BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Karya sastra adalah
salah satu jenis hasil budidaya masyarakat yang dinyatakan dengan bahasa, baik
lisan maupun tulis yang mengandung keindahan. Karya sastra diciptakan pengarang
untuk dinikmati, dipahami, dihayati, dan dimanfaatkan oleh masyarakat
pembacanya. Karya sastra seperti diakui banyak orang merupakan suatu bentuk
komunikasi yang disampaikan dengan cara yang khas dan menolak segala sesuatu
yang serba rutinitas dengan memberikan kebebasan kepada pengarang untuk
menuangkan kreativitas imajinasinya. Hal ini menyebabkan karya sastra menjadi
lain, tidak lazim, namun juga kompleks sehingga memiliki berbagai kemungkinan
penafsiran dan sekaligus menyebabkan pembaca menjadi terbata-bata berkomunikasi
dengannya. Berawal dari inilah kemudian muncul berbagai teori untuk mengkaji
karya sastra termasuk karya sastra novel.
Novel merupakan salah
satu jenis karya sastra prosa yang mengungkapkan sesuatu secara luas. Berbagai
kejadian di dalam kehidupan yang dialami oleh tokoh cerita merupakan gejala
kejiwaan. Novel merupakan sebuah struktur organisme yang kompleks, unik, dan
mengungkapkan sesuatu secara tidak langsung. Hal inilah yang menyebabkan
sulitnya pembaca menafsirkan sebuah novel, dan untuk keperluan tersebut dibutuhkan
suatu upaya untuk menjelaskannya disertai bukti-bukti hasil kerja kajian yang
dihasilkan.
Manfaat yang akan
terasa dari hasil kajian tersebut apabila pembaca membaca ulang karya sastra
yang dikajinya, pembaca akan merasakan adanya sesuatu yang baru yang terdapat
dalam karya sastra. Pembaruan tersebut sebagai akibat kekompleksitasan karya
yang bersangkutan sehingga sesuatu yang dihadapi dapat ditentukan. Dengan
demikian, pembaca akan lebih menikmati dan memahami cerita, tema, pesan-pesan,
tokoh, gaya bahasa, dan hal-hal lain yang diungkapkan dalam karya sastra
(Nurgiyantoro, 1995:32).
Karya sastra yang
dijadikan objek penelitian ini adalah novel Belenggu karya Amijn Pane. Dengan
alasan bahwa novel tersebut penggambaran tokoh-tokoh wanita hampir sama dengan
tokoh dalam kehidupan nyata. Tokoh wanita dalam novel ini digambarkan sebagai
wanita yang ingin menjadi dirinya sendiri dan ingin menentukan masa depannya
sendiri. Dua tokoh utama wanita dalam novel Belenggu mempunyai beberapa
kesamaan sifat dan perilaku dengan sifat dan perilaku wanita dalam kehidupan
nyata. Satu menginginkan hidup bebas tanpa ada kekangan dan yang satu
menginginkan hidup lebih baik dengan orang yang dicintai, serta kedua tokoh
tersebut berkeinginan untuk menentukan hidup mereka sendiri.
Novel Belenggu
mempunyai daya tarik tersendiri karena menampilkan permasalahan perempuan yang
berkaitan dengan pandangan masyarakat pada tahun 1940-an yang secara tidak
langsung merugikan kaum perempuan. Padangan tersebut berasal dari paham
masyarakat yang menganggap kekuasaan sepenuhnya berada di tangan laki-laki.
Topik mengenai perempuan, terutama yang membahas masalah gender beserta
bias-biasnya adalah hal yang tetap menarik untuk dibicarakan sampai saat ini.
Kalangan perempuan yang telah mengenyam pendidikan modern merasa perlu dan
berhak untuk menyuarakan ketidakadilan yang dialaminya. Sedangkan adat dan
tradisi yang telah mengakar menganggap pemikiran ini bisa menghancurkan tatanan
yang selama ini telah dinilai berjalan baik. Novel Belenggu ditulis di era
1940-an ketika arus pemikiran tidak progresif seperti masa kini, mampu
mengungkap tema tersebut hingga menjadi sebuah pendekatan di antara kalangan
sastrawan sendiri.
Secara feminisme, baik
sebagai ide maupun aksi politik akan memiliki pengaruh kepada dua jenis kelamin
(gender) yang ada, yakni di satu sisi akan memberikan banyak keuntungan kepada
perempuan dan di sisi yang lain, akan mensyaratkan laki-laki untuk menyerahkan
berbagai hak-hak istimewa yang mereka miliki selama ini. Dengan demikian,
laki-laki yang menyatakan dirinya sebagai feminis akan menimbulkan kecurigaan
dari laki-laki dan perempuan pada umumnya. Ada kata lain yang digunakan yakni
meninis (meninist) atau yang kelihatannya lebih moderat adalah laki-laki
profeminis.
Dalam perkembangannya
wanita tidak lagi dihadirkan sebagai korban kekuasaan kaum patriarkhi, tetapi
dihadirkan sebagai wanita yang berhak dan bebas menentukan nasib atau masa
depannya (seperti dalam Belenggu). Tini yang diharapkan Tono hadir sebagai ibu
rumah tangga, ternyata gagal karena lebih memilih sebagai wanita karir, tidak
mau dikalahkan kaum pria, dan tidak mau tergantung pada pria. Pada novel
tersebut, gambaran wanita tidak lagi pesimis melainkan wanita aktif, dinamis,
optimis, sadar akan kondisi sosialnya, serta berani berjuang mendapat persamaan
hak dengan kaum pria.
Permasalahan yang
dihadapi oleh wanita terutama yang menyangkut emansipasi wanita ini merupakan
kenyataan sosial yang dihadapi oleh wanita tidak hanya di Indonesia tapi juga
di seluruh dunia. Dari kenyataan sosial yang dihadapi manusia khususnya wanita
memberikan ilham kepada sastrawan untuk menuangkannya ke dalam karya sastra
yang akan dibuatnya. Karya sastra ini merupakan buah pikiran seorang pengarang yang
bersumber dari pengalaman hidupnya sendiri maupun orang lain.
Berbicara tentang
wanita, dalam sebuah karya sastra wanita sudah sejak lama menjadi pusat
perhatian para pujangga. Bahkan, tradisi penulisan novel di dalam dunia sastra
Indonesia diawali dengan tokoh utama wanita melalui novel Azab dan Sengsara
karya Merari Siregar. Novel tersebut kemudian disusul oleh sebuah novel yang
judulnya berupa nama wanita yaitu Siti Nurbaya oleh Marah Rusli. Novel ini
dalam perkembangan selanjutnya seolah-olah menjadi mitos perjuangan wanita
Indonesia. Demikian juga novel Salah Asuhan, Salah Pilih, Layar Terkembang, dan
Belenggu.
Dari beberapa fiksi
yang memuat masalah emansipasi, Belenggu merupakan salah satu novel yang cukup
menarik untuk diteliti. Hal ini dikarenakan novel ini merupakan novel yang
pernah ditolak oleh Balai Pustaka. Kemudian adanya asumsi dalam masyarakat pada
masa itu bahwa seseorang yang berpendidikan tinggi tidak akan mengalami
kegagalan dalam membina rumah tangga. Akan tetapi, Armijn membalikkan asumsi
tersebut dengan menceritakan apa yang terjadi pada pasangan dokter Sukartono
dan Sumartini, yang keharmonisan rumah tangga mereka akhirnya kandas. Pandangan
Armijn yang meletakkan perempuan mampu tampil di sektor publik dan tidak hanya
bekerja di lingkungan rumah tangga saja. Pandangan tersebut sangat bertentangan
dengan konvensi masyarakat yang menempatkan posisi perempuan sebagai orang yang
lemah dan tidak pantas menempati posisi sosial di atas laki-laki.
Berdasarkan hal di
atas, dalam penelitian ini penulis tertarik untuk meneliti sifat dan perilaku
tokoh-tokoh utama wanita dari perspektif feminisme kemudian dihubungkan dengan
realita kehidupan di alam nyata melalui pendekatan mimetik yang sebelumnya
dianalisis dengan pendekatan objektif.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimanakah struktur novel belenggu
karya Armij Pane?
2.
Unsur-unsur apa sajakah yang digunakan
untuk menonjolkan ide emansipasi perempuan dan feminisme?
3.
Masalah apa sajakah yang disoroti oleh
tokoh belenggu, sehubungan dengan adanya prasangka gender yang hidup dalam
masyarakatnya?
4.
Bagaimanakah pandangan pengarang dalam cerita novel Belenggu?
C.
Tujuan
Penelitian
Dalam
penelitian ini memiliki dua tujuan yaitu tujuan secara teoristis dan praktis.
Tujuan secara teoritis ialah untuk mengetahui nilai-nilai estetik unsur-unsur
novel terutama masalah tema, alur, latar, tokoh dan penokohan, pusat pengisahan
dan gaya bahasa. Diketahaui bahwa antara unsur yang satu dengan unsur yang lain
memiliki hubungan yang saling mendukung seperti organ tubuh yang saling
mendukung dan saling melengkapi serta tidak dapat dihilangkan salah satunya.
Analisis novel diharapkan dapat menilai bobot estetik dan kekompakan hubungan
unsur-unsur tersebut dengan masalah
prasangka gender dan emansipasi perempuan. Masalah dalam novel tidak berdiri
sendiri, tetapi terintegrasi dengan unsr-unsur yang lain.
Adapun
tujuan praktis dalam penelitian ini adalah menerangkan kepada masyarakat luas
bahwa novel belenggu mengemukakan masalah prasangka gender dan emansipasi perempuan
yang diwujudkan dengan keinginan untuk menyejajarkan kedudukan laki-laki dan
perempuan, keinginan untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dalam
keluarga dan masyarakat, dan pemberontakan terhadap adat yang mengokohkan
subordinasi perempuan. Masyarakat peminat sastra diharapkan mengetahui bahwa
tuntutan persamaan hak dan kewajiban antara perempuan dan laki-laki yang
dikemukakan oleh tokoh-tokoh novel belenggu serupa dengan gerakan feminisme.
D.
Kegunaan
Penelitian
Penelitian yang dilakukan dengan pendekatan
persepektif kritik feminis memiliki kegunaan sebagai berikut:
1.
Menggali, mengembangkan, melestarikan, serta memperkaya pengetahuan
sastra khususnya novel.
2.
Memberikan masukan tentang teori dan
penerapan kajian kritik sastra feminis kepada pencinta sastra sehingga dapat
menganalisis novel secara lebih objektif dan sistematis.
3.
Menjembatani penelitian lain tentang
kajian kritik sastra feminis bagi mahasiswa program studi pendidikan bahasa
Indonesia dan menjadi sarana untuk berlatih, belajar, dan menambah wawasan ilmu
pengetahuan khsususnya pada bidang ilmu sastra.
4.
Secara teoritis penelitian ini dapat memperkaya
teori-teori tentang kajian kritik sastra feminis yang hingga
saat ini jarang diminati oleh peneliti-peneliti lain.
BAB
II
KAJIAN
TEORI
A.
Kritik
Sastra Feminis
Secara etimologis feminis berasal dari kata femme (woman), berarti perempuan yang bertujuan untuk
memperjuangkan hak-hak kaum perempuan (jamak), sebagai kelas sosial. Tujuan
feminis adalah keseimbangan, interelasi gender. Dalam pengertian yang lebih
luas, feminis adalah gerakan kaum wanita untuk menolak segala sesuatu yang
dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan dominan,
baik dalam bidang politik dan ekonomi maupun kehidupan sosial pada umumnya.
Arti sederhana kajian sastra feminis
adalah pengkaji memandang sastra dengan kesadaran khusus, kesadaran bahwa ada
jenis kelamin yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra, dan kehidupan
kita. Jenis kelamin inilah yang membuat perbedaan di antara semuanya yang juga
membuat perbedaan pada diri pengarang, pembaca, perwatakan, dan pada faktor
luar yang mempengaruhi situasi karang-mengarang (Sugihastuti, 2005: 5).
Pada
hakikatnya kritik sastra feminisme merupakan salah satu disiplin ilmu kritik
sastra yang lahir sebagai respon atas berkembang luasnya feminisme di berbagai
penjuru di dunia. Feminis merupakan gerakan kaum perempuan yang menuntut
persamaan hak sepenuhnya antara kaum perempua dan laki-laki. Persamaan hak
tersebut meliputi semua aspek kehidupan, baik dalam bidang politik, ekonomi,
maupun sosial budaya. Dengan kata lain, feminisme merupakan gerakan kaum
perempuan untuk memperoleh otonomi atau kebebasan menentukan dirinya sendiri.
Kemunculan
feminisme diawali dengan gerakan emansipasi perempuan yaitu proses pelepasan
diri kaum perempuan dari kedudukan sosial ekonomi yang rendah serta pengekangan
hukum yang membatasi kemungkinan-kemungkanan untuk berkembang dan maju. Fakih
(dikutip Sugihastuti, 2002:62) mengatakan bahwa feminisme bukanlah sebagai
upaya pemberontakan terhadap laki-laki, serta upaya melawan pranata sosial
seperti institusi rumah tangga dan perkawinan dan untuk mengingkari kodratnya,
melainkan sebagai upaya untuk mengakhiri penindasan dan eksploitasi perempuan.
Pada
hakikatnya sasaran feminisme bukan hanya sekedar masalah gender, melainkan
masalah “kemanusiaan” atau memperjuangkan hak-hak kemanusiaan. Gerakan
feminisme merupakan gerakan perjuangan dalam rangka mentransformasi sistem dan
struktur sosial yang tidak adil menuju keadilan bagi kaum laki-laki dan
perempuan.
Kritik
sastra feminis diharapkan mampu membuka pandangan-pandangan baru terutama
berkaitan dengan bagaimana karakter-karakter perempuan diwakili dalam sastra.
Selain itu, bagaimana perempuan digambarkan dan bagaimana potensi yang dimiliki
perempuan di tengah kekuasaan patriarkhi dalam karya sastra. Kritik sastra
feminis memiliki tujuan politik yang terang-terangan dan tidak hanya merupakan
tindakan yang melawan proses dekonstruksi. Meskipun secara umum, agenda
feminisme adalah menciptakan dunia yang adil menganalisis mengapa dan bagaimana
kaum perempuan tertindas. Apa yang disebut dengan feminisme gelombang kedua
tidak merupakan suatu gerakan yang homogen, tetapi terbagi dalam tiga golongan
besar, yakni feminisme radikal, liberal, dan sosialis.
Kelompok feminisme
radikal berpandangan bahwa penindasan perempuan berasal dari penempatan
terhadap perempuan ke dalam kelas inferior dibandingkan dengan kelas laki-laki sebagai
superior. Feminisme radikal bertujuan menghancurkan system kelas jenis kelamin.
Ia memfokuskan pada akar dominasi laki-laki dan klaim bahwa semua bentuk
penindasan adalah perpanjangan dari supremasi (keunggulan) pada laki-laki.
Patriarkhi adalah karakteristik yang ada dalam masyarakat. Ia berkeyakinan
bahwa persoalan politik dan keterpusatan pada perempuan bias menjadi basis
masyarakat di masa depan.
Sistem peran laki-laki
dan perempuan yang secara politik menindas merupakan model asli dari semua
penindasan. Masalah-masalah tertentu menempatkan feminisme radikal berbeda
dengan perspektif feminis lainnya, terutama pandangan sosialis, yang akan sentralitas
kelas dan pandangan perempuan kulit hitam akan sentralitas ras.
Berbeda dengan pendapat Mitchell (Sugihastuti,
2003:43), mengkritik Firestone secara khusus dari feminisme radikal pada
umumnya tidak berbicara mengenai penindasan perempuan dalam cara tertentu
secara historis. Hal ini dikarenakan feminis radikal berkaitan dengan
seksualitas dan sosialisasi pekerja. Dengan memfokuskan pada kesadaran dan
budaya di satu sisi dan ketidaksadaran di sisi lain, feminis radikal menganalis
struktur psikis, seksual, dan ideologis yang membedakan kedua jenis kelamin
dalam kaitannya dengan ketidaksetaraan jender.
Kaum feminis radikal beranggapan bahwa struktur masyarakat
berlandaskan pada relasi hirarkis berdasarkan jenis kelamin. Laki-laki sebagai
suatu kategori social mendominasi kaum perempuan sebagai kategori social yang
lain, karena kaum laki-laki diuntungkan dengan adanya subordinasi perempuan.
Menurut aliran feminis radikal, dominasi laki-laki itu merupakan model
konseptual yang biasa menjelaskan berbagai bentuk penindasan yang lain.
Kaum feminisme radikal terutama menyoroti dua konsep utama, yaitu
patriarkhi dan seksualitas. Bagi kaum radikal, ideology patriarkhi
mendefinisikan perempuan sebagai kategori social yang fungsi khususnya untuk
memuaskan dorongan seksual kaum laki-laki, untuk melahirkan, dan mengasuh anak.
Patriarkhi tidak hanya memaksa kaum perempuan menjadi ibu mereka (anak-anak).
Beberapa feminis radikal memuja atribut biologis perempuan sumber keunggulan
daripada inferioritas (kerendahan). Setiap alasan yang ekstrem (perbedaan yang
besar) bagi kodrat khusus perempuan menimbulkan resiko sampai dengan jalan yang
berbeda dalam kedudukan yang sama dikuasai oleh sifat patriotik yang
berlebihan bagi laki-laki.
Berdasarkan pemikiran itulah, Ramazanoglu (Junus, 2001:67),
mengupayakan pembenaran rasional gerakannya dengan mengungkapkan fakta bahwa
laki-laki merupakan masalah bagi perempuan. Laki-laki selalu mengeksploitasi
fungsi reproduksi perempuan dengan berbagai dalih argument. Ketertindasan
perempuan berlangsung cukup lama dan dinilai sebagai bentuk penindasan
yang sangat panjang di belahan dunia.
Penindasan ras, perbudakan, dan warna kulit dapat segera dihentikan dengan
resolusi (peraturan), tetapi pemerasan secara seksual sangat susah dihentikan,
dan diperlukan gerakan yang lebih mendasar.
Sementara itu, dipertegas oleh Jaggar (Fakih,
2001:85) para penganut feminisme radikal tidak melihat adanya perbedaan antara
tujuan individu dan politik, unsure-unsur seksual (biologis). Dalam melakukan
analisis tentang penyebab penindasan
terhadap perempuan, mereka menganggapnya akar dari jenis kelamin laki-laki
beserta ideology patriarkhinya. Dengan demikian, kaum laki-laki secara biologis
maupun politis adalah bagian dari permasalahan. Selanjutnya, menurut Eisenstein
(Fakih, 2001:85), bagi mereka patriarkhi merupakan dasar dari ideology
penindasan yang merupakan system hierarki seksual di mana laki-laki memiliki
kekuatan superior dan hak istimewa ekonomi.
Adapun feminisme
liberal merupakan salah satu arus utama teori social dan politik feminis yang
mempunyai sejarah jangka waktu paling lama. Feminisme liberal kontemporer
menyepakati optimismenya bahwa akar dari penindasan perempuan terletak pada
ada-tidaknya hak sipil dan peluang pendidikan yang sama. Inti dari keyakinan
feminis liberal mengenal seksualitas, yang merupakan pandangan bahwa kehidupan
pribadi seseorang tidak harus menjadi obyek peraturan masyarakat.
Dasar pemikiran kelompok feminisme liberal
adalah semua manusia, laki-laki dan perempuan diciptakan seimbang dan serasi
yang seharusnya tidak terjadi penindasan antara satu dengan lainnya. Kelompok
ini diinspirasi oleh prinsip-prinsip pencerahan bahwa laki-laki dan perempuan
sama-sama mempunyai kekhususan tersendiri. Kedua-keduanya sama, hak-hak
laki-laki dengan sendirinya juga menjadi hak perempuan. Kelompok ini tetap
menolak persamaan secara menyeluruh antara laki-laki dan perempuan. Dalam
beberapa hal, terutama yang berhubungan dengan fungsi reproduksi, aliran ini
masih tetap memandang perlu adanya pembebasan antara laki-laki dan perempuan.
Kelompok feminisme liberal termasuk kelompok paling moderat yang
membenarkan perempuan bekerja bersama laki-laki, yang menghendaki agar
perempuan diintegrasikan secara total di dalam semua peran, termasuk bekerja di
rumah-rumah. Dengan demikian, tidak ada lagi suatu kelompok jenis kelamin yang
lebih dominan. Kelompok ini beranggapan tidak harus dilakukan perubahan
struktur secara totalitas, tetapi hanya melibatkan pserempuan di dalam berbagai
peran, seperti: sosial, ekonomi, dan politik. Berhubungan dengan peran
perempuan mengenai organ reproduksi bukan merupakan penghalang terhadap
peran-peran tersebut.
Pemikiran feminisme
liberal muncul sebagai kritik terhadap teori politik liberal, yang umumnya
menjunjung tinggi nilai otonomi, persamaan, nilai moral, dan kebebasan
individu. Namun, pada saat yang sama dianggap mendeskriminasikan kaum
perempuan. Masalah perempuan tidak dilihat struktur dan system sebagai pokok
persoalan. Asumsi feminis liberal berakar pada pandangan bahwa kebebasan (freedom) dan kesamaan (equality)
berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat (individu) dan
publik (umum). Kerangka kerja feminis liberal dalam memperjuangkan persoalan
masyarakat tertuju pada hak mendapatkan kesempatan, hak yang sama bagi setiap
individu, termasuk hukum bagi perempuan (Junus, 2001:81).
Sejak awal, persoalan
perempuan dianggap sebagai masalah bagi perekonomian modern atau partisipasi
politik dan pembangunan. Keterbelakangan kaum perempuan, selain akibat dari
sikap irasional yang bersumber pada nilai-nilai tradisional kaum perempuan
tidak berpartisipasi dalam pembangunan. Oleh karena itu, keterlibatan kaum
perempuan dalam industrialisasi dan program pembanguan dianggap sebagai jalan
untuk meningkatkan status perempuan.
Berkaitan dengan
pandangan kaum feminis sosial, mereka percaya bahwa perempuan adalah penduduk
kelas dua masyarakat kapitalis patriarkhi, yang menggantungkan keberlangsungan
hidupnya kepada eksploitasi orang-orang dari perempuan pekerja. Aliran feminis mengajak
untuk mentransformasikan bukan hanya kepemilikan alat-alat produksi. Namun,
pengalaman social merupakan akar dari penindasan perempuan, yang terletak pada
system ekonomi kapitalisme secara total.
Kaum feminis sosial (marxis) berupaya menghilangkan struktur kelas
dalam masyarakat berdasarkan jenis kelamin dengan melontarkan isu bahwa
ketimpangan peran antara kedua jenis kelamin itu, sesungguhnya lebih disebabkan
oleh faktor budaya alam. Aliran kritik feminis di dalamnya para teolog menolak
anggapan tradisional bahwa status perempuan lebih rendah daripada laki-laki,
karena faktor biologis dan latar belakang sejarah (Junus, 2001:65).
Kelompok ini menganggap posisi inferior perempuan berkaitan dengan
struktur kelas dan keluarga dalam masyarakat kapitalis. Feminis social
berpendapat bahwa ketimpangan jender di dalam masyarakat adalah akibat
penerapan sistem kapitalis yang mendukung terjadinya tenaga kerja tanpa upah
bagi perempuan di dalam lingkungan rumah tangga. Istri mempunyai ketergantungan
lebih tinggi daripada suami, begitu juga sebaliknya. Senantiasa, perempuan
mencemaskan keamanan ekonominya, karena mereka menggantungkan diri pada
kekuasaan suami.
Struktur ekonomi atau
kelas di dalam masyarakat memberikan pengaruh efektif terhadap status
perempuan, karena untuk mengangkat harkat dan martabat perempuan supaya
seimbang dengan laki-laki, diperlukan peninjauan kembali structural secara
mendasar, terutama dengan menghapus pengkotak-kotakan (dikotomi) pekerjaan
sektor domestik (biasanya untuk perempuan) dan sektor publik (biasanya untuk
laki-laki). Dengan demikian, feminis liberal menentang pandangan biologis.
Kunci penghapusan deskriminasi dan ketimpangan social atas dasar perbedaan
terutama terletak pada pendidikan (formal dan nonformal) dan pembukaan
kesempatan kerja.
B.
Tokoh-Tokoh
Feminisme
Saraswati
(2003:158) mengatakan bahwa terdapat tokoh-tokoh feminisme yang berpengaruh
dalam wacana feminisme di antaranya Simone de Beauvoir, Betty Friedan, Germaine
Greer, dan Kate Millet.
1.
Simone
de Beauvoir
Simone
de Beauvoir dalam The Second Sex, menetapkan
dengan sangat jelas masalah dasar feminisme modern. Bila seorang wanita mencoba
membatasi dirinya sendiri, ia mulai dengan berkata “saya seorang perempuan”.
Kenyataan ini mengungkapkan ketaksimetrisan dasar antara istilah “maskulin” dan
“feminim”. Orang laki-laki membatasi manusia bukan perempuan. Wanita terikat
dalam suatu hubungan berat sebelah dengan lak-laki. Laki- laki adalah yang
satu, sementara perempuan adalah yang lain. Kekuasaan laki-laki telah
menyelamatkan suatu iklim pemenuhan idiologis “Para wakil rakyat, pendeta, ahli
filsafat, penulis dan ahli ilmu pengetahuan telah berusaha menunjukan bahwa
kedudukan rendah diinginkan di surga dan bermanfaat di bumi”. Menurut De
Beauvoir wanita telah dibuat lebih rendah menurut kodratnya. Gagasan abstrak
tentang persamaan hanya permainan bibir, tetapi desakan untuk persamaan yang
nyata biasanya akan ditentang. Para wanita sendiri bukan para laki-laki yang
simpatik, dalam posisi terbaik untuk menilai kemungkinan-kemungkinan
eksistensial kewanitaan.
2.
Betty
Friedan
Dalam
bukunya The Feminisme Mytique, Betty
Fredan mengatakan bahwa perempuan adalah kaum yang pasif atas bentuk kebudayaan
yang tetap sebagaimana anggapan feminisme oleh kaum patriakat.
Kekuatan-kekuatan yang mendeskripsikan perempuan, antara lain pada lapangan
pendidikan, ketenagakerjaan, agama, perempuan miskin dan malang, gambaran perempuan
dalam media massa, hak-hak politik perempuan dan keluarga.
3.
Germaine
Greer
Gagasan
Germaine Greer ada kesamaan dengan gagasan Freidan. Keduanya menolak untuk
membedakan gambaran, tetapi menyatukannya dalam pendekatan yang tidak berkelas.
Greer memperkirakan ada bentrokan dalam paham feminis, ramalan emansipasi
wanita akan selalu menjadi teoritis, mudah dibaca dan pragmatis.
4.
Kate
Millet dan Michele Barret’ Feminis Politis
Suatu
tingkatan penting dalam feminisme modern dicapai oleh Kate Millet dalam bukunya Sexusal Politics (1970). Ia mempergunakan istilah “patriakhi” untuk
menguraikan sebab penindasan wanita. Patriakhi meletakan perempuan di bawah
laki-laki atau memperlakukan perempuan sebagai laki-laki yang inferior.
Kekuatan digunakan secara langsung atau tidak langsung dalam kehidupan sipil
dan rumah tangga untuk membatasi wanita. Meskipun ada kemajuan demokrasi,
menurutnya wanita masih terus dikuasai.
C.
Jenis-jenis
Kritik Sastra Feminis
Berikut
merupakan jenis-jenis kritik sastra feminis yang berkembang di masyarakat.
1.
Kritik
idiologis
Kritik
sastra feminis idiologis melibatkan wanita, khususnya kaum feminis sebagai
pembaca. Sementara yang menjadi pusat perhatian pembaca adalah citra serta
stereotipe seorang wanita dalam karya sastra. Kritik ini juga meniliti
kesalahpahaman dan sebab-sebab mengapa wanita sering tidak diperhitungkan
bahkan nyaris diabaikan.
2.
Kritik
yang mengkaji penulis-penulis wanita
Dalam
ragam ini termasuk penelitian tentang sejarah karya sastra wanita, gaya
penulisan, tema, genre, dan struktur penulis wanita. Di samping itu dikaji pula
kreativitas penulis wanita, profesi penulis wanita sebagai perkumpulan, serta
perkembangan dan peraturan tradisi penulis wanita.
3.
Kritik
sastra feminis sosialis
Kritik
ini meneliti tokoh-tokoh wanita dari sudut pandang sosialis, yaitu kelas-kelas
masyarakat. Pengkritik feminis mencoba mengungkapkan bahwa kaum wanita merupakan
kelas masyarakat yang tertindas.
4.
Kritik
sastra feminis psikoanalistik
Kritik
ini dipusatkan pada tulisan-tulisan wanita, karena feminis percaya bahwa
pembaca wanita biasanya mengidentifikasikan dirinya dengan atau menempatkan
dirinya pada si tokoh wanita, sedang tokoh wanita tersebut pada umumnya
merupakan cermin penciptanya.
5.
Kritik
feminis lesbian
Jenis
kritik ini hanya meneliti penulis dan tokoh wanita saja. Ragam kritik ini
sangat terbatas karena beberapa faktor: kaum feminis kurang menyukai kelompok
wanita homoseksual, kurangnya jurnal-jurnal wanita yang menulis lesbianisme,
kaum lesbian sendiri belum mencapai kesepakatan tentang definisi lesbianisme,
kaum lesbian banyak menggunakan bahasa terselubung. Pada intinya tujuan kritik
sastra feminis lesbian adalah pertama-tama mengembangkan suatu definisi yang
cermat tentang lesbian. Kemudian pengkritik sastra lesbian akan menentukan
apakah definisi ini dapat diterapkan pada diri penulis atau pada teks sastra.
6.
Kritik
feminis ras atau ethik
Kritik
ini berusaha mendapatkan pengakuan bagi penulis etnik dan karyanya, baik dalam
kajian wanita maupun dalam kajian sastra tradisional dan sastra feminis. Kritik
ini beranjak dari diskriminasi ras yang dialami kaum wanita yang berkulit
selain putih di Amerika.
D.
Perkawinan
dalam Perspektif Feminis
Dalam
pandangan feminis, perkawinan selalu berbeda jika dilihat dari sudut pandang
laki-laki dan perempuan. Dua jenis kelamin tersebut saling membutuhkan, tetapi
kebutuhan mereka tidak pernah membawa kondisi timbal balik antara keduanya.
Perempuan tidak pernah menciptakan kasta dengan membuat pertukaran dan kontrak
dengan kasta laki-laki yang mendasarkan diri pada kesetaraan. Secara sosial
laki-laki adalah mahluk independen dan individu yang komplet. Laki-laki selalu
dianggap sebagai “manusia super” yang eksistensinya yang kadang-kadang
ditunjukan dengan kekuasaan. Sebaliknya, sebagai mahluk dengan stigma lemah
perempuan menyatu dalam keluarga yang didominasi oleh para ayah dan saudara
laki-laki, dan dalam perkawinan perempuan selalu menjadi pihak yang diberikan
oleh beberapa laki-laki kepada laki-laki lain.
Perkawinan
merupakan satu-satunya sarana untuk mendapatkan dukungan dan pembuktian diri
terhadap eksistensinya. Menurut De Beauvoir perempuan harus memberikan
keturunan dalam masyarakat dan perempuan juga harus memenuhi kebutuhan seks
laki-laki (suami) sekaligus mengurusi segala kebutuhan suaminya. Oleh
masyarakat, kewajiban-kewajiban ini diserahkan kepada perempuan dan dihargai
sebagai pelayan khusus yang diberikan kepada pasangannya. Sebagai ganti mereka
harus memberi nafkah atau kepuasan dalam perkawinan.
Oleh karena itu poligami masih kurang lebih
selalu menjadi hal yang ditoleransi. Seorang laki-laki dianggap wajar “tidur”
dengan pembantu, gundik, istri muda atau pelacur sepanjang ia tetap menghargai
hak-hak tertentu yang dimiliki istri sahnya. Dengan demikian, dalam waktu
bersamaan perkawinan bisa membawa keuntungan dan kerugian bagi kedua belah
pihak. Bagi perempuan perkawinan satu-satunya syarat untuk mengintegrasikan
diri kedalam komunitasnya dalam masyarakat. Sebaliknya bagi laki-laki kawin
berarti mengambil istri, memiliki istri. Mereka memandang perkawinan sebagai
konfirmasi eksistensi diri. Oleh karena itu, gagasan kepemilikian suami atas istri
telah memberikan kekuasaan kepada suami untuk mendapatkan segala bentuk
pengabdian, kebaktian, dan pelayan dari istri.
E.
Penerapan
Kritik Sastra feminis
Dasar
pemikiran dalam penelitian sastra berperspektif feminis adalah upaya pemahaman
kedudukan dan peran perempuan seperti tercermin dalam karya sastra. Pertama,
kedudukan dan peran para tokoh perempuan dalam karya sastra menunjukan masih
didominasi oleh laki-laki. Dengan demikian, upaya pemahaman merupakan keharusan
untuk mengetahui ketimpangan gender dalam karya sastra seperti terlihat
ketimpangan realitas sehari-hari masyarakat.
Kedua,
dari resepsi pembaca karya sastra tokoh perempuan banyak tertinggal dari kaum
laki-laki. Ketiga, masih adanya resepsi pembaca yang menunjukan bahwa hubungan
antara laki-laki dan perempuan hanyalah merupakan hubungan yang didasarkan pada
pertimbangan biologis dan sosial ekonomis. Pada pandangan ini tidak sejalan
dengan pandangan sastra berperspektif feminis bahwa perempuan mempunyai hak,
kewajiban, dan kesempatan yang sama dengan laki-laki. Perempuan dapat ikut
serta dalam segala aktivitas kehidupan bermasyarakat bersama laki-laki.
Peran
dan kedudukan perempuan tersebut akan menjadi sentral dalam pembahasan sastra.
Menurut Endraswara (2003:146) melalui studi dominasi tersebut, peneliti dapat
memfokuskan kajian pada (1) kedudukan dan peran tokoh perempuan dalam sastra,
(2) memperhatikan ketertinggalan kaum perempuan dalam segala aspek kehidupan,
termasuk pendidikan, dan aktivitas kemasyarakatan, (3) memperhatikan faktor
pembaca sastra, khusus bagaimana tanggapan pembaca terhadap emansipasi
wanita dalam sastra.
Wiyatmi (2012:46)
mengatakan bahwa ada tiga tahapan yang harus dilakukan dalam mengkritik sebuah
karya sastra, yaitu:
1.
Interpretasi
Interpretasi adalah
upaya memahami karya sastra dengan memberikan tafsiran berdasarkan sifat-sifat
karya sastra itu. Dalam artinya yang sempit, interpretasi adalah usaha untuk
memperjelas arti bahasa dengan sarana analisis, parafrasa, dan komentar.
Interpretasi dipusatkan terutama pada kegelapan, ambiguitas, dan kiasan-kiasan.
Dalam arti luas interpretasi adalah menafsirkan makna karya sastra berdasarkan
unsur-unsurnya beserta aspek-aspeknya yang lain, seperti jenis sastranya,
aliran sastranya, efek-efeknya, serta latar belakang sosial historis yang
mendasari kelahirannya.
2.
Analisis
Analisis adalah
penguraian karya sastra atas bagian-bagian atau norma-normanya (Pradopo dalam
Wiyatmi, 2012:48). Penguraian bagian atau norma karya sastra dilakukan dengan
menganalisis unsur-unsur yang membangun karya sastra tersebut, yaitu unsur
intrinsiknya. Unsur-unsur intrinsik tersebut adalah tema, alur, tokoh,
penokohan, latar, judul, sudut pandang dan bahasa.
3.
Evaluasi
Penilaian adalah usaha menentukan kadar keindahan (keberhasilan) karya
sastra yang dikritik. Penentuan nilai suatu karya sastra tidak dapat dilakukan
secara semena-mena, tetapi harus berdasarkan pada fenomena yang ada dalam karya
yang akan dinilai, kriteria dan standar penilaian, serta pendekatan yang
digunakan. Adapun kriteria yang dapat digunakan untuk membuat
penilaian terhadap keberhasilan atau kegagalan sebuah karya sastra, dapat
dilakukan dengan mencermati sedikitnya enam kriteria yaitu kriteria kebaruan
(inovasi), kepaduan (koherensi), kompleksitas (kerumitan), orisinalitas
(keaslian), kematangan (berwawasan atau intelektualitas), dan kedalaman
(eksploratif).
Selanjutnya
Saraswati (2003:160) mengatakan bahwa penerapan teori feminis dalam karya
sastra ditemukan pada tokoh cerita yang berjenis kelamin perempuan.
Pertama-tama yang harus menentukan tokoh cerita perempuan. Kemudian
mengidentifikasi beberapa tokoh di dalam sebuah karya sastra yang akan
dianalisis dengan mencari (1) kedudukan tokoh di dalam masyarakat, (2) tujuan
hidupnya, (3) perilaku serta watak tokoh perempuan dari gambaran yang langsung
diberikan oleh penulis, (4) pendirian serta ucapan tokoh yang bersangkutan.
Demikian
juga Sugihastuti (2002:43) bahwa analisis strukturalisme merupakan prioritas utama
sebelum diterapkannya analisis yang lain. Tanpa analisis struktural, kebulatan
makna intrinsik yang hanya dapat digali dari dalam karya sastra tersebut tidak
dapat dipahami secara utuh. Makna unsur-unsur karya sastra hanya dapat dipahami
sepenuhnya dan dinilai atas dasar pemahaman tempat dan fungsi unsur di dalam
keseluruhan karya sastra.
Pendekatan
Struktural
Abrams
(dalam Pradopo, 1995:141) bahwa ada empat pendekatan terhadap karya sastra,
yaitu, mimetik, pragmatik, ekspresif dan objektif. Teori strukturalisme
merupakan pendekatan yang bersifat objektif, yaitu pendekatan yang menganggap
karya sastra sebagai mahluk yang berdiri sendiri. Karya sastra bersifa otonom,
terlepas dari alam sekitar, pembaca, dan bahkan pengarang itu sendiri. Oleh
karena itu, untuk dapat memahami sebuah karya sastra yang salah satu novel, novel tersebut
haruslah dianalisis struktur intrinsiknya.
Diketahui
bahwa novel merupakan struktur yang bermakna. Novel tidak sekedar merupakan
serangkaian tulisan yang menggairahkan ketika dibaca, tetapi merupakan struktur
pikiran yang tersusun dari unsur-unsur yang padu. Untuk mengetahui makna atau
pikiran tersebut novel harus dianalisis.
Pendekatan struktural adalah salah satu pendekatan yang digunakan untuk
membedah suatu karya sastra. Pendekatan tersebut dipelopori oleh kaum Formalis
Rusia dan Srukturalisme Praha. Pendekatan stuktur sendiri mendapat
pengaruh langsung dari teori linguistik yang dikembangkan oleh Ferdinand
de Saussure.
Menurut Teeuw (Pradopo, 2002:145), analisis struktural itu kebulatan
makna instrinsik karya sastra dapat digali berdasarkan pemahaman tempat
dan fungsi unsur itu dalam suatu karya sastra. Unsur-unsur instrinsik dalam
suatu karya sastra juga mendukung untuk memahami makna dalam suatu karya sastra
sehingga perlu dianalisis secara mendalam.
Suatu bentuk atau bahasa yang digunakan dalam karya sastra memiliki arti
yang akan disampaikan oleh penulis kepada pembaca. Pada karya sastra seperti
novel, unsur struktural tidak hanya dilihat pada kata dan bahasa saja, namun
dapat juga dikaji dengan melihat berbagai macam unsur-unsur pembangun karya
sastra yang berbentuk novel seperti tema, plot, karakter, sudut pandang, latar,
moral yang disampaikan, dan lain-lain.
1.
Tema
Tema adalah ide, gagasan, pandangan hidup pengarang yang melatarbelakangi
penciptaan karya sastra. Setiap tema pada suatu karya sastra tidak
diungkapkan secara langsung. Tema terletak secara implisit sehingga pembaca
harus mampu menafsirkan sendiri makna yang terkandung yang ingin disampaikan
oleh penulis melalui cerita-cerita yang disajikan. Tema dapat ditemukan pada
bagian-bagian tertentu dari suatu karya sastra seperti melalui dialog
tokoh-tokohnya, melalui konflik yang terjadi, melalui karakter tokoh, ataupun
komentar secara tidak langsung. Akhir cerita pada suatu karya sastra juga
menentukan tema. Tapi akhir dari setiap cerita tidak selalu tergantung pada
penulis saja. Akhir cerita yang menggantung berarti menyerahkan secara utuh
bagaimana akhir cerita suatu karya sastra kepada pembaca, sehingga temanya
tergantung kepada pembaca itu sendiri.
Tema dapat digolongkan menjadi beberapa kategori berdasarkan sudut pandang
dikotomis yaitu tema tradisional dan non tradisonal. Tema tradisional adalah
tema yang merujuk pada tema yang bisa ditemukan dalam berbagai cerita, termasuk
cerita lama. Misalnya cerita yang bertema (1) kebenaran dan keadilan yang
mengalahkan kejahatan, (2) tindak kejahatan walau ditutup-tutupi pasti akan
terbongkar juga, (3) tindak kebenaran maupun kejahatan masing-masing akan
mimetik hasilnya, (4) cinta yang sejati menuntut pengorbanan, dan tema-tema
yang lain.
Sementara tema non tradisional adalah tema yang bersifat tidak lazim dan
tidak sesuai dengan harapan pembaca. Biasanya tema non tradisional bersifat
melawan arus, mengejutkan, menyebalkan, dan tidak biasa terjadi dalam kehidupan
masyarakat sebenarnya. Misalnya, jalan cerita yang menceritakan tentang
kejujuran justru membuat suatu kehidupan menjadi keruh atau berantakan. Jalan
cerita lebih melindungi kejahatan daripada kebenaran. Hal tersebut menyatakan
adanya ketidakwajaran tema yang diangkat sehingga tema-tema tersebut di sebut
tema nontradisional (Nurgiantoro, 2010: 79).
2.
Tokoh dan
Penokohan
Tokoh merupakan para pelaku yang ada
dalam suatu novel atau cerita fiksi lainnya. Menurut Abrams (dalam Nurgiantoro,
2010:82) tokoh cerita adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya
naratif atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan
kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang
dilakukan dalam tindakan. Tokoh bersifat imajinatif karena pada dasarnya
merupakan rekaan penulisnya saja. Namun, tokoh fiktif tersebut harus seorang
tokoh yang hidup secara wajar, sewajarnya kehidupan manusia di dunia.
Tokoh-tokoh pada cerita fiksi fungsinya tidak hanya sebagai pelaku dalam
cerita saja, namun sebagai alat untuk menyampaikan ide atau gagasan, tema,
alur, serta moral dari penulis kepada pembacanya. Abrams (Fananie, 2000:52)
mengatakan bahwa untuk menilai karakter tokoh dapat dilihat dari apa yang
dikatakan dan apa yang dilakukan tokoh itu sendiri. Tokoh cerita merupakan
unsur dari karya sastra berupa fiksi yang bertugas sebagai pembawa dan
menyampaikan pesan, amanat, moral, dan segala sesuatu yang ingin disampaikan
pengarang kepada pembaca.
Unsur tokoh dan penokohan sangat
penting untuk membangun sebuah cerita fiksi karena saling berkaitan dengan
unsur-unsur yang lain. Penokohan dan Pemplotan satu sama lain saling berkaitan
erat. Dalam membangun sebuah cerita, pemplotan sangat penting, namun
tokoh-tokoh cerita akan lebih menarik perhatian pembaca. Plot hanya sarana
untuk memahami jalan cerita (Nurgiantoro, 2010:90). Maka dari itu, untuk
menunjukan jati diri dan kehidupan tokoh dalam cerita perlu ada alur (plot)
perjalanan hidup dari tokoh-tokoh tersebut.
Keterkaitan tokoh dengan tema juga
tidak kalah pentingnya. Tema merupakan dasar cerita dari sebuah jalan cerita
dalam novel. Dalam fiksi tema bersifat mengikat dan bersifat menyatukan unsur-unsur
fiksi yang lain. Melalui tokoh-tokoh itu, tema yang dijunjung dalam cerita
dapat tersampaikan kepada pembaca.
Setiap tokoh dalam cerita mempunyai
watak untuk membangun cerita dalam novel. Watak dapat diwujudkan dengan
bermacam-macam cara penokohan seperti yang diungkapkan oleh S. Tasrif (Pradopo,
2002:59) yaitu (a) Lukisan bentuk lahiriyah dari tokoh itu sendiri (Physical
description), (b) Lukisan jalan pikiran atau apa yang melintas dalam
pikiran tokoh (portrayal of thoughtor stream of consciousness), (c)
Reaksi terhadap peristiwa (reaction of event), (d) Analisis watak secara
langsung (direct author analysis), (d) Lukisan keadaan sekitar tokoh (discussion
of environment), (e) Reaksi-reaksi pelaku lain terhadap tokoh (reaction
of others to character).
3.
Latar / Setting
Latar atau setting
cerita merupakan unsur pembangun yang penting yang mengiringi jalan cerita.
Walaupun setting atau latar dimaksudkan untuk mengidentifikasi situasi
yang tergambar dalam cerita, keberadaan elemen setting hakikatnya tidak
sekedar menyatakan di mana, kapan, dan bagaimana situasi peristiwa berlangsung,
melainkan berkaitan juga dengan tradisi, karakter, perilaku sosial, dan
pandangan masyarakat pada waktu cerita ditulis (Fananie, 2000:98). Fungsi setting
atau latar itu sendiri tidak bisa terpisah dari unsur pembangun karya sastra
yang lain karena merupakan satu kesatuan yang saling menentukan.
Setting atau latar
yang berhasil adalah harus terintegrasi dengan tema, watak, gaya, implikasi
atau kaitan filosofinya (Sumardjo, 1986: 76). Untuk mengetahui ketepatan setting
atau latar dalam suatu karya sastra dapat dilihat dari beberapa indikator.
Abrams (Fananie, 2000:99) menyebutkan ketiga indikator tersebut, yaitu (1) General
local (tempat terjadinya peristiwa), (2) Historical time (saat
terjadinya peristiwa itu), (3) Social circumstances (situasi
sosialnya). Berdasarkan berbagai macam indikator tersebut maka pembaca tahu
sejauh mana kewajaran dari setting atau latar karya sastra dengan
peristiwa/situasi yang terjadi dikalangan masyarakat saat itu.
Ada unsur-unsur yang membangun sebuah latar dalam cerita. Menurut
Nurgiantoro (2010:95) menjelaskan bahwa unsur-unsur tersebut adalah (1) Latar
tempat, merupakan lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah
karya fiksi, (2) Latar waktu, berkaitan dengan “kapan” peristiwa dalam karya
sastra itu terjadi, (3) Latar sosial, mengungkapkan tentang perilaku kehidupan
sosial masyarakat di suatu tampat yang diceritakan dalam karya fiksi. Hal itu
bisa berupa adat-istiadat, kebiasaan hidup, tradisi, keyakinan, atau pandangan
hidup.
4. Alur atau Plot
Alur atau plot adalah salah satu unsur instrinsik yang membangun sebuah
karya sastra berupa novel. Unsur-unsur tersebut saling berkaitan untuk
menyampaikan cerita kepada pembaca. Pada kegiatan pengkajian plot atau alur ini
digunakan untuk mengetahui peristiwa apa saja yang terdapat dalam cerita novel.
Menurut Staton (Wardani, 2009:43) menyatakan bahwa plot adalah deretan
peristiwa yang disusun berdasarkan hubungan sebab akibat. Peristiwa yang
terjadi dalam deretan cerita merupakan sebuah akibat dari peristiwa yang
sebelumnya.
Nurgiantoro (2010:97) juga mengatakan bahwa plot adalah cerita yang berisi
urutan kejadian, namun kejadian-kejadian tersebut hanya dihubungkan secara
sebab akibat. Begitu juga dengan Foster yang mengemukakan bahwa plot adalah
peristiwa-peristiwa dalam cerita novel yang mempunyai penekanan pada adanya
kausilitas. Selain itu, plot bersifat misterus dan intelektual. Pembaca harus
mempunyai pemikiran yang intelektual untuk bisa memahami dan menebak plot yang
ada dalam cerita novel. Jadi pada dasarnya plot adalah serangkaian peristiwa
yang terjadi dalam cerita fiktif yang mengantarkan pembaca ke dalam jalan
cerita.
Pemahaman dan penghayatan pada sebuah novel sangat tergantung sekali
terhadap plot/alur yang disajikan oleh penulis. Kesederhanaan plot/alur dalam
sebuah novel akan mempermudah pembaca dalam memahami cerita dalam novel.
Sedangkan plot yang sulit akan mengurangi pemahaman pembaca terhadap cerita.
Namun, biasanya kesulitan penyajian plot dalam sebuah cerita akan menjadi
sebuah karakteristik gaya penulisan karya sastra.
Dalam mengembangkan plot dalam cerita, maka ada tiga unsur yang harus
diperhatikan. Unsur-unsur tersebut adalah peristiwa, konflik, dan klimaks.
Ketiga unsur tersebut saling berhubungan satu sama lain.
a) Peritiwa
Luxemburg (Nurgiantoro, 2010:97) menyatakan bahwa peristiwa merupakan
peralihan dari suatu keadaan yang lain. Maka pembaca harus mampu membedakan
kalimat-kalimat yang mengandung peristiwa ataupun tidak. Berdasarkan hal
tersebut maka ada pembagian peristiwa menjadi tiga yaitu peristiwa Fungsional,
peristiwa kaitan, dan peristiwa acuan.
Peristiwa fungsional adalah peristiwa-peritiwa yang menentukan atau
mempengaruhi perkembangan plot itu sendiri. Peristiwa kaitan adalah
peristiwa-peristiwa yang yang berfungsi mengaitkan peristiwa penting dalam
cerita yang disajikan. Peristiwa acuan adalah peristiwa yang tidak secara
langsung berpengaruh dan atau berhubungan dengan perkembangan plot, namun
mengacu pada unsur-unsur lain.
b) Konflik
Konflik adalah sebuah kejadian yang bisa menjadi pusat perhatian pembaca.
Konflik juga merupakan masalah yang sangat berpengaruh dalam pengembangan plot.
Wallek dan Werren (Nurgiantoro, 2010:98) menyatakan bahwa konflik adalah
sesuatu yang dramatik, mengacu pada pertarungan antara kedua kekuatan yang
seimbang menyiratkan adanya aksi balasan. Bentuk peristiwa yang berupa konflik
dapat berupa konflik batin dan konflk fisik. Staton (Nurgiantoro, 2010:98)
mengatakan bahwa konflik merupakan bentuk kejadian yang dapat dibedakan menjadi
dua kategori yaitu konflik fisik dan konflik batin, konflik eksternal dan
konflik internal.
c) Klimaks
Staton (Nurgiantoro, 2010:99), mengatakan bahwa klimaks telah mencapai
tingkat intensitas tertinggi, dan saat hal itu merupakan sesuatu yang tidak
dapat dihindari kejadiannya. Klimaks merupakan puncak dari konflik yang ada
dalam cerita dan menentukan bagaimana solusi yang digunakan untuk menyelesaikan
konflik tersebut.
5. Sudut Pandang
Staton (Nurgiantoro, 2010:99) menggolongkan sudut pandang atau point of view merupakan salah satu unsur
fiksi yang digunakan sebagai sarana cerita. Ada tidaknya sudut pandang
mempengaruhi penyajian cerita untuk mempermudah pemahaman pembaca. Penyudut
pandangan menurut Abrams (Nurgiantoro, 2010:102), adalah cara dan atau
pandangan yang digunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh,
tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah
karya fiksi kepada pembaca. Pada hakikatnya sudut pandang hanyalah sebuah
strategi pengarang untuk menyampaikan cerita kepada pembaca sehingga semua
gagasan dan ide-ide yang ada dalam pikiran pengarang bisa tertuang lewat cerita
tersebut dengan masing-masing gayanya.
Sudut pandang cerita secara garis besar dapat dibedakan ke dalam dua macam
(Nurgiantoro, 2010:102) yaitu persona pertama (first person). Biasanya
menggunakan gaya “aku” sebagai pencerita. Sudut pandang yang ke dua yaitu
persona ke tiga (third-person), yang bercerita adalah sosok orang lain
selain tokoh dalam cerita yang biasa disebut “dia”. Pengarang mempunyai
kebebasan yang tidak terbatas untuk menuangkan cerita melalui sudut pandang
yang dikehendaki dan yang paling efektif.
Pemilihan
sudut pandang dalam menyajikan sebuah cerita menjadi penting karena hal itu
berhubungan dengan gaya baik retorika maupun gramatikanya. Teknik penyajian
sudut pandang tertentu akan lebih efektif jika diikuti oleh pemilihan bentuk
gramatika dan retorika yang sesuai. Penyajian sudut pandang juga digunakan
untuk menyampaikan nilai-nilai, sikap, dan pandangan hidup pengarang selain
dituangkan dalam tokoh dalam cerita itu sendiri.
Macam-macam
sudut pandang menurut Nurgiantoro (2010:103) yaitu :
1) Sudut Pandang Persona
Ke Tiga
Pengisahan
cerita yang mempergunakan sudut pandang persona ketiga, menggunakan gaya “dia”.
Narator cerita adalah seseorang yang berada di luar cerita yang menampilkan
tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama tokoh atau sebutan ia, dia, dan mereka.
Sudut pandang “dia” dapat dibedakan menjadi beberapa golongan berdasarkan
tingkat kebebasan dan keterikatan pengarang terhadap bahan ceritanya. (a)
Narator dapat dengan bebas menceritakan segala sesuatu yang berhubungan dengan
tokoh “dia”. Jadi narator tersbut bersifat mahatahu (“dia” mahatahu), (b) sudut
pandang “dia” terbatas hanya mengetahui sebagaian dari apa yang dilihat,
didengar, dialami, dipikir, dan dirasakan oleh tokoh cerita.
2) Sudut Pandang
Persona Pertama: “Aku”
Dalam sudut
pandang ini narator terlibat langsung dalam cerita yang disajikan. Jadi selain
sebagai pencerita juga sebagai tokoh sekaligus dalam cerita. (a) “Aku” Tokoh
utama. Teknik penggunaan sudut pandang ini, “aku” mengisahkan berbagai
peristiwa dan tingkah laku yang dialaminya. (b) “Aku” Tokoh Tambahan. Tokoh
“aku” hadir untuk membawakan cerita kepada pembaca. Sedangkan tokoh utama dalam
cerita menceritakan sendiri tentang berbagai macam pengalamannya.
3) Sudut Pandang
Campuran
Penggunaan
sudut pandang dalam sebuah cerita berupa penggunaan sudut pandang persona
ketiga dengan teknik “dia” mahatahu dan “dia” sebagai pengamat, persona pertama
dengan teknik “aku” sebagai tokoh utama dan “aku” tambahan sebagai saksi,
bahkan dapat berupa campuran antara persona pertama dan ketiga antara “aku” dan
“dia” sekaligus.
BAB
III
METODOLOGI
PENELITIAN
A.
Metode
dan Prosedur Penelitian
Penelitian ini adalah
penelitian berbasis content analysis.
Objek penelitian ini adalah novel Belenggu karya
Armij Pane yang dikaji dengan menggunakan pendekatan persepektif kritik sastra
feminis. Sedangkan, metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang
temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk
hitungan lain. Artinya, penelitian yang hanya menjelaskan secara deskriptif
makna yang terkandung dalam cerita novel saat
pengolahan data.
Sebelum dilakukan
analisis dengan pendekatan persepektif kritik sastra
feminis novel Belenggu karya Armij Pane terlebih dahulu dikaji melalui
pendekatan struktural guna memahami unsur-unsur yang terkandung didalamnya dan
dilanjutkan ke kajian perspektif kritik feminis.
B.
Data
dan Sumber Data
Data yang dikumpulkan
pada penelitian ini merupakan kumpulan data yang diperoleh melalui identifikasi
berdasarkan telaah melalui pendekatan persepektif
kritik sastra feminis novel Belenggu karya Armij Pane.
C.
Teknik
Prosedur Pengumpulan Data
Menurut Huberman
(1992:18-19) teknik pengumpulan data dapat dilakukan melalui beberapa tahap
yaitu tahap reduksi data, yaitu suatu
proses memilih, memfokuskan, menyederhanakan, meringkas, dan merubah data
mentah. Sumber data sangat luas, maka
data yang paling memadai dan relevan yang dapat dianalisis.
Adapun langkah-langkah
menganalisis data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) memilih novel
terbaik untuk dianalisis berdasarkan pendekatan persepektif
kritik sastra feminis, 2) melakukan kajian terhadap novel Belenggu
secara mendalam dengan didasarkan pada pendekatan struktural guna memahami
makna yang terkandung di dalamnya, dan 3) melanjutkan ke kajian persepektif kritik sastra feminis.
D.
Prosedur
Analisis Data
Beberapa tahapan
penelitian yang dilakukan peneliti yaitu, menentukan objek penelitian, menganalisis situasi dan konteks,
menentukan karakteristik teks, menentukan kriteria analisis, merujuk pertanyaan
penelitian, menentukan teknik analisis, menentukan unit analisis, menganalisis
materi dan menafsirkan (Moleong, 1990:5). Data yang sudah dideskripsikan
dianalisis dengan langkah-langkah analisis isi kualitatif, yang dalam hal ini
merujuk pada kajian persepektif kritik sastra feminis
terhadap novel Belenggu karya Armij Pane.
Penelitian kualitatif
dapat dilakukan melalui proses pengambilan data dan analisis serta interpretasi
data dapat dilakukan secara bersamaan. Dengan demikian penyajian data dan
pembahasan dapat disajikan sekaligus dalam satu paparan yang terpadu. Berikut ini
dijelaskan langkah-langkah kajian persepektif kritik
sastra feminis novel Belenggu karya Armij Pane sebagai berikut:
1.
Membaca novel dan mengidentifikasikan berdasarkan
pendekatan struktural.
2.
Menganalisis novel yang telah terpilih
berdasarkan pendekatan persepektif kritik sastra
feminis.
3.
Interpretasi semua temuan penelitian
4.
Merumuskan implikasi dan menarik
simpulan
5.
Menyusun laporan penelitian
E.
Pemeriksaan
Keabsahan Data
Keabsahan data
merupakan teknik pemeriksaan data yang penting untuk dilakukan saat penelitian.
Moleong (2010:329) mengatakan bahwa terdapat sepuluh teknik pemeriksaan data
yaitu: 1) perpanjangan keikutsertaan; 2) ketekunan pengamatan; 3) triangulasi;
4) pengecekan sejawat; 5) kecukupan referensial; 6) kajian kasus negatif; 7)
pengecekan anggota; 8) uraian rinci; 9) audit kebergantungan; dan 10) audit
kepastian.
Teknik yang digunakan dalam
penelitian ini adalah teknik triangulasi. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan
keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain, dengan tujuan untuk keperluan
pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data tersebut. Triangulasi berarti
cara terbaik untuk menghilangkan perbedaan-perbedaan konstruksi kenyataan yang
ada dalam konteks suatu studi sewaktu mengumpulkan data tentang berbagai kejadian dan hubungan dari
berbagai pandangan (Moleong, 2010:330).
Dengan demikian, peneliti
dapat melakukannya dengan jalan di antaranya: a) mengajukakan berbagai macam
pertanyaan; b) mengeceknya dengan berbagai sumber; dan c) memanfaatkan berbagai
metode agar pengecekan kepercayaan data dapat dilakukan. Teknik triangulasi
digunakan dengan alasan karena teknik ini merupakan teknik yang terbaik untuk
mengatasi perbedaan-perbedaan dari berbagai data yang diperoleh selama
penelitian. Dalam kegiatan analisis setiap orang dapat menafsiran hal yang
berbeda terhadap subjek yang sama. Dengan demikian teknik ini dapat digunakan
untuk mengatasi berbagai perbedaan terhadap hasil analisis.
Berdasarkan pada konsep
pemikiran di atas, maka meskipun terdapat perbedaan terhadap persepsi dari
kegiatan analisis novel, namun penulis
akan memberikan kesimpulan akhir dari suatu jawaban sehingga nantinya akan
diperoleh kesamaan untuk menjawab pertanyaan dalam penelitian ini.
BAB
IV
PEMBAHASAN
A.
Biografi Pengarang
Armijn Pane lahir
di kota Muara Sipongi, Tapanuli Selatan, pada tanggal 18 Agustus 1908
(Sumardjo,1992). Dia mengawali pendidikannya di Hollandsislandse School (HIS)
Padang Sidempuan dan Tanjung Balai sekolah. Dia juga pernah sekolah AMS A-I
(sastra barat) di Solo yaitu sekolah yang bertumpu pada bahasa dan sastra
(Rosidi, 1969: 41). Dia menamatkan sekolahnya pada tahun 1931 sehingga dia
menjadi ahli dalam hal tulis-menulis karya sastra.
Dalam
perkembangan kesusastraan di Indonesia, Armijn Pane termasuk dalam sastrawan
angkatan Pujangga Baru. Dia terjun dalam dunia sastra diawali dengan banyak
mengirim karya-karyanya di majalah Pujangga Baru. Saat itu dia banyak menulis
esai, sajak, dan cerita pendek yang kerap sekali dimuat pada majalah Pujangga
Baru. Namun, dia selalu menggunakan nama samaran seperti A.Pandji, A.Mada,
A.Djawa, Adinata, Kasmoto, dan yang lainnya.
Banyak
sastrawan Indonesia yang menghasilkan karya sastra yang begitu memukau
pembacanya. Bahkan dari hasil karya-karya sastra tersebut bisa menumbuhkan
kebangkitan dalam berbangsa bagi beberapa orang bangsa Indonesia. Karya sastra
karangannya yang paling terkenal yaitu roman yang berjudul Belenggu.
Sebelum menulis romannya itu, dia banyak menulis cerpen, sajak, esai, dan
sandiwara (Rosidi, 1969). Karya sastra dalam bentuk drama yaitu Jinak-jinak
Merpati, Antara Bumi dan Langit, Nyai Lenggang Kencana, Lukisan
Masa, dan Barang Tidak Berharga. Semua karya sastra dalam bentuk
drama tersebut telah dijadikan dalam satu buku.
B.
Kajian Struktural Novel Belenggu
Kajian strukturalisme dalam telaah sastra merupakan sebuah kajian utama yang
harus dilakukan. Artinya bahwa kajian strukturalisme sebagai upaya guna
menggali makna secara keseluruhan yang terdapat dalam novel yang dijadikan
objek penelitian. Novel merupakan sebuah karya sastra yang kompleks dan kekomplekkan
tersebut dapat dipahami melalui kajian unsur-unsur yang membangun.
Hal
ini sejalan dengan pendapat Sugihastuti (2002:43) bahwa analisis strukturalisme
merupakan prioritas utama sebelum diterapkannya analisis yang lain. Tanpa
analisis struktural, kebulatan makna intrinsik yang hanya dapat digali dari
dalam karya sastra tersebut tidak dapat dipahami secara utuh. Dalam penelitian ini unsur-unsur pembangun karya sastra berbentuk novel meliputi
tema, plot, karakter, sudut pandang, latar, tokoh dan penokohan, alur,
1. Tema
Tema
merupakan inti atau pokok pikiran dalam suatu cerita. Tema juga digunakan
sebagai penentu semua unsur-unsur dalam suatu cerita. Tema yang digambarkan
dari Novel Belenggu adalah
kehidupan rumah tangga suami-istri (manusia modern) tidak dapat bahagia karena
masing-masing tidak dapat menerima apa yang telah ada. Mereka terikat dengan
angan-angan masa lalu dan peristiwa masa lalu yang tidak terwujud. Hal itu
terlihat pada keseluruhan jalan cerita antara Tono dan Tini yang dalam
kehidupan berumah tangga tidak seperti hidup berkeluarga pada umumnya, bahkan saling
membenci dan tidak mendukung satu sama lain.
Penggolongan
tema berdasarkan sudut pandang dikhotomis dapat dibedakan menjadi tema
tradisional dan nontradisional. Jika melihat jalan cerita yang disampaikan
dalam Novel Belenggu maka tema yang membangun jalan cerita novel
tersebut adalah kehidupan keluarga yang tidak harmonis. Tema tersebut termasuk
dalam tema tradisional. Hal itu karena ketidakharmonisan keluarga yang dibangun
oleh dokter Tono dan Tini. Dalam keluarga mereka selalu ada konflik yang
mengakibatkan mereka berdua selalu tidak akur layaknya keluarga. Konflik yang
ada dalam novel tersebut adalah adanya perselingkuhan yang dilakukan Tono. Hal
itu sebagai akibat dari masing-masing mereka yang saling acuh tak acuh sebagai
suami istri. Perselingkuhan yang dilakukan oleh dokter Tono dengan Yah tersebut
diketahui oleh Tini, sehingga mengakibatkan perceraian antara suami istri
tersebut. Akhir cerita pun Tono ditinggalkan oleh kedua wanita yang pernah
bersamanya yaitu Tini dan Yah. Berdasarkan cerita tersebut maka dapat
disimpulkan bahwa setiap keburukan pasti akan mendapat imbalan yang sesuai.
Kategori
tema yang tradisional adalah tema yang diangkat dalam cerita dapat ditemukan
dalam cerita lain. Tema yang ada dalam Novel Belenggu termasuk dalam
tema tradisional. Jalan cerita pada novel tersebut masih mengangkat tentang
tema bahwa setiap keburukan pasti akan mendapat imbalan yang sesuai. Hal itu
bisa ditemukan dalam cerita novel lain seperti pada Novel Salah Asuhan
karya Abdul Muis. Kesamaan tersebut terlihat ketika sebuah keluarga yang hancur
karena adanya orang ketiga.
Dalam Novel Belenggu,
Tono merasa tidak puas dengan istrinya, Tini. Kemudian dia mencari sosok wanita
yang bisa membahagiakan dia dan berlaku seperti apa yang dia inginkan. Tono
menemukan Yah (Ny. Eni) yang merupakan temannya waktu kecil sekaligus
pasiennya. Mereka pun manjalin hubungan terlarang. Namun, pada akhirnya
hubungan mereka diketahui oleh Tini dan keluarga mereka bercerai walaupun
sebenarnya Tono tidak menginginkan hal itu. Tono pun ditinggalkan oleh Tini
maupun Yah.
Jika dibandingkan
dengan Novel Salah Asuhan tidak jauh berbeda tema yang diangkat. Hanafi
sebagai bangsa Indonesia yang selalu merendahkan bangsanya sendiri karena dia
selalu mengagungkan bangsa Belanda. Hal tersebut karena dia jatuh cinta kepada
wanita keturunan Belanda bernama Corry. Karena mengejar cinta Corry, Hanafi
pergi ke Jakarta dan meninggalkan anak dan istrinya serta keluarganya di
Minangkabau dan disana dia memang bisa bersatu dengan Corry. Namun, berbagai
aral melintang menghampiri keluarga Corry dan Hanafi. Diakhir cerita Corry
meninggal. Hanafi pulang kembali ke Minangkabau, namun hanya ibunya yang mau
menerima Hanafi kembali. Oleh karena itu, Hanafi akhirnya meninggal karena over
dosis.
2.
Tokoh dan Penokohan
Selain
berbicara tentang tokoh-tokoh yang ada dalam cerita, dalam hal ini juga
membicarakan tentang karakteristik masing-masing tokoh. Setiap tokoh yang ada
dalam cerita pasti memiliki ciri perwatakan. Secara umum perwatakan dalam suatu
cerita dibagi menjadi dua yaitu tokoh protagonis dan tokoh antagonis.
Tokoh protagonis merupakan tokoh utama dalam suatu cerita. Sedangkan tokoh
antagonis adalah tokoh yang bersifat menentang tokoh utama dalam cerita.
Tokoh
protagonis dalam Novel Belenggu yaitu Tono (Sukartono) karena Tono
menjadi sorotan utama yang selelu dibicarakan dalam novel. Tono juga sebagai
pangkal utama yang menjadikan adanya konflik yang membangun cerita novel. Hal
itu karena setiap peristiwa dalam cerita pasti melibatkan tokoh Tono.
Tokoh
antagonis dalam Novel Belenggu yaitu Tini (Sumartini) sebagai istri Tono
dan Yah (alias Ny. Eni atau Siti Rohayah atau Siti Hayati) kekasih Tono. Tokoh
Tini selalu menentang apa yang dilakukan oleh Tono. Tokoh Yah juga termasuk
dalam salah satu tokoh antagonis dalam Novel Belenggu. dalam cerita Yah
yang tidak pada jalan yang benar. Ketika Yah tahu bahwa Tono telah beristri
tapi dia tetap mau menjadi kekasih Tono sehingga menimbulkan masalah dalam
keluarga Tono dan Tini.
Ada juga
tokoh-tokoh lain yang merupakan tokoh pembantu yang fungsinya untuk memperjelas
jalan cerita dalam menyelesaikan masalah dan konflik-konflik yang ada.
Tokoh-tokoh pembantu tersebut diantaranya Hartono (teman Tono di SMA dan bekas
kekasih Tini), Mardani (teman Tono dan Hartono), Mangunsucipto (paman Tini),
Karno (bujang Tono), Abdul (sopir Tono), Puteri Aminah, Nyonya Sumardjo, dan
tokoh lain sebagai teman seprovesi dengan Tini.
Perwatakan
dalam Novel Belenggu dapat ditentukan dengan teknik analitik dan
dramatik. Misalnya deskripsi fisik Tini yang cantik, suka bersolek, memakai
rouge di bibir dan pipi untuk menunjukan Tini sebagai ratu pesta yang menarik
para pemuda hingga akhirya dapat menarik Tono dan dijadikan istri. Penggambaran
secara fisik untuk tokoh Tini terdapat pada kutipan sebagai berikut.
“… diamat-amatinya sebentar badan yang terlentang itu,
molek, karena suka sport dahulu. Tetapi, nafsunya tiada tertarik, tiada
berkobar seperti dahulu. Sambil menuju ke kursinya, dia berfikir: badannya
masih cantik. Memang Tini cantik, pandai memakai sembarang pakaian. Suka mata
memandang dia.” (hal. 61)
Tokoh Tini yang bersifat suka
menentang suaminya sendiri juga dikemukakan secara eksplisit pada kutipan
sebagai berikut.
“Sukartono terkejut, memandang kearah istrinya, tetapi
ia sudah berpaling lagi, menuju ke kamar tidur. Menyala-nyala dalam hatinya,
hendak terhambur kata marah dari mulutnya …ah, alangkah cantiknya, ramping
langsir, sikapnya menantang demikian itu.” (hal. 19)
Selain watak-watak Tini di atas,
masih ada watak yang dapat terlihat dari tingkah laku yang dilakukan Tini
kepada tokoh-tokoh lain. Misalnya seperti pada saat Tini berbincang dengan
Nyonya Rusdio. Tini mengutarakan kecemburuannya kepada Nyonya Rusdio karena dia
mengetahui bahwa sebenarnya Nyonya Rusdio mempunyai perasaan kepada suaminya.
Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan sebagai berikut.
“Ada yang hendak ibu katakan, bukan ibu?” kata Tini,
sambil duduk dihadapan Nyonya Rusdio. “ katakanlah ibu, saya dengarkan. Tentu
saya yang disalahkan, karena ibu saying akan suami saya.”
Kata “suami saya” itu ditekannya, seolah-olah hendak
mengatakan, yang hendak engkau singgungperkara kami sendiri. Nyonya Rusdio
merasa juga akan maksud perkataan Tini itu. Dia tahu Tini tiada terlalu suka
akan dia. Entah apa sebabnya. …”. (hal. 55)
Deskripsi
tokoh Tini di atas juga dapat menimbulkan reaksi-reaksi pelaku-pelaku lain,
misalnya pelaku wanita dalam cerita yang kerap menggunjingkan ketidakcocokan
antara Tono dan Tini setelah mereka berdua manikah.
Perwatakan pada Yah atau Ny. Eni
yang dapat di deskripsikan secara fisik yaitu Yah yang berparas cantik dan menarik
bagi kaum lelaki serta membuat orang nyaman berada di dekatnya. Dia penyayang
dan banyak lelaki tertarik termasuk Tono sehingga terjadilah perselingkuhan
antara Tono dan Yah. Kepribadian Yah dapat di ketahui melalui deskripsi yang
diungkapkan Tokoh dokter Tono ketika membandingkan dengan sifat istrinya
sendiri. “Pikirannya melayang kembali ke Yah, yang baru ditinggalkan.
Benar-benar perempuan, ramah-tamah, pandai bergurau, bercumbu-cumbu.” (hal. 61)
Watak Ny.
Eni atau yang suka dipanggil Yah itu juga memiliki sifat perhatian. Perhatian
Yah itu dia berikan kepada dokter Tono seakan-akan mengetahui apa yang
diinginkan oleh Tono. Hal tersebut dapat diketahui melalui gerak-gerik Yah yang
dia lakukan kepada dokter Tono yang diungkapkan melalui kutipan percakapan
sebagai berikut.
“ … dia tiada menunggu jawab dokter Sukartono, dengan
segera ditinggalkannya. Sesudah disangkutkannya baju itu dia kembali, lalu
berlutut dihadapan Sukartono, terus ditanggalkannya sepatunya, dipasangkannya
sandal yang diambilnya dari bawah kursi Sukartono.” (hal. 34)
Perwatakan
tokoh dokter Tono disampaikan secara eksplisit oleh penulis yaitu dokter Tono
yang memiliki sifat tanggung jawab terhadap keluarganya, rajin belajar ketika
masih sekolah kedokteran, tidak mudah mengalah atau putus asa, dan lain-lain.
Hal tersebut disampaikan penulis melalui kutipan cerita sebagai berikut.
“pikiran kawan-kawannya akan terkabul, sukartono akan
patah di tengah jalan, kalau suatu ketika tiada surat dari saudaranya.,
mengatakan anaknya masih banyak yang perlu juga diteruskan pelajarannya, karena
dia tahu, lebih bijaksana kalau perasaan tanggungjawab Sukartono disinggung.
Saudaranya tahu, sejak kecil, memang sudah begitu tabiat Sukartono. Memang
perasaan tanggung jawab keras padanya. Maka sejak Kartono menerima surat
saudaranya itu, kawan-kawannya heran melihat Sukartono rajin belajar, tiada pernah
kalah-kalah, bahkan selalu menang ujian dengan mendapat pujian …”. (hal. 24)
Adanya
penokohan dari setiap tokoh itu saling berkaitan erat dengan unsur-unsur
instrinsik lain, misalnya seperti berkaitan dengan plot serta amanat atau moral
yang akan disampaikan kepada pembaca. Hal itu sangat bisa terlihat sekali pada
Novel Belenggu karya Armijn Pane. Perwatakan dari tokoh dokter Tono yang
mulanya setia kepada istrinya, Tini. Namun, karena dia yang tidak mempunyai
pendirian yang mantap maka dia mencari sosok wanita lain yang dapat
membahagiakan dirinya. Dia pun memilih Yah sebagai wanita yang bisa
membahagiakan dirinya. Perubahan sifat Tono tersebut yang mengantarkan konflik
dalam plot yang terjadi dalam Novel Belenggu ini. hal tersebut
membuktikan adanya keterkaitan antara penokohan atau karakteristik dari tokoh
yang mendukung terjadinya plot dalam suatu cerita fiksi.
3. Plot atau
Alur
Alur cerita
Novel Belenggu termasuk dalam alur maju. Hal tersebut dapat diketahui
melalui jalan cerita yang runtut dalam Novel Belenggu. Namun, di tengah
cerita terselip alur mundur (flashback) karena menceritakan kembali masa
lalu dari tokoh.
Penjelasan
secara sederhana tentang alur dalam Novel Belenggu yaitu cerita di mulai
ketika kehidupan keluarga Tini dan Tono yang tidak harmonis karena saling
mengedepankan keinginan masing-masing. Tini sebagai wanita modern, tidak
ingin terkekang dengan kehidupan dalam keluarga saja sedangkan Tono
menginginkan Tini menjadi seorang istri yang seutuhnya. Ketidakharmonisan dalam
keluarga mereka juga dipengaruhi dengan kisah cinta yang telah menjadi masa
lalu mereka yang kemudian kehidupannya saat ini. Pada peristiwa tersebut sudah
menimbulkan adanya masalah yang timbul dalam cerita Belenggu.
Beranjak
menuju konflik yang menjadi masalah yaitu setelah Tono yang tidak merasa nyaman
berada dalam kehidupan rumah tangganya bersama Tini maka dia mencari sosok
wanita yang bisa mengayomi dirinya. Wanita tersebut bernama Yah atau Ny. Eni
yang merupakan pasiennya. Wanita tersebut merupakan pelacur dan ternyata
merupakan salah satu temannya saat sekolah di bangku SMA. Yah juga merupakan
salah satu wanita yang pernah Tono cintai saat belum bertemu dengan Tini. Begitu
juga dengan Yah yang sempat memendam rasa cintanya kepada Tono sejak dulu. Saat
itu Tono merasa nyaman ketika bersama Yah. Meraka menjalin hubungan tanpa
sepengetahuan Tini.
Konflik
memuncak ketika hubungan Tono dan Yah diketahui oleh Tini. Tini merasa jengkel
dan akan menemui Yah yang telah merusak rumah tangganya. Namun Tini sadar bahwa
Yah adalah wanita yang memang bisa membuat lelaki merasa nyaman bersamanya termasuk
suaminya, Tono. Tidak seperti dirinya yang selama ini apa yang dilakukannya
kepada Tono. Tini memutuskan untuk menceraikan Tono, begitu juga dengan Yah
yang akhirnya meninggalkan Tono keluar negeri karena dia merasa bahwa dirinya
tidak pantas untuk menjadi istri Tono.
4.
Latar
Beberapa latar cerita terdapat pada
Novel Belenggu. Latar-latar tersebut dapat mendukung jalan cerita
sehingga pesan atau makna dapat tersampaikan kepada pembaca.
a)
Latar tempat
Ada beberapa
tempat yang digunakan dalam melangsungkan cerita dalam Novel Belenggu.
Latar tempat yang pertama yaitu cerita terjadi di rumah dokter Tono dan Tini.
Latar tempat yang berada di rumah ini mempengaruhi jalan cerita dalam novel.
Latar rumah tersebut merupakan tempat di mana Tono dan Tini bertemu dan
bertengkar yang membuat terjadinya konflik dalam cerita. Hal tersebut terdapat
pada kutipan berikut ini.
“Seperti biasa, setibanya di rumah lagi, dokter
Sukartono terus saja menghampiri meja kecil, di ruang tengah, di bawah tempat
telepon.
Ah, mengapa pula ditaruhnya disini. Diangkatnya barang
sulaman istrinya di atas meja, akan mencari bloc-note, tempat mencatat nama
orang kalau ada yang meneleponnya, waktu dia keluar.” (hal. 15)
Selain
itu latar tempat juga terjadi di Hotel kamar nomor tiga tampat Yah tinggal
sebagai tempat pertama kalinya Tono dan Yah bertemu. Berkaitan dengan
plot yang ada dalam cerita maka, tempat tersebut merupakan awal dari timbulnya
benih-benih cinta Yah dan Tono yang akhirnya mereka menjalin hubungan terlarang
di belakang Tini. Hal tersebut terdapat pada kutipan yaitu sebagai berikut.
“Di belakangnya, di dalam kamar nomor lima terdengar
suara perempuan, tertawa karena geli, diiringi suara laki-laki terbahak-bahak.
Diketoknya pintu tertutup itu, maka kedengaran suara nyaring: “ya…” sebentar
lagi kedengaran orang turun dari tempat tidur, lalu suara sandal terseret
menghampiri pintu, maka Sukartono berhadapan dengan perempuan montok berpakaian
kimono, yang di tutupkannya dengan tangan kirinya.” (hal. 20)
Latar tempat
yang selanjutnya adalah di rumah ke dua Yah (Ny. Eni) yaitu Gang Baru No. 24. Seperti
yang terdapat dalam kutipan surat Yah kepada dokter Tono untuk memberitahukan
rumahnya yang baru seperti tampak pada kutipan sebagai berikut.
“Saya sudah pindah ke Gang Baru No. 24. Kalau
tuan dokter kebetulan lintas di sana, sukalah mampir di rumah saya, bekas
patient tuan dokter.”
Latar rumah
ini selanjutnya dijadikan tempat Yah dan dokter Tono bertemu. Rumah ini juga
dijadikan dokter Tono untuk beristirahat dan menemukan kedamaian yang tidak
ditemukan di rumahnya sendiri. Hal tersebut terungkap dalam kutipan sebagai
berikut.
“Sehabis payah praktijk, Kartono bisalah pergi ke
rumahnya yang kedua akan melepaskan lelah. Pikirannya tenang kalau disana.
Disanalah pula dia acapkah membaca majalah dan bukunya yang perlu dibaca,
sedang Yah lagi asyik merenda. Mula-mulanya masih merasa berbuat salah dalam
hatinya terhadap istrinya. Bukankah berbohong namanya itu? tetapi pikirnya
pula: “kalau kulepaskan Yah, kemana perginya nanti?” lambat laun pertanyaan itu
berubah menjadi: “kalau dia pergi apa jadinya aku? Dimana aku mendapat tempat
damai?” (hal. 41)
b)
Latar waktu
Terdapat latar waktu malam hari pada
Novel Belenggu. Latar waktu tersebut diungkapkan secara eksplisit dalam
percakapan dokter Tono dan Nyonya Eni yaitu sebagai berikut.
“Selamat malam, tuan dokter. Sangka saya tiada akan
selekas ini bersua lagi dengan tuan. Kebetulan ada pasien didekat sini,
dokter?” tanya menjeling.” (hal. 33)
Berikut ini juga digambarkan waktu
malam hari ketika Tini menunggu dokter Tono pulang ke rumah yang terdapat dalam
kutipan sebagai berikut.
“Tini lagi berbaring di sofa membawa buku. Kedua belah
tangannya memegang buku itu ke atas, supaya terang kena cahaya lampu dari
belangnya. Kepalanya berbantalkan tiga buah bantal sofa , supaya tinggi,
badannya seolah-olah setengah bersandarkan bantal itu. biasanya dia sudah
tidur, atau sudah baring di tempat tidur, seolah-olah sudah nyenyak, tetapi
sebenarnya dia menunggu-nunggu Kartono pulang.” (hal 57)
Waktu sore hari juga menjadi latar
dalam cerita pada Novel Belenggu. waktu sore hari terdapat pada saat
dokter Tono akan mengunjungi pasiennya yang telah memanggilnya. Waktu tersebut
disebutkan secara terang dalam kutipan sebagai berikut.
“Hatinya senang, kemudian di dalam mobil dengan
gembira dia mengisap serutunya, sambil di sudut tempat duduk. Mobil melancar,
hari sudah hampir gelap, lampu di tepi jalan sudah dipasang. Hawa sudah mulai
sejuk. Matanya memandang ke kiri dan ke kanan, melihat ke luar, akan memalaikan
pikirannya.” (hal. 19)
c) Latar suasana
Suasana hati Tono yang gembira
setelah bertemu dengan Yah. Hal tersebut dapat terlihat terdapat tingkah laku
yang dilakukan dokter Tono dalam kutipan
“Ketika dokter
Sukartono keluar dari pekarangan rumah patient yang penghabisan, hatinya girang
benar, belum pernah segirang itu pada waktu yang akhir-akhir ini…… “. (hal. 32)
Berikut ini merupakan kutipan
percakapan yang menggambarkan suasana yang menyenangkan bagi dokter Tono ketika
bercakap-cakap dengan temannya.
“Sukartono
merasa gembira: “Memang, benar demikian, yaitu kalau kita biarkan kita
dibelanggu, tapi kalu kita pada mulanya benar suadah memasang segala tenaga
kita, kalau kita terus juga bersikeras hendak melepaskan belanggu itu,…”. (hal.
113)
Latar suasana yang menyenangkan
dalam hotel tempat Yah tinggal juga ada dalam cerita ketika dokter Tono
memeriksa Yah yang mempunyai keluhan. Suasana tersebut tergambar pada
percakapan antara dokter Tono dan Yah (Ny. Eni) pada sebagai berikut.
“Ketika dokter Sukartono keluar dari pekarangan rumah
patient yang penghabisan, hatinya girang benar, belum pernah segirang itu pada
waktu yang akhir-akhir ini. dalam notesnya tidak ada lagi patient lain, baru
saja diteleponnya ke rumah, kata Karno tidak ada patient. ….” (hal. 32)
Suasana hati yang mengecewakan Tono ketika mendapati
Rumah Yah telah pindah. “Kegirangan hatinya bertukar menjadi perasaan jengkel,
ketika dia keluar dari mobil, disambut oleh jongos yang malam kemaren dulu
dengan kata: “sudah pindah, tuan dokter.” (hal. 32)
Suasana ruangan yang bising karena
suara radio juga tergambar pada kutipan yaitu sebagai berikut.
“Dia berdiri dihadapan radio. Diputarnya knop
penghubung kekawat listrik, lampu menyala di dalam, diputarnya knop untuk
gelombang, diputarnya sampai 190, terdengar lagu keoncong baru, lalu
diperlahankannya. Dia pergi bersandar pada meja tulisnya. Suara berhenti. Kata
omruper: sehabis ini akan diperdengarkan suara Siti Haryati dari piring hitam
dengan lagu: Ingat aku.“ (hal. 61)
Suasana yang mengharukan dapat
ditemukan pada saat Yah mengutarakan bahwa dirinya adalah Rohayah yang
merupakan teman dokter Tono semasa SMA. Yah berusaha mengingatkan hal itu
kepada dokter Tono tapi doketr Tono masih belum mengingatnya. Maka Yah menangis
dalam keadaan itu. Hal tersebut terdapat pada kutipan pada sebagai berikut.
“dia tertiarap di lantai, kedua belah tangannya
bersilang menutup matanya. Badannya tersentak-sentak karena menagis tertahan-tahan.
Kartono melutut, hendak mengangkat badan Yah. Yah menolaknya … “. (hal. 51)
5.
Sudut pandang
Sudut
pandang yang dipilih oleh Armijn Pane dalam Novel Belenggu yaitu
menggunakan teknik orang ketiga serba tahu. Jadi orang ketiga serba tahu ini
merupakan bukan termasuk salah satu tokoh dalam Novel Belenggu. Sudut
pandang tersebut bisa penulis atau pun orang lain. Hal tersebut bisa diketahui
dengan cara mengidentifikasi yang mana pencerita selalu menyapa nama-nama
tokoh. Selain itu, bisa diketahui seakan-akan pencerita seperti seseorang yang
sedang bercerita melalui tulisan kepada pembaca.
C.
Unsur yang Menonjolkan
tentang Emansipasi Perempuan dan Feminisme
Inferioritas
Perempuan dalam Perkawinan
Konsep cinta sejati dan kesetiaan
perempuan kepada laki-laki mewarnai tema-tema utama novel periode awal
Indonesia. Cinta kasih yang suci, harapan yang besar bersatu dengan kekasihnya,
kesedihan yang berkepanjangan ketika berpisah dengan orang yang dicintainya
merupakan peristiwa yang dialami oleh tokoh-tokoh Balai Pustaka dan Pujangga
Baru.
Diketahui bahwa novel belenggu
merupakan novel angkatan pujangga baru, namun tidak menutupkemungkinan tema
dalam novel angkatan tersebut memiliki hipogram atau interteks dengan angkatan
sesudahnya. Seperti dikatakan Pradopo, 1995:186) bahwa terdapat hubungan
interteks antara novel siti nurbaya, layar terkembang, dan belenggu yang
mengangkat permasalah emansipasi wanita.
Inferioritas perempuan (istri)
kepada laki-laki (suami) walaupun kurang mewarnai novel belenggu yang
disebabkan unsur modernitas, namun unsur tersebut tidak secara mutlak dan masih
diwarnai dengan unsur tradisional atau adat istiadat. Teks yang menyebutkan
bahwa menyenangkan dan melayani suami sekaligus sifat kepatuhan dan ketundukan
istri kepada suaminya adalah tugas dan kewajiban istri. Hal ini digambarkan pada
tokoh Tono (suami) menghendaki Tini (istri) sebagai perempuan yang tahu hak dan
kewajibannya dalam rumah tangga. Perempuan yang tetap menyayangi suaminya,
mencintainya dengan tidak merasa sebagai budak. Namun, yang diinginkan tersebut
tidak ada pada tokoh Tini dan yang diinginkan Kartono adalah perempuan seperti
Yah. Oleh karena itu, Tono menjadi tentram di rumah Yah, karena Yah
menyambutnya dengan penuh cinta dan kasih sayang, melebihi istri sendiri. Yah
mengerti kesukaan "suami", menanggalkan baju dokternya, melepas
sepatunya, diganti dengan sandal rumah.
Membaca novel belenggu sama halnya membaca
kemungkinan sebuah sisi manusia, yakni manusia dengan belenggunya sendiri. Jelas
di sini bahwa ketidaksalingmengertianlah yang menerbitkan belenggu itu, menjadi
perkara utama yang mendorong tokoh-tokoh tersebut menemukan dirinya sebagai
karakter yang problematis. Novel Belenggu mengemukakan pertentangan tua dan
muda yakni pertentangan tokoh dalam kedudukan yang masih terpengaruh oleh
tradisi lama, dan terkadang sebagai pengambil tradisi baru. Demikian halnya
tokoh Yah, dalam satu hal orang yang menentang tradisi lama.
Sementara di dalam Belenggu,
gambaran kaum intelektual seperti Kartono, Sumartini, dan Yah dianggap tidak
memberi "contoh" kepada masyarakat, dianggap sama sekali melanggar
ketertiban dan budi pekerti masyarakat. Di samping itu, dirasakan tidak layak
bahwa kaum intelek hidup tidak rukun, dokter (Kartono) yang mempunyai simpanan
(dan kumpul kebo), lebih-lebih Yah (Siti Rohayah, Ny.Eni, Siti Hayati) adalah
perempuan tidak baik (pelacur).Hal ini dianggap memalukan dan dipastikan
menimbulkan "keguncangan" kepercayaan masyarakat kepada kaum intelek.
Rumah tangga Tono dan Tini
digambarkan penuh belenggu. Mereka saling kecewa antara satu dengan yang lain.
Penuh kontradiksi; di satu sisi mereka saling membutuhkan, tapi di sisi lain
melulu tidak saling puas. Dari informasi yang serba sedikit dan rancak terserak
mengenai latar belakang para tokoh cerita di dalam novel ini, pembaca, lewat
pemamahan yang tuntas, dapat merunut dengan perlahan dunia kecil dan aspek
kejiwaan Tono, Tini, dan Yah. Semacam kunci yang diberikan Armijn guna memahami
alur dan logika cerita Belenggu adalah motivasi Tono menikahi Tini.
Seperti pernah diulas Pradopo (1995:167),
Tono memperistri Tini "hanya" karena merasa tertantang naluri
kelelakiannya. Semakin populer dan "garang" seorang gadis, makin
sukalah ia. Dan hal tersebut didapatkan Tono pada sosok Tini, yang merupakan
gadis ratu pesta, menjadi bunga di kotanya. Jadilah Tono mengawini Tini tidak
didasari cinta yang murni, tapi hanya untuk kesukaannya menundukkan seorang
gadis flire-type. Sebaliknya Tini, ia mau diperistri Tono juga bukan bersebab
cinta. Hatinya sudah sedingin es sejak ditinggalkan Hartono kekasihnya dulu. Ia
hanya ingin menjadi "teman" saja. Ia tidak dapat menaruh cinta kepada
Tono. Tini mau diperistri Tono sebab ia seorang dokter, memberi status yang
tinggi kepadanya sebagai "Nyonya dokter".
Di sinilah tragik cerita yang rumit.
Rumit sebab pasangan suami istri ini terus saja mengombang-ambingkan diri
mereka sendiri, tidak saling terbuka guna menuai pelbagai harapan
masing-masing. Tini sibuk dengan gagasan-gagasannya soal perempuan yang merdeka
di zaman yang baru (hal ini juga yang agaknya membikin ia kelu mengutarakan
kecemburuannya kepada Tono atas kesibukan pekerjaan dan lingkungan
pergaulannya). Sementara Tono pun sangat sibuk dengan pekerjaannya, meski
ternyata ia tidak berhenti memendam angan-angan tentang rumah, dengan
harapan-harapannya akan istri yang "berlutut, membukakan tali sepatu"
atau "menunggu suami dengan senyum yang murah di rumah".
Pembangunan cerita dilakukan
pengarang dengan cukup dramatis. Hampir di sepanjang kisah memperlihatkan
konflik dalam diri tokoh-tokohnya. Pengarang benar-benar mendedah detil benak
tokoh-tokohnya dengan begitu telanjang dan sugestif. Sehingga, seolah pengarang
hendak menyarankan pembaca agar ikut berpikir guna mengenali betul
manusia-manusia yang tengah dibacanya, sehingga belenggu yang memang ada itu terindentifikasi
dengan saksama.
Seperti Tono dan Yah yang bertemu
sebagai kawan lama dan kemudian saling menambatkan hati, ternyata tidak
menjadikan kedua tokoh ini lantas merasakan kebahagiaan sejati. Terlebih bagi
Tono: belenggu itu tidak kunjung terlepas. Betapa pun sebenarnya ia sudah
sampai berpikir: "...begitulah kita seperti dibelenggu oleh
angan-angan...oleh angan-angannya sendiri..."
D.
Permasalahan
yang Dialami Tokoh Terkait Prasangka Gender
Dua
tokoh utama wanita dalam novel Belenggu mempunyai beberapa kesamaan sifat dan
perilaku dengan sifat dan perilaku wanita dalam kehidupan nyata. Satu
menginginkan hidup bebas tanpa ada kekangan dan yang satu menginginkan hidup
lebih baik dengan orang yang dicintai, serta kedua tokoh tersebut berkeinginan
untuk menentukan hidup mereka sendiri. Sumartini adalah seorang wanita modern yang
mempunyai masa lalu yang kelam karena bebas bergaul. Dia selalu merana kesepian
karena kesibukan suaminya yang tak kenal waktu dalam mengobati orang sakit
sehingga melupakan dan membiarkannya dirumah seorang diri. Sedangkan Siti
Rohayah adalah seorang wanita yang harus menjalankan kawin paksa. Dia merasa
frustasi, sehingga terjerumus kelembah kenistaan. Dia teman dokter Sukartono,
suami Sumartini, yang sebenarnya kekasihnya waktu muda.
Tono merasa
tidak puas dengan istrinya, Tini. Kemudian dia mencari sosok wanita yang bisa
membahagiakan dia dan berlaku seperti apa yang dia inginkan. Tono menemukan Yah
(Ny. Eni) yang merupakan temannya waktu kecil sekaligus pasiennya. Mereka pun
manjalin hubungan terlarang. Namun, pada akhirnya hubungan mereka diketahui
oleh Tini dan keluarga mereka bercerai walaupun sebenarnya Tono tidak
menginginkan hal itu. Tono pun ditinggalkan oleh Tini maupun Yah.
Dalam
perkembangannya wanita tidak lagi dihadirkan sebagai korban kekuasaan kaum
patriarkhi, tetapi dihadirkan sebagai wanita yang berhak
dan bebas menentukan nasib atau masa depannya. Tini yang diharapkan Tono hadir
sebagai ibu rumah tangga, ternyata gagal karena lebih memilih sebagai wanita
karir, tidak mau dikalahkan kaum pria, dan tidak mau tergantung pada pria. Pada
novel tersebut, gambaran wanita tidak lagi pesimis, yang digambarkan adalah
wanita aktif, dinamis, optimis, sadar akan kondisi sosialnya, serta berani
berjuang mendapat persamaan hak dengan kaum pria.
E.
Pandangan
Pengarang dalam Cerita
Pandangan pengarang terhadap
problematika dalam cerita menurut peneliti, pengarang berusaha menggugah
pembaca tentang isi dalam novel tersebut. Pengarang ingin merubah mainset pemikiran pembaca bahwa tidak
selamanya wanita hanya bisa menjadi ibu rumah tangga yang tugas sehari-harinya
hanya mengurus keluarganya dirumah. Tetapi ia juga bisa menggantikan posisi
seorang laki-laki, dimana selain menjadi ibu rumah tangga juga menjadi pekerja
demi mencukupi kebutuhan keluarganya yang serba kekurangan.
Selain itu pengarang juga ingin
menyadarkan pembaca bahwa tidak selamanya perasaan istri seharusnya diabaikan
hanya karena emosi. Pengarang menyudutkan bagian cerita dimana tokoh utama Tini
merasa bahwa ia masih membutuhkan sentuhan dan belaian dari sisi lembut
suaminya di tengah-tengah kesibukannya sebagai dokter yang selalu sibuk
mengurus pasien-pasiennya. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perasaan wanita
yang kuat menahan rindu terhadap kemanjaan yang biasa diberikan oleh
laki-lakinya dan masih banyak lagi problematika yang pengarang ceritakan
berdasarkan sumber dari kehidupan nyata.
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
A.
Kesimpulan
Novel Belenggu
merupakan karya sastra mutakhir yang terbit menjadi karya sastra Pujangga Baru.
Karya sastra ini menjadi karya yang diterima masyarakat karena ceritanya yang
menarik hati para pembacanya. Selain itu, Armijn Pane sebagai pengarangnya
mampu menuangkan ide-ide yang ingin disampaikan dengan baik dan diterima
masyarakat.
Dalam Novel Belenggu,
terdapat unsur instrinsik yang membangun cerita novel sehingga menjadi lebih
menarik bagi pembacanya. Pembedahan unsur-unsur instrinisk dalam suatu karya
sastra disebut dengan pendekatan struktural. Unsur-unsur tersebut meliputi
tema, tokoh dan penokohan, plot atau alut, latar atau setting (tempat,
waktu, dan suasana), dan sudut pandang. Semua unsur-unsur instrinsik tersebut
saling mendukung untuk menyampaikan cerita dalam suatu karya sastra.
Novel belenggu merupakan novel
angkatan pujangga baru dan memiliki hipogram atau interteks dengan angkatan
sesudahnya. Inferioritas perempuan (istri) kepada laki-laki (suami) walaupun
kurang mewarnai novel belenggu yang disebabkan unsur modernitas, namun unsur
tersebut tidak secara mutlak dan masih diwarnai dengan unsur tradisional atau
adat istiadat. Unsur tradisional dialami oleh tokoh Yah yang dipaksa kawin oleh
orang tuanya. Yah kawin dengan orang yang tidak dicintainya dan pada akhirnya
berujung pada percerai. Setelah berpisah dengan suaminya, Yah tergelincir pada
lembah hitam yaitu selalu berada pada tempat-tempat diskotik, remang, remang,
bar dan lain sebagainya.
Teks yang menyebutkan bahwa menyenangkan dan
melayani suami sekaligus sifat kepatuhan dan ketundukan istri kepada suaminya
adalah tugas dan kewajiban istri. Hal ini digambarkan pada tokoh Tono (suami)
menghendaki Tini (istri) sebagai perempuan yang tahu hak dan kewajibannya dalam
rumah tangga. Perempuan yang tetap menyayangi suaminya, mencintainya dengan
tidak merasa sebagai budak. Namun, yang diinginkan tersebut tidak ada pada
tokoh Tini dan yang diinginkan Kartono adalah perempuan seperti Yah. Oleh
karena itu, Tono menjadi tentram di rumah Yah, karena Yah menyambutnya dengan
penuh cinta dan kasih sayang, melebihi istri sendiri. Yah mengerti kesukaan
"suami", menanggalkan baju dokternya, melepas sepatunya dan diganti
dengan sandal rumah.
Dalam hal penganalisisan karya
sastra genre feminis merupakan kisah tentang peran wanita kebanyakan pada era modern
seperti saat ini. Di mana peran laki-laki yang lebih dominan dilakukan oleh
seorang wanita. Dan di mana sang pengarang dengan jelas menceritakan tentang
perasaan batin seorang wanita disaat ia kehilangan peran aslinya yaitu sebagai
istri dalam keluarganya. Dan bukan hal yang lumrah lagi pada novel belenggu,
karena setiap kejadian demi kejadian, serta konflik demi konflik merupakan
hal-hal kejadian nyata yang dialami oleh wanita pada umumnya khususnya untuk
wanita karir yang sudah berumah tangga seperti yang dialami toko Tini. Terlebih
tidak adanya komunikasi antar keduanya yang dapat mengakibatkan prasangka
hingga menimbulkan konflik yang berkepanjangan.
Dari sekian
hal yang telah peneliti analisis dapat disimpulkan bahwa novel ini termasuk
kedalam novel feminis, karena mengandung problematik-problematik yang
berhubungan dengan wanita. Di mana tokoh utama wanita Tini mengalami konflik
fisik maupun batin terhadap rumah tangganya. Dan apa yang dilakukan oleh Tini,
apa yang dirasakan Tini juga banyak terjadi pada wanita-wanita di zaman serba
modern.
Membaca novel
belenggu sama halnya membaca kemungkinan sebuah sisi manusia, yakni manusia
dengan belenggunya sendiri. Jelas di sini bahwa ketidaksalingmengertianlah yang
menerbitkan belenggu itu muncul menjadi perkara utama yang mendorong tokoh-tokoh
tersebut menemukan dirinya sebagai karakter yang problematis. Novel Belenggu
mengemukakan pertentangan tua dan muda yakni pertentangan tokoh dalam kedudukan
yang masih terpengaruh oleh tradisi lama, dan terkadang sebagai pengambil
tradisi baru. Demikian halnya tokoh Yah, dalam satu hal orang yang menentang
tradisi lama.
B. Saran
Berdasarkan hasil
penelitian, pembahasan, dan simpulan dapat diajukan saran-saran sebagai
berikut:
Bagi seluruh elemen
masyarakat, khususnya para pencinta sastra dalam hal ini novel, diharapkan
dapat melakukan telah terhadap novel-novel yang lain secara mendalam agar dapat
menemukan berbagai misteri kehidupan di masyarakat. Cukup banyak misteri
kehidupan di masyarakat yang sampai saat ini belum ditemukan jawaban. Untuk hal
tersebut dapat dilakukan melalui penelitian sastra secara mendalam.
Bagi stakeholder, diharapkan adanya dukungan
terhadap hasil penelitian karena tahapan yang harus dilalui memerlukan waktu,
berbagai sumber untuk menemukan misteri dalam kehidupan. Semakin banyak membaca
buku terkait dengan kegiatan analisis, maka semakin mudah untuk mendapatkan
jawaban terhadap misteri yang terdapat dalam karya sastra.
Bagi sekolah-sekolah di
Lubuklinggau, diharapkan hasil
penelitian ini dapat menjadi bahan ajar yang bermanfaat serta menjawab misteeri
kehidupan yang ada pada kehidupan siswa. Berdasarkan data di lapangan,
menunjukkan bahwa kemampuan siswa untuk memahami sastra perlu dilakukan
perbaikan, sebaiknya guru mengajarkan bahasa.
Bagi guru, sebaiknya
guru dalam melaksanakan pembelajaran apresiasi sastra mampu mengintegrasikan
nilai-nilai sosial di masyarakat agar siswa dapat menemukan misteri
kehidupannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: CAPS.
-------------.2013. Teori Kritik Sastra. Jakarta: Buku Seru.
Fananie,
Zainuddin. 2000. Talaah Sastra. Surakarta: Muhamadiyah University Press.
Nurgiyantoro,
Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University
Press.
Pane, Armijn. 2008. Belenggu. Jakarta: Dian Rakyat.
Pradopo,
Rachmat Djoko. 2002. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Gama
Media.
---------------------.
1995. Beberapa Teori Sastra, Metode
Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Wiyatmi. 2009. Pengantar Kajian sastra. Yogyakarta: Pustaka Book
Publisher.
Fakih,
Mansour. 2001. Analisis Gender dan
Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Junus,
Umar. 1983. Dari Peristiwa Ke Imajinasi:
Wajah Sastra dan Budaya Indonesia. Jakarta: PT Gramedia.
Sugihastuti, dan
Suhartono. 2002. Kritik Sastra Feminis.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
JSMH | Casino - JSMH
BalasHapusJSMH | Casino. 강릉 출장안마 JSMH. 김제 출장안마 JSMH. CASINO. CASINO. 서귀포 출장마사지 JSMH. JSMH. CASINO. CASINO. JSMH. CASINO. 정읍 출장마사지 JSMH. 인천광역 출장마사지 CASINO. JSMH. CASINO. JSMH.