaruh dan atau berhubungan dengan perkembangan plot, namun mengacu pada unsur-unsur lain. 
b)  Konflik
Konflik adalah sebuah kejadian yang bisa menjadi pusat perhatian pembaca. Konflik juga merupakan masalah yang sangat berpengaruh dalam pengembangan plot. Wallek dan Werren (Nurgiantoro, 2010:98) menyatakan bahwa konflik adalah sesuatu yang dramatik, mengacu pada pertarungan antara kedua kekuatan yang seimbang menyiratkan adanya aksi balasan. Bentuk peristiwa yang berupa konflik dapat berupa konflik batin dan konflk fisik. Staton (Nurgiantoro, 2010:98) mengatakan bahwa konflik merupakan bentuk kejadian yang dapat dibedakan menjadi dua kategori yaitu konflik fisik dan konflik batin, konflik eksternal dan konflik internal.
c)    Klimaks
Staton (Nurgiantoro, 2010:99), mengatakan bahwa klimaks telah mencapai tingkat intensitas tertinggi, dan saat hal itu merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari kejadiannya. Klimaks merupakan puncak dari konflik yang ada dalam cerita dan menentukan bagaimana solusi yang digunakan untuk menyelesaikan konflik tersebut.

5.    Sudut Pandang
Staton (Nurgiantoro, 2010:99) menggolongkan sudut pandang atau point of view merupakan salah satu unsur fiksi yang digunakan sebagai sarana cerita. Ada tidaknya sudut pandang mempengaruhi penyajian cerita untuk mempermudah pemahaman pembaca. Penyudut pandangan menurut Abrams (Nurgiantoro, 2010:102), adalah cara dan atau pandangan yang digunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca. Pada hakikatnya sudut pandang hanyalah sebuah strategi pengarang untuk menyampaikan cerita kepada pembaca sehingga semua gagasan dan ide-ide yang ada dalam pikiran pengarang bisa tertuang lewat cerita tersebut dengan masing-masing gayanya.
Sudut pandang cerita secara garis besar dapat dibedakan ke dalam dua macam (Nurgiantoro, 2010:102) yaitu persona pertama (first person). Biasanya menggunakan gaya “aku” sebagai pencerita. Sudut pandang yang ke dua yaitu persona ke tiga (third-person), yang bercerita adalah sosok orang lain selain tokoh dalam cerita yang biasa disebut “dia”. Pengarang mempunyai kebebasan yang tidak terbatas untuk menuangkan cerita melalui sudut pandang yang dikehendaki dan yang paling efektif.
Pemilihan sudut pandang dalam menyajikan sebuah cerita menjadi penting karena hal itu berhubungan dengan gaya baik retorika maupun gramatikanya. Teknik penyajian sudut pandang tertentu akan lebih efektif jika diikuti oleh pemilihan bentuk gramatika dan retorika yang sesuai. Penyajian sudut pandang juga digunakan untuk menyampaikan nilai-nilai, sikap, dan pandangan hidup pengarang selain dituangkan dalam tokoh dalam cerita itu sendiri.
Macam-macam sudut pandang menurut Nurgiantoro (2010:103) yaitu :
1)   Sudut Pandang Persona Ke Tiga
Pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang persona ketiga, menggunakan gaya “dia”. Narator cerita adalah seseorang yang berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama tokoh atau sebutan ia, dia, dan mereka. Sudut pandang “dia” dapat dibedakan menjadi beberapa golongan berdasarkan tingkat kebebasan dan keterikatan pengarang terhadap bahan ceritanya. (a) Narator dapat dengan bebas menceritakan segala sesuatu yang berhubungan dengan tokoh “dia”. Jadi narator tersbut bersifat mahatahu (“dia” mahatahu), (b) sudut pandang “dia” terbatas hanya mengetahui sebagaian dari apa yang dilihat, didengar, dialami, dipikir, dan dirasakan oleh tokoh cerita.
2)    Sudut Pandang Persona Pertama: “Aku”
Dalam sudut pandang ini narator terlibat langsung dalam cerita yang disajikan. Jadi selain sebagai pencerita juga sebagai tokoh sekaligus dalam cerita. (a) “Aku” Tokoh utama. Teknik penggunaan sudut pandang ini, “aku” mengisahkan berbagai peristiwa dan tingkah laku yang dialaminya. (b) “Aku” Tokoh Tambahan. Tokoh “aku” hadir untuk membawakan cerita kepada pembaca. Sedangkan tokoh utama dalam cerita menceritakan sendiri tentang berbagai macam pengalamannya.
3)   Sudut Pandang Campuran
Penggunaan sudut pandang dalam sebuah cerita berupa penggunaan sudut pandang persona ketiga dengan teknik “dia” mahatahu dan “dia” sebagai pengamat, persona pertama dengan teknik “aku” sebagai tokoh utama dan “aku” tambahan sebagai saksi, bahkan dapat berupa campuran antara persona pertama dan ketiga antara “aku” dan “dia” sekaligus.







BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A.           Metode dan Prosedur Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian berbasis content analysis. Objek penelitian ini adalah novel Belenggu karya Armij Pane yang dikaji dengan menggunakan pendekatan persepektif kritik sastra feminis. Sedangkan, metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lain. Artinya, penelitian yang hanya menjelaskan secara deskriptif makna yang terkandung dalam cerita novel saat pengolahan data.
Sebelum dilakukan analisis dengan pendekatan persepektif kritik sastra feminis novel Belenggu karya Armij Pane terlebih dahulu dikaji melalui pendekatan struktural guna memahami unsur-unsur yang terkandung didalamnya dan dilanjutkan ke kajian perspektif kritik feminis.

B.       Data dan Sumber Data
Data yang dikumpulkan pada penelitian ini merupakan kumpulan data yang diperoleh melalui identifikasi berdasarkan telaah melalui pendekatan persepektif kritik sastra feminis novel Belenggu karya Armij Pane.

C.      Teknik Prosedur Pengumpulan Data
Menurut Huberman (1992:18-19) teknik pengumpulan data dapat dilakukan melalui beberapa tahap yaitu  tahap reduksi data, yaitu suatu proses memilih, memfokuskan, menyederhanakan, meringkas, dan merubah data mentah.  Sumber data sangat luas, maka data yang paling memadai dan relevan yang dapat dianalisis.
Adapun langkah-langkah menganalisis data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) memilih novel terbaik untuk dianalisis berdasarkan pendekatan persepektif kritik sastra feminis, 2) melakukan kajian terhadap novel Belenggu secara mendalam dengan didasarkan pada pendekatan struktural guna memahami makna yang terkandung di dalamnya, dan 3) melanjutkan ke kajian persepektif kritik sastra feminis.

D.      Prosedur Analisis Data
Beberapa tahapan penelitian yang dilakukan peneliti yaitu, menentukan objek  penelitian, menganalisis situasi dan konteks, menentukan karakteristik teks, menentukan kriteria analisis, merujuk pertanyaan penelitian, menentukan teknik analisis, menentukan unit analisis, menganalisis materi dan menafsirkan (Moleong, 1990:5). Data yang sudah dideskripsikan dianalisis dengan langkah-langkah analisis isi kualitatif, yang dalam hal ini merujuk pada kajian persepektif kritik sastra feminis terhadap novel Belenggu karya Armij Pane.
Penelitian kualitatif dapat dilakukan melalui proses pengambilan data dan analisis serta interpretasi data dapat dilakukan secara bersamaan. Dengan demikian penyajian data dan pembahasan dapat disajikan sekaligus dalam satu paparan yang terpadu. Berikut ini dijelaskan langkah-langkah kajian persepektif kritik sastra feminis novel Belenggu karya Armij Pane sebagai berikut:
1.         Membaca novel dan mengidentifikasikan berdasarkan pendekatan struktural.
2.         Menganalisis novel yang telah terpilih berdasarkan pendekatan persepektif kritik sastra feminis.
3.         Interpretasi semua temuan penelitian
4.         Merumuskan implikasi dan menarik simpulan
5.         Menyusun laporan penelitian

E.       Pemeriksaan Keabsahan Data
Keabsahan data merupakan teknik pemeriksaan data yang penting untuk dilakukan saat penelitian. Moleong (2010:329) mengatakan bahwa terdapat sepuluh teknik pemeriksaan data yaitu: 1) perpanjangan keikutsertaan; 2) ketekunan pengamatan; 3) triangulasi; 4) pengecekan sejawat; 5) kecukupan referensial; 6) kajian kasus negatif; 7) pengecekan anggota; 8) uraian rinci; 9) audit kebergantungan; dan 10) audit kepastian.
Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik triangulasi. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain, dengan tujuan untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data tersebut. Triangulasi berarti cara terbaik untuk menghilangkan perbedaan-perbedaan konstruksi kenyataan yang ada dalam konteks suatu studi sewaktu mengumpulkan data  tentang berbagai kejadian dan hubungan dari berbagai pandangan  (Moleong, 2010:330).
Dengan demikian, peneliti dapat melakukannya dengan jalan di antaranya: a) mengajukakan berbagai macam pertanyaan; b) mengeceknya dengan berbagai sumber; dan c) memanfaatkan berbagai metode agar pengecekan kepercayaan data dapat dilakukan. Teknik triangulasi digunakan dengan alasan karena teknik ini merupakan teknik yang terbaik untuk mengatasi perbedaan-perbedaan dari berbagai data yang diperoleh selama penelitian. Dalam kegiatan analisis setiap orang dapat menafsiran hal yang berbeda terhadap subjek yang sama. Dengan demikian teknik ini dapat digunakan untuk mengatasi berbagai perbedaan terhadap hasil analisis. 
Berdasarkan pada konsep pemikiran di atas, maka meskipun terdapat perbedaan terhadap persepsi dari kegiatan analisis novel, namun  penulis akan memberikan kesimpulan akhir dari suatu jawaban sehingga nantinya akan diperoleh kesamaan untuk menjawab pertanyaan dalam penelitian ini.
 









BAB IV
PEMBAHASAN

A.      Biografi Pengarang
Armijn Pane lahir di kota Muara Sipongi, Tapanuli Selatan, pada tanggal 18 Agustus 1908 (Sumardjo,1992). Dia mengawali pendidikannya di Hollandsislandse School (HIS) Padang Sidempuan dan Tanjung Balai sekolah. Dia juga pernah sekolah AMS A-I (sastra barat) di Solo yaitu sekolah yang bertumpu pada bahasa dan sastra (Rosidi, 1969: 41). Dia menamatkan sekolahnya pada tahun 1931 sehingga dia menjadi ahli dalam hal tulis-menulis karya sastra.
Dalam perkembangan kesusastraan di Indonesia, Armijn Pane termasuk dalam sastrawan angkatan Pujangga Baru. Dia terjun dalam dunia sastra diawali dengan banyak mengirim karya-karyanya di majalah Pujangga Baru. Saat itu dia banyak menulis esai, sajak, dan cerita pendek yang kerap sekali dimuat pada majalah Pujangga Baru. Namun, dia selalu menggunakan nama samaran seperti A.Pandji, A.Mada, A.Djawa, Adinata, Kasmoto, dan yang lainnya.
Banyak sastrawan Indonesia yang menghasilkan karya sastra yang begitu memukau pembacanya. Bahkan dari hasil karya-karya sastra tersebut bisa menumbuhkan kebangkitan dalam berbangsa bagi beberapa orang bangsa Indonesia. Karya sastra karangannya yang paling terkenal yaitu roman yang berjudul Belenggu. Sebelum menulis romannya itu, dia banyak menulis cerpen, sajak, esai, dan sandiwara (Rosidi, 1969). Karya sastra dalam bentuk drama yaitu Jinak-jinak Merpati, Antara Bumi dan Langit, Nyai Lenggang Kencana, Lukisan Masa, dan Barang Tidak Berharga. Semua karya sastra dalam bentuk drama tersebut telah dijadikan dalam satu buku.

B.       Kajian Struktural Novel Belenggu
Kajian strukturalisme dalam telaah sastra merupakan sebuah kajian utama yang harus dilakukan. Artinya bahwa kajian strukturalisme sebagai upaya guna menggali makna secara keseluruhan yang terdapat dalam novel yang dijadikan objek penelitian. Novel merupakan sebuah karya sastra yang kompleks dan kekomplekkan tersebut dapat dipahami melalui kajian unsur-unsur yang membangun.    
Hal ini sejalan dengan pendapat Sugihastuti (2002:43) bahwa analisis strukturalisme merupakan prioritas utama sebelum diterapkannya analisis yang lain. Tanpa analisis struktural, kebulatan makna intrinsik yang hanya dapat digali dari dalam karya sastra tersebut tidak dapat dipahami secara utuh. Dalam penelitian ini unsur-unsur pembangun karya sastra berbentuk novel meliputi tema, plot, karakter, sudut pandang, latar, tokoh dan penokohan, alur,
1.    Tema 
Tema merupakan inti atau pokok pikiran dalam suatu cerita. Tema juga digunakan sebagai penentu semua unsur-unsur dalam suatu cerita. Tema yang digambarkan dari Novel Belenggu adalah kehidupan rumah tangga suami-istri (manusia modern) tidak dapat bahagia karena masing-masing tidak dapat menerima apa yang telah ada. Mereka terikat dengan angan-angan masa lalu dan peristiwa masa lalu yang tidak terwujud. Hal itu terlihat pada keseluruhan jalan cerita antara Tono dan Tini yang dalam kehidupan berumah tangga tidak seperti hidup berkeluarga pada umumnya, bahkan saling membenci dan tidak mendukung satu sama lain.
Penggolongan tema berdasarkan sudut pandang dikhotomis dapat dibedakan menjadi tema tradisional dan nontradisional. Jika melihat jalan cerita yang disampaikan dalam Novel Belenggu maka tema yang membangun jalan cerita novel tersebut adalah kehidupan keluarga yang tidak harmonis. Tema tersebut termasuk dalam tema tradisional. Hal itu karena ketidakharmonisan keluarga yang dibangun oleh dokter Tono dan Tini. Dalam keluarga mereka selalu ada konflik yang mengakibatkan mereka berdua selalu tidak akur layaknya keluarga. Konflik yang ada dalam novel tersebut adalah adanya perselingkuhan yang dilakukan Tono. Hal itu sebagai akibat dari masing-masing mereka yang saling acuh tak acuh sebagai suami istri. Perselingkuhan yang dilakukan oleh dokter Tono dengan Yah tersebut diketahui oleh Tini, sehingga mengakibatkan perceraian antara suami istri tersebut. Akhir cerita pun Tono ditinggalkan oleh kedua wanita yang pernah bersamanya yaitu Tini dan Yah. Berdasarkan cerita tersebut maka dapat disimpulkan bahwa setiap keburukan pasti akan mendapat imbalan yang sesuai.
Kategori tema yang tradisional adalah tema yang diangkat dalam cerita dapat ditemukan dalam cerita lain. Tema yang ada dalam Novel Belenggu termasuk dalam tema tradisional. Jalan cerita pada novel tersebut masih mengangkat tentang tema bahwa setiap keburukan pasti akan mendapat imbalan yang sesuai. Hal itu bisa ditemukan dalam cerita novel lain seperti pada Novel Salah Asuhan karya Abdul Muis. Kesamaan tersebut terlihat ketika sebuah keluarga yang hancur karena adanya orang ketiga.
Dalam Novel Belenggu, Tono merasa tidak puas dengan istrinya, Tini. Kemudian dia mencari sosok wanita yang bisa membahagiakan dia dan berlaku seperti apa yang dia inginkan. Tono menemukan Yah (Ny. Eni) yang merupakan temannya waktu kecil sekaligus pasiennya. Mereka pun manjalin hubungan terlarang. Namun, pada akhirnya hubungan mereka diketahui oleh Tini dan keluarga mereka bercerai walaupun sebenarnya Tono tidak menginginkan hal itu. Tono pun ditinggalkan oleh Tini maupun Yah.
Jika dibandingkan dengan Novel Salah Asuhan tidak jauh berbeda tema yang diangkat. Hanafi sebagai bangsa Indonesia yang selalu merendahkan bangsanya sendiri karena dia selalu mengagungkan bangsa Belanda. Hal tersebut karena dia jatuh cinta kepada wanita keturunan Belanda bernama Corry. Karena mengejar cinta Corry, Hanafi pergi ke Jakarta dan meninggalkan anak dan istrinya serta keluarganya di Minangkabau dan disana dia memang bisa bersatu dengan Corry. Namun, berbagai aral melintang menghampiri keluarga Corry dan Hanafi. Diakhir cerita Corry meninggal. Hanafi pulang kembali ke Minangkabau, namun hanya ibunya yang mau menerima Hanafi kembali. Oleh karena itu, Hanafi akhirnya meninggal karena over dosis.

2.    Tokoh dan Penokohan
Selain berbicara tentang tokoh-tokoh yang ada dalam cerita, dalam hal ini juga membicarakan tentang karakteristik masing-masing tokoh. Setiap tokoh yang ada dalam cerita pasti memiliki ciri perwatakan. Secara umum perwatakan dalam suatu cerita dibagi menjadi dua yaitu tokoh protagonis dan tokoh antagonis.  Tokoh protagonis merupakan tokoh utama dalam suatu cerita. Sedangkan tokoh antagonis adalah tokoh yang bersifat menentang tokoh utama dalam cerita.
Tokoh protagonis dalam Novel Belenggu yaitu Tono (Sukartono) karena Tono menjadi sorotan utama yang selelu dibicarakan dalam novel. Tono juga sebagai pangkal utama yang menjadikan adanya konflik yang membangun cerita novel. Hal itu karena setiap peristiwa dalam cerita pasti melibatkan tokoh Tono.
Tokoh antagonis dalam Novel Belenggu yaitu Tini (Sumartini) sebagai istri Tono dan Yah (alias Ny. Eni atau Siti Rohayah atau Siti Hayati) kekasih Tono. Tokoh Tini selalu menentang apa yang dilakukan oleh Tono. Tokoh Yah juga termasuk dalam salah satu tokoh antagonis dalam Novel Belenggu. dalam cerita Yah yang tidak pada jalan yang benar. Ketika Yah tahu bahwa Tono telah beristri tapi dia tetap mau menjadi kekasih Tono sehingga menimbulkan masalah dalam keluarga Tono dan Tini.
Ada juga tokoh-tokoh lain yang merupakan tokoh pembantu yang fungsinya untuk memperjelas jalan cerita dalam menyelesaikan masalah dan konflik-konflik yang ada. Tokoh-tokoh pembantu tersebut diantaranya Hartono (teman Tono di SMA dan bekas kekasih Tini), Mardani (teman Tono dan Hartono), Mangunsucipto (paman Tini), Karno (bujang Tono), Abdul (sopir Tono), Puteri Aminah, Nyonya Sumardjo, dan tokoh lain sebagai teman seprovesi dengan Tini.
Perwatakan dalam Novel Belenggu dapat ditentukan dengan teknik analitik dan dramatik. Misalnya deskripsi fisik Tini yang cantik, suka bersolek, memakai rouge di bibir dan pipi untuk menunjukan Tini sebagai ratu pesta yang menarik para pemuda hingga akhirya dapat menarik Tono dan dijadikan istri. Penggambaran secara fisik untuk tokoh Tini terdapat pada kutipan sebagai berikut.   
“… diamat-amatinya sebentar badan yang terlentang itu, molek, karena suka sport dahulu. Tetapi, nafsunya tiada tertarik, tiada berkobar seperti dahulu. Sambil menuju ke kursinya, dia berfikir: badannya masih cantik. Memang Tini cantik, pandai memakai sembarang pakaian. Suka mata memandang dia.” (hal. 61)

Tokoh Tini yang bersifat suka menentang suaminya sendiri juga dikemukakan secara eksplisit pada kutipan sebagai berikut.

“Sukartono terkejut, memandang kearah istrinya, tetapi ia sudah berpaling lagi, menuju ke kamar tidur. Menyala-nyala dalam hatinya, hendak terhambur kata marah dari mulutnya …ah, alangkah cantiknya, ramping langsir, sikapnya menantang demikian itu.” (hal. 19)

Selain watak-watak Tini di atas, masih ada watak yang dapat terlihat dari tingkah laku yang dilakukan Tini kepada tokoh-tokoh lain. Misalnya seperti pada saat Tini berbincang dengan Nyonya Rusdio. Tini mengutarakan kecemburuannya kepada Nyonya Rusdio karena dia mengetahui bahwa sebenarnya Nyonya Rusdio mempunyai perasaan kepada suaminya. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan sebagai berikut.

“Ada yang hendak ibu katakan, bukan ibu?” kata Tini, sambil duduk dihadapan Nyonya Rusdio. “ katakanlah ibu, saya dengarkan. Tentu saya yang disalahkan, karena ibu saying akan suami saya.”
Kata “suami saya” itu ditekannya, seolah-olah hendak mengatakan, yang hendak engkau singgungperkara kami sendiri. Nyonya Rusdio merasa juga akan maksud perkataan Tini itu. Dia tahu Tini tiada terlalu suka akan dia. Entah apa sebabnya. …”. (hal. 55)

Deskripsi tokoh Tini di atas juga dapat menimbulkan reaksi-reaksi pelaku-pelaku lain, misalnya pelaku wanita dalam cerita yang kerap menggunjingkan ketidakcocokan antara Tono dan Tini setelah mereka berdua manikah.
Perwatakan pada Yah atau Ny. Eni yang dapat di deskripsikan secara fisik yaitu Yah yang berparas cantik dan menarik bagi kaum lelaki serta membuat orang nyaman berada di dekatnya. Dia penyayang dan banyak lelaki tertarik termasuk Tono sehingga terjadilah perselingkuhan antara Tono dan Yah. Kepribadian Yah dapat di ketahui melalui deskripsi yang diungkapkan Tokoh dokter Tono ketika membandingkan dengan sifat istrinya sendiri. “Pikirannya melayang kembali ke Yah, yang baru ditinggalkan. Benar-benar perempuan, ramah-tamah, pandai bergurau, bercumbu-cumbu.” (hal. 61)

Watak Ny. Eni atau yang suka dipanggil Yah itu juga memiliki sifat perhatian. Perhatian Yah itu dia berikan kepada dokter Tono seakan-akan mengetahui apa yang diinginkan oleh Tono. Hal tersebut dapat diketahui melalui gerak-gerik Yah yang dia lakukan kepada dokter Tono yang diungkapkan melalui kutipan percakapan sebagai berikut.
“ … dia tiada menunggu jawab dokter Sukartono, dengan segera ditinggalkannya. Sesudah disangkutkannya baju itu dia kembali, lalu berlutut dihadapan Sukartono, terus ditanggalkannya sepatunya, dipasangkannya sandal yang diambilnya dari bawah kursi Sukartono.” (hal. 34)

Perwatakan tokoh dokter Tono disampaikan secara eksplisit oleh penulis yaitu dokter Tono yang memiliki sifat tanggung jawab terhadap keluarganya, rajin belajar ketika masih sekolah kedokteran, tidak mudah mengalah atau putus asa, dan lain-lain. Hal tersebut disampaikan penulis melalui kutipan cerita sebagai berikut.

“pikiran kawan-kawannya akan terkabul, sukartono akan patah di tengah jalan, kalau suatu ketika tiada surat dari saudaranya., mengatakan anaknya masih banyak yang perlu juga diteruskan pelajarannya, karena dia tahu, lebih bijaksana kalau perasaan tanggungjawab Sukartono disinggung. Saudaranya tahu, sejak kecil, memang sudah begitu tabiat Sukartono. Memang perasaan tanggung jawab keras padanya. Maka sejak Kartono menerima surat saudaranya itu, kawan-kawannya heran melihat Sukartono rajin belajar, tiada pernah kalah-kalah, bahkan selalu menang ujian dengan mendapat pujian …”. (hal. 24)

Adanya penokohan dari setiap tokoh itu saling berkaitan erat dengan unsur-unsur instrinsik lain, misalnya seperti berkaitan dengan plot serta amanat atau moral yang akan disampaikan kepada pembaca. Hal itu sangat bisa terlihat sekali pada Novel Belenggu karya Armijn Pane. Perwatakan dari tokoh dokter Tono yang mulanya setia kepada istrinya, Tini. Namun, karena dia yang tidak mempunyai pendirian yang mantap maka dia mencari sosok wanita lain yang dapat membahagiakan dirinya. Dia pun memilih Yah sebagai wanita yang bisa membahagiakan dirinya. Perubahan sifat Tono tersebut yang mengantarkan konflik dalam plot yang terjadi dalam Novel Belenggu ini. hal tersebut membuktikan adanya keterkaitan antara penokohan atau karakteristik dari tokoh yang mendukung terjadinya plot dalam suatu cerita fiksi.

3. Plot atau Alur
Alur cerita Novel Belenggu termasuk dalam alur maju. Hal tersebut dapat diketahui melalui jalan cerita yang runtut dalam Novel Belenggu. Namun, di tengah cerita terselip alur mundur (flashback) karena menceritakan kembali masa lalu dari tokoh.
Penjelasan secara sederhana tentang alur dalam Novel Belenggu yaitu cerita di mulai ketika kehidupan keluarga Tini dan Tono yang tidak harmonis karena saling mengedepankan  keinginan masing-masing. Tini sebagai wanita modern, tidak ingin terkekang dengan kehidupan dalam keluarga saja sedangkan Tono menginginkan Tini menjadi seorang istri yang seutuhnya. Ketidakharmonisan dalam keluarga mereka juga dipengaruhi dengan kisah cinta yang telah menjadi masa lalu mereka yang kemudian kehidupannya saat ini. Pada peristiwa tersebut sudah menimbulkan adanya masalah yang timbul dalam cerita Belenggu.
Beranjak menuju konflik yang menjadi masalah yaitu setelah Tono yang tidak merasa nyaman berada dalam kehidupan rumah tangganya bersama Tini maka dia mencari sosok wanita yang bisa mengayomi dirinya. Wanita tersebut bernama Yah atau Ny. Eni yang merupakan pasiennya. Wanita tersebut merupakan pelacur dan ternyata merupakan salah satu temannya saat sekolah di bangku SMA. Yah juga merupakan salah satu wanita yang pernah Tono cintai saat belum bertemu dengan Tini. Begitu juga dengan Yah yang sempat memendam rasa cintanya kepada Tono sejak dulu. Saat itu Tono merasa nyaman ketika bersama Yah. Meraka menjalin hubungan tanpa sepengetahuan Tini.
Konflik memuncak ketika hubungan Tono dan Yah diketahui oleh Tini. Tini merasa jengkel dan akan menemui Yah yang telah merusak rumah tangganya. Namun Tini sadar bahwa Yah adalah wanita yang memang bisa membuat lelaki merasa nyaman bersamanya termasuk suaminya, Tono. Tidak seperti dirinya yang selama ini apa yang dilakukannya kepada Tono. Tini memutuskan untuk menceraikan Tono, begitu juga dengan Yah yang akhirnya meninggalkan Tono keluar negeri karena dia merasa bahwa dirinya tidak pantas untuk menjadi istri Tono.

4.        Latar
Beberapa latar cerita terdapat pada Novel Belenggu. Latar-latar tersebut dapat mendukung jalan cerita sehingga pesan atau makna dapat tersampaikan kepada pembaca.
a)    Latar tempat
Ada beberapa tempat yang digunakan dalam melangsungkan cerita dalam Novel Belenggu. Latar tempat yang pertama yaitu cerita terjadi di rumah dokter Tono dan Tini. Latar tempat yang berada di rumah ini mempengaruhi jalan cerita dalam novel. Latar rumah tersebut merupakan tempat di mana Tono dan Tini bertemu dan bertengkar yang membuat terjadinya konflik dalam cerita. Hal tersebut terdapat pada kutipan berikut ini.

“Seperti biasa, setibanya di rumah lagi, dokter Sukartono terus saja menghampiri meja kecil, di ruang tengah, di bawah tempat telepon.
Ah, mengapa pula ditaruhnya disini. Diangkatnya barang sulaman istrinya di atas meja, akan mencari bloc-note, tempat mencatat nama orang kalau ada yang meneleponnya, waktu dia keluar.” (hal. 15)

 Selain itu latar tempat juga terjadi di Hotel kamar nomor tiga tampat Yah tinggal sebagai tempat pertama kalinya Tono dan Yah bertemu. Berkaitan dengan  plot yang ada dalam cerita maka, tempat tersebut merupakan awal dari timbulnya benih-benih cinta Yah dan Tono yang akhirnya mereka menjalin hubungan terlarang di belakang Tini. Hal tersebut terdapat pada kutipan yaitu sebagai berikut.

“Di belakangnya, di dalam kamar nomor lima terdengar suara perempuan, tertawa karena geli, diiringi suara laki-laki terbahak-bahak. Diketoknya pintu tertutup itu, maka kedengaran suara nyaring: “ya…” sebentar lagi kedengaran orang turun dari tempat tidur, lalu suara sandal terseret menghampiri pintu, maka Sukartono berhadapan dengan perempuan montok berpakaian kimono, yang di tutupkannya dengan tangan kirinya.” (hal. 20)

Latar tempat yang selanjutnya adalah di rumah ke dua Yah (Ny. Eni) yaitu Gang Baru No. 24. Seperti yang terdapat dalam kutipan surat Yah kepada dokter Tono untuk memberitahukan rumahnya yang baru seperti tampak pada kutipan sebagai berikut.
 “Saya sudah pindah ke Gang Baru No. 24. Kalau tuan dokter kebetulan lintas di sana, sukalah mampir di rumah saya, bekas patient tuan dokter.”

Latar rumah ini selanjutnya dijadikan tempat Yah dan dokter Tono bertemu. Rumah ini juga dijadikan dokter Tono untuk beristirahat dan menemukan kedamaian yang tidak ditemukan di rumahnya sendiri. Hal tersebut terungkap dalam kutipan sebagai berikut.

“Sehabis payah praktijk, Kartono bisalah pergi ke rumahnya yang kedua akan melepaskan lelah. Pikirannya tenang kalau disana. Disanalah pula dia acapkah membaca majalah dan bukunya yang perlu dibaca, sedang Yah lagi asyik merenda. Mula-mulanya masih merasa berbuat salah dalam hatinya terhadap istrinya. Bukankah berbohong namanya itu? tetapi pikirnya pula: “kalau kulepaskan Yah, kemana perginya nanti?” lambat laun pertanyaan itu berubah menjadi: “kalau dia pergi apa jadinya aku? Dimana aku mendapat tempat damai?” (hal. 41)

b)   Latar waktu
Terdapat latar waktu malam hari pada Novel Belenggu. Latar waktu tersebut diungkapkan secara eksplisit dalam percakapan dokter Tono dan Nyonya Eni yaitu sebagai berikut.
“Selamat malam, tuan dokter. Sangka saya tiada akan selekas ini bersua lagi dengan tuan. Kebetulan ada pasien didekat sini, dokter?” tanya menjeling.” (hal. 33)

Berikut ini juga digambarkan waktu malam hari ketika Tini menunggu dokter Tono pulang ke rumah yang terdapat dalam kutipan sebagai berikut.

“Tini lagi berbaring di sofa membawa buku. Kedua belah tangannya memegang buku itu ke atas, supaya terang kena cahaya lampu dari belangnya. Kepalanya berbantalkan tiga buah bantal sofa , supaya tinggi, badannya seolah-olah setengah bersandarkan bantal itu. biasanya dia sudah tidur, atau sudah baring di tempat tidur, seolah-olah sudah nyenyak, tetapi sebenarnya dia menunggu-nunggu Kartono pulang.” (hal 57)

Waktu sore hari juga menjadi latar dalam cerita pada Novel Belenggu. waktu sore hari terdapat pada saat dokter Tono akan mengunjungi pasiennya yang telah memanggilnya. Waktu tersebut disebutkan secara terang dalam kutipan sebagai berikut.

“Hatinya senang, kemudian di dalam mobil dengan gembira dia mengisap serutunya, sambil di sudut tempat duduk. Mobil melancar, hari sudah hampir gelap, lampu di tepi jalan sudah dipasang. Hawa sudah mulai sejuk. Matanya memandang ke kiri dan ke kanan, melihat ke luar, akan memalaikan pikirannya.” (hal. 19)

c)   Latar suasana
Suasana hati Tono yang gembira setelah bertemu dengan Yah. Hal tersebut dapat terlihat terdapat tingkah laku yang dilakukan dokter Tono dalam kutipan

 “Ketika dokter Sukartono keluar dari pekarangan rumah patient yang penghabisan, hatinya girang benar, belum pernah segirang itu pada waktu yang akhir-akhir ini…… “. (hal. 32)

Berikut ini merupakan kutipan percakapan yang menggambarkan suasana yang menyenangkan bagi dokter Tono ketika bercakap-cakap dengan temannya.

 “Sukartono merasa gembira: “Memang, benar demikian, yaitu kalau kita biarkan kita dibelanggu, tapi kalu kita pada mulanya benar suadah memasang segala tenaga kita, kalau kita terus juga bersikeras hendak melepaskan belanggu itu,…”. (hal. 113)

Latar suasana yang menyenangkan dalam hotel tempat Yah tinggal juga ada dalam cerita ketika dokter Tono memeriksa Yah yang mempunyai keluhan. Suasana tersebut tergambar pada percakapan antara dokter Tono dan Yah (Ny. Eni) pada sebagai berikut.
“Ketika dokter Sukartono keluar dari pekarangan rumah patient yang penghabisan, hatinya girang benar, belum pernah segirang itu pada waktu yang akhir-akhir ini. dalam notesnya tidak ada lagi patient lain, baru saja diteleponnya ke rumah, kata Karno tidak ada patient. ….” (hal. 32)

Suasana hati yang mengecewakan Tono ketika mendapati Rumah Yah telah pindah. “Kegirangan hatinya bertukar menjadi perasaan jengkel, ketika dia keluar dari mobil, disambut oleh jongos yang malam kemaren dulu dengan kata: “sudah pindah, tuan dokter.” (hal. 32)

Suasana ruangan yang bising karena suara radio juga tergambar pada kutipan yaitu sebagai berikut.

“Dia berdiri dihadapan radio. Diputarnya knop penghubung kekawat listrik, lampu menyala di dalam, diputarnya knop untuk gelombang, diputarnya sampai 190, terdengar lagu keoncong baru, lalu diperlahankannya. Dia pergi bersandar pada meja tulisnya. Suara berhenti. Kata omruper: sehabis ini akan diperdengarkan suara Siti Haryati dari piring hitam dengan lagu: Ingat aku.“ (hal. 61)

Suasana yang mengharukan dapat ditemukan pada saat Yah mengutarakan bahwa dirinya adalah Rohayah yang merupakan teman dokter Tono semasa SMA. Yah berusaha mengingatkan hal itu kepada dokter Tono tapi doketr Tono masih belum mengingatnya. Maka Yah menangis dalam keadaan itu. Hal tersebut terdapat pada kutipan pada sebagai berikut.
                                                                            
“dia tertiarap di lantai, kedua belah tangannya bersilang menutup matanya. Badannya tersentak-sentak karena menagis tertahan-tahan. Kartono melutut, hendak mengangkat badan Yah. Yah menolaknya … “. (hal. 51)


5.    Sudut pandang
Sudut pandang yang dipilih oleh Armijn Pane dalam Novel Belenggu yaitu menggunakan teknik orang ketiga serba tahu. Jadi orang ketiga serba tahu ini merupakan bukan termasuk salah satu tokoh dalam Novel Belenggu. Sudut pandang tersebut bisa penulis atau pun orang lain. Hal tersebut bisa diketahui dengan cara mengidentifikasi yang mana pencerita selalu menyapa nama-nama tokoh. Selain itu, bisa diketahui seakan-akan pencerita seperti seseorang yang sedang bercerita melalui tulisan kepada pembaca.

C.      Unsur yang Menonjolkan tentang Emansipasi Perempuan dan Feminisme
Inferioritas Perempuan dalam Perkawinan   
Konsep cinta sejati dan kesetiaan perempuan kepada laki-laki mewarnai tema-tema utama novel periode awal Indonesia. Cinta kasih yang suci, harapan yang besar bersatu dengan kekasihnya, kesedihan yang berkepanjangan ketika berpisah dengan orang yang dicintainya merupakan peristiwa yang dialami oleh tokoh-tokoh Balai Pustaka dan Pujangga Baru.
Diketahui bahwa novel belenggu merupakan novel angkatan pujangga baru, namun tidak menutupkemungkinan tema dalam novel angkatan tersebut memiliki hipogram atau interteks dengan angkatan sesudahnya. Seperti dikatakan Pradopo, 1995:186) bahwa terdapat hubungan interteks antara novel siti nurbaya, layar terkembang, dan belenggu yang mengangkat permasalah emansipasi wanita.
Inferioritas perempuan (istri) kepada laki-laki (suami) walaupun kurang mewarnai novel belenggu yang disebabkan unsur modernitas, namun unsur tersebut tidak secara mutlak dan masih diwarnai dengan unsur tradisional atau adat istiadat. Teks yang menyebutkan bahwa menyenangkan dan melayani suami sekaligus sifat kepatuhan dan ketundukan istri kepada suaminya adalah tugas dan kewajiban istri. Hal ini digambarkan pada tokoh Tono (suami) menghendaki Tini (istri) sebagai perempuan yang tahu hak dan kewajibannya dalam rumah tangga. Perempuan yang tetap menyayangi suaminya, mencintainya dengan tidak merasa sebagai budak. Namun, yang diinginkan tersebut tidak ada pada tokoh Tini dan yang diinginkan Kartono adalah perempuan seperti Yah. Oleh karena itu, Tono menjadi tentram di rumah Yah, karena Yah menyambutnya dengan penuh cinta dan kasih sayang, melebihi istri sendiri. Yah mengerti kesukaan "suami", menanggalkan baju dokternya, melepas sepatunya, diganti dengan sandal rumah.
Membaca novel belenggu sama halnya membaca kemungkinan sebuah sisi manusia, yakni manusia dengan belenggunya sendiri. Jelas di sini bahwa ketidaksalingmengertianlah yang menerbitkan belenggu itu, menjadi perkara utama yang mendorong tokoh-tokoh tersebut menemukan dirinya sebagai karakter yang problematis. Novel Belenggu mengemukakan pertentangan tua dan muda yakni pertentangan tokoh dalam kedudukan yang masih terpengaruh oleh tradisi lama, dan terkadang sebagai pengambil tradisi baru. Demikian halnya tokoh Yah, dalam satu hal orang yang menentang tradisi lama.     
Sementara di dalam Belenggu, gambaran kaum intelektual seperti Kartono, Sumartini, dan Yah dianggap tidak memberi "contoh" kepada masyarakat, dianggap sama sekali melanggar ketertiban dan budi pekerti masyarakat. Di samping itu, dirasakan tidak layak bahwa kaum intelek hidup tidak rukun, dokter (Kartono) yang mempunyai simpanan (dan kumpul kebo), lebih-lebih Yah (Siti Rohayah, Ny.Eni, Siti Hayati) adalah perempuan tidak baik (pelacur).Hal ini dianggap memalukan dan dipastikan menimbulkan "keguncangan" kepercayaan masyarakat kepada kaum intelek.
Rumah tangga Tono dan Tini digambarkan penuh belenggu. Mereka saling kecewa antara satu dengan yang lain. Penuh kontradiksi; di satu sisi mereka saling membutuhkan, tapi di sisi lain melulu tidak saling puas. Dari informasi yang serba sedikit dan rancak terserak mengenai latar belakang para tokoh cerita di dalam novel ini, pembaca, lewat pemamahan yang tuntas, dapat merunut dengan perlahan dunia kecil dan aspek kejiwaan Tono, Tini, dan Yah. Semacam kunci yang diberikan Armijn guna memahami alur dan logika cerita Belenggu adalah motivasi Tono menikahi Tini.
Seperti pernah diulas Pradopo (1995:167), Tono memperistri Tini "hanya" karena merasa tertantang naluri kelelakiannya. Semakin populer dan "garang" seorang gadis, makin sukalah ia. Dan hal tersebut didapatkan Tono pada sosok Tini, yang merupakan gadis ratu pesta, menjadi bunga di kotanya. Jadilah Tono mengawini Tini tidak didasari cinta yang murni, tapi hanya untuk kesukaannya menundukkan seorang gadis flire-type. Sebaliknya Tini, ia mau diperistri Tono juga bukan bersebab cinta. Hatinya sudah sedingin es sejak ditinggalkan Hartono kekasihnya dulu. Ia hanya ingin menjadi "teman" saja. Ia tidak dapat menaruh cinta kepada Tono. Tini mau diperistri Tono sebab ia seorang dokter, memberi status yang tinggi kepadanya sebagai "Nyonya dokter".
Di sinilah tragik cerita yang rumit. Rumit sebab pasangan suami istri ini terus saja mengombang-ambingkan diri mereka sendiri, tidak saling terbuka guna menuai pelbagai harapan masing-masing. Tini sibuk dengan gagasan-gagasannya soal perempuan yang merdeka di zaman yang baru (hal ini juga yang agaknya membikin ia kelu mengutarakan kecemburuannya kepada Tono atas kesibukan pekerjaan dan lingkungan pergaulannya). Sementara Tono pun sangat sibuk dengan pekerjaannya, meski ternyata ia tidak berhenti memendam angan-angan tentang rumah, dengan harapan-harapannya akan istri yang "berlutut, membukakan tali sepatu" atau "menunggu suami dengan senyum yang murah di rumah".
Pembangunan cerita dilakukan pengarang dengan cukup dramatis. Hampir di sepanjang kisah memperlihatkan konflik dalam diri tokoh-tokohnya. Pengarang benar-benar mendedah detil benak tokoh-tokohnya dengan begitu telanjang dan sugestif. Sehingga, seolah pengarang hendak menyarankan pembaca agar ikut berpikir guna mengenali betul manusia-manusia yang tengah dibacanya, sehingga belenggu yang memang ada itu terindentifikasi dengan saksama.
Seperti Tono dan Yah yang bertemu sebagai kawan lama dan kemudian saling menambatkan hati, ternyata tidak menjadikan kedua tokoh ini lantas merasakan kebahagiaan sejati. Terlebih bagi Tono: belenggu itu tidak kunjung terlepas. Betapa pun sebenarnya ia sudah sampai berpikir: "...begitulah kita seperti dibelenggu oleh angan-angan...oleh angan-angannya sendiri..."

D.      Permasalahan yang Dialami Tokoh Terkait Prasangka Gender
Dua tokoh utama wanita dalam novel Belenggu mempunyai beberapa kesamaan sifat dan perilaku dengan sifat dan perilaku wanita dalam kehidupan nyata. Satu menginginkan hidup bebas tanpa ada kekangan dan yang satu menginginkan hidup lebih baik dengan orang yang dicintai, serta kedua tokoh tersebut berkeinginan untuk menentukan hidup mereka sendiri. Sumartini adalah seorang wanita modern yang mempunyai masa lalu yang kelam karena bebas bergaul. Dia selalu merana kesepian karena kesibukan suaminya yang tak kenal waktu dalam mengobati orang sakit sehingga melupakan dan membiarkannya dirumah seorang diri. Sedangkan Siti Rohayah adalah seorang wanita yang harus menjalankan kawin paksa. Dia merasa frustasi, sehingga terjerumus kelembah kenistaan. Dia teman dokter Sukartono, suami Sumartini, yang sebenarnya kekasihnya waktu muda.
Tono merasa tidak puas dengan istrinya, Tini. Kemudian dia mencari sosok wanita yang bisa membahagiakan dia dan berlaku seperti apa yang dia inginkan. Tono menemukan Yah (Ny. Eni) yang merupakan temannya waktu kecil sekaligus pasiennya. Mereka pun manjalin hubungan terlarang. Namun, pada akhirnya hubungan mereka diketahui oleh Tini dan keluarga mereka bercerai walaupun sebenarnya Tono tidak menginginkan hal itu. Tono pun ditinggalkan oleh Tini maupun Yah.
Dalam perkembangannya wanita tidak lagi dihadirkan sebagai korban kekuasaan kaum patriarkhi, tetapi dihadirkan sebagai wanita yang berhak dan bebas menentukan nasib atau masa depannya. Tini yang diharapkan Tono hadir sebagai ibu rumah tangga, ternyata gagal karena lebih memilih sebagai wanita karir, tidak mau dikalahkan kaum pria, dan tidak mau tergantung pada pria. Pada novel tersebut, gambaran wanita tidak lagi pesimis, yang digambarkan adalah wanita aktif, dinamis, optimis, sadar akan kondisi sosialnya, serta berani berjuang mendapat persamaan hak dengan kaum pria.

E.       Pandangan Pengarang dalam Cerita
Pandangan pengarang terhadap problematika dalam cerita menurut peneliti, pengarang berusaha menggugah pembaca tentang isi dalam novel tersebut. Pengarang ingin merubah mainset pemikiran pembaca bahwa tidak selamanya wanita hanya bisa menjadi ibu rumah tangga yang tugas sehari-harinya hanya mengurus keluarganya dirumah. Tetapi ia juga bisa menggantikan posisi seorang laki-laki, dimana selain menjadi ibu rumah tangga juga menjadi pekerja demi mencukupi kebutuhan keluarganya yang serba kekurangan.
Selain itu pengarang juga ingin menyadarkan pembaca bahwa tidak selamanya perasaan istri seharusnya diabaikan hanya karena emosi. Pengarang menyudutkan bagian cerita dimana tokoh utama Tini merasa bahwa ia masih membutuhkan sentuhan dan belaian dari sisi lembut suaminya di tengah-tengah kesibukannya sebagai dokter yang selalu sibuk mengurus pasien-pasiennya. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perasaan wanita yang kuat menahan rindu terhadap kemanjaan yang biasa diberikan oleh laki-lakinya dan masih banyak lagi problematika yang pengarang ceritakan berdasarkan sumber dari kehidupan nyata.



















BAB V
SIMPULAN DAN SARAN


A.           Kesimpulan
Novel Belenggu merupakan karya sastra mutakhir yang terbit menjadi karya sastra Pujangga Baru. Karya sastra ini menjadi karya yang diterima masyarakat karena ceritanya yang menarik hati para pembacanya. Selain itu, Armijn Pane sebagai pengarangnya mampu menuangkan ide-ide yang ingin disampaikan dengan baik dan diterima masyarakat.
Dalam Novel Belenggu, terdapat unsur instrinsik yang membangun cerita novel sehingga menjadi lebih menarik bagi pembacanya. Pembedahan unsur-unsur instrinisk dalam suatu karya sastra disebut dengan pendekatan struktural. Unsur-unsur tersebut meliputi tema, tokoh dan penokohan, plot atau alut, latar atau setting (tempat, waktu, dan suasana), dan sudut pandang. Semua unsur-unsur instrinsik tersebut saling mendukung untuk menyampaikan cerita dalam suatu karya sastra.
Novel belenggu merupakan novel angkatan pujangga baru dan memiliki hipogram atau interteks dengan angkatan sesudahnya. Inferioritas perempuan (istri) kepada laki-laki (suami) walaupun kurang mewarnai novel belenggu yang disebabkan unsur modernitas, namun unsur tersebut tidak secara mutlak dan masih diwarnai dengan unsur tradisional atau adat istiadat. Unsur tradisional dialami oleh tokoh Yah yang dipaksa kawin oleh orang tuanya. Yah kawin dengan orang yang tidak dicintainya dan pada akhirnya berujung pada percerai. Setelah berpisah dengan suaminya, Yah tergelincir pada lembah hitam yaitu selalu berada pada tempat-tempat diskotik, remang, remang, bar dan lain sebagainya. 
 Teks yang menyebutkan bahwa menyenangkan dan melayani suami sekaligus sifat kepatuhan dan ketundukan istri kepada suaminya adalah tugas dan kewajiban istri. Hal ini digambarkan pada tokoh Tono (suami) menghendaki Tini (istri) sebagai perempuan yang tahu hak dan kewajibannya dalam rumah tangga. Perempuan yang tetap menyayangi suaminya, mencintainya dengan tidak merasa sebagai budak. Namun, yang diinginkan tersebut tidak ada pada tokoh Tini dan yang diinginkan Kartono adalah perempuan seperti Yah. Oleh karena itu, Tono menjadi tentram di rumah Yah, karena Yah menyambutnya dengan penuh cinta dan kasih sayang, melebihi istri sendiri. Yah mengerti kesukaan "suami", menanggalkan baju dokternya, melepas sepatunya dan diganti dengan sandal rumah.
Dalam hal penganalisisan karya sastra genre feminis merupakan kisah tentang peran wanita kebanyakan pada era modern seperti saat ini. Di mana peran laki-laki yang lebih dominan dilakukan oleh seorang wanita. Dan di mana sang pengarang dengan jelas menceritakan tentang perasaan batin seorang wanita disaat ia kehilangan peran aslinya yaitu sebagai istri dalam keluarganya. Dan bukan hal yang lumrah lagi pada novel belenggu, karena setiap kejadian demi kejadian, serta konflik demi konflik merupakan hal-hal kejadian nyata yang dialami oleh wanita pada umumnya khususnya untuk wanita karir yang sudah berumah tangga seperti yang dialami toko Tini. Terlebih tidak adanya komunikasi antar keduanya yang dapat mengakibatkan prasangka hingga menimbulkan konflik yang berkepanjangan.
Dari sekian hal yang telah peneliti analisis dapat disimpulkan bahwa novel ini termasuk kedalam novel feminis, karena mengandung problematik-problematik yang berhubungan dengan wanita. Di mana tokoh utama wanita Tini mengalami konflik fisik maupun batin terhadap rumah tangganya. Dan apa yang dilakukan oleh Tini, apa yang dirasakan Tini juga banyak terjadi pada wanita-wanita di zaman serba modern.
Membaca novel belenggu sama halnya membaca kemungkinan sebuah sisi manusia, yakni manusia dengan belenggunya sendiri. Jelas di sini bahwa ketidaksalingmengertianlah yang menerbitkan belenggu itu muncul menjadi perkara utama yang mendorong tokoh-tokoh tersebut menemukan dirinya sebagai karakter yang problematis. Novel Belenggu mengemukakan pertentangan tua dan muda yakni pertentangan tokoh dalam kedudukan yang masih terpengaruh oleh tradisi lama, dan terkadang sebagai pengambil tradisi baru. Demikian halnya tokoh Yah, dalam satu hal orang yang menentang tradisi lama.

B.       Saran
Berdasarkan hasil penelitian, pembahasan, dan simpulan dapat diajukan saran-saran sebagai berikut:
Bagi seluruh elemen masyarakat, khususnya para pencinta sastra dalam hal ini novel, diharapkan dapat melakukan telah terhadap novel-novel yang lain secara mendalam agar dapat menemukan berbagai misteri kehidupan di masyarakat. Cukup banyak misteri kehidupan di masyarakat yang sampai saat ini belum ditemukan jawaban. Untuk hal tersebut dapat dilakukan melalui penelitian sastra secara mendalam.
Bagi stakeholder, diharapkan adanya dukungan terhadap hasil penelitian karena tahapan yang harus dilalui memerlukan waktu, berbagai sumber untuk menemukan misteri dalam kehidupan. Semakin banyak membaca buku terkait dengan kegiatan analisis, maka semakin mudah untuk mendapatkan jawaban terhadap misteri yang terdapat dalam karya sastra.
Bagi sekolah-sekolah di Lubuklinggau,  diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi bahan ajar yang bermanfaat serta menjawab misteeri kehidupan yang ada pada kehidupan siswa. Berdasarkan data di lapangan, menunjukkan bahwa kemampuan siswa untuk memahami sastra perlu dilakukan perbaikan, sebaiknya guru mengajarkan bahasa.
Bagi guru, sebaiknya guru dalam melaksanakan pembelajaran apresiasi sastra mampu mengintegrasikan nilai-nilai sosial di masyarakat agar siswa dapat menemukan misteri kehidupannya.







DAFTAR PUSTAKA

Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: CAPS.
-------------.2013. Teori Kritik Sastra. Jakarta: Buku Seru.
Fananie, Zainuddin. 2000. Talaah Sastra. Surakarta: Muhamadiyah University Press.

Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Pane, Armijn. 2008. Belenggu. Jakarta: Dian Rakyat.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2002. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Gama Media.

---------------------. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Wiyatmi. 2009. Pengantar Kajian sastra. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.
Fakih, Mansour. 2001. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 

Junus, Umar. 1983. Dari Peristiwa Ke Imajinasi: Wajah Sastra dan Budaya Indonesia. Jakarta: PT Gramedia. 

Sugihastuti, dan Suhartono. 2002. Kritik Sastra Feminis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.














1 komentar:

  1. JSMH | Casino - JSMH
    JSMH | Casino. 강릉 출장안마 JSMH. 김제 출장안마 JSMH. CASINO. CASINO. 서귀포 출장마사지 JSMH. JSMH. CASINO. CASINO. JSMH. CASINO. 정읍 출장마사지 JSMH. 인천광역 출장마사지 CASINO. JSMH. CASINO. JSMH.

    BalasHapus